Skip to main content

Agama Hindu dan Politik, Apa boleh ?


Sumber Gambar: netralnews.com


Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia

Dalam filsafat Hindu, kedua dimensi tersebut di atas dapat dipisahkan secara tegas dan nyata. Akan tetapi dalam kehidupan sosial yang objektif, seringkali dijumpai persinggungan antara aktivitas agama di satu pihak dengan kegiatan politik pada sisi yang lain. Setidaknya hal itu eksplisit dalam slogan partisipasi umat Hindu, yakni Dharma Agama dan Dharma Negara. Artinya, umat Hindu sadar betul sebagai warga negara yang baik, sepatutnya memiliki tanggungjawab terhadap agama dan negara secara bersama-sama secara seimbang.

Tanggungjawab terhadap agama, terutama dalam kaitannya dengan memelihara kemuliaan agama serta persatuan di antara sedharma. Dalam realitasnya, hal ini dapat berwujud pendalaman jnana, membentuk umat menjadi mencintai agamannya secara proforsioanl, dan memelihara berbagai ritus dalam hubungan pelaksanaan agama. Dalam konteks kemuliaan agama ini, berarti pula dijalinnya persepsi yang  sama tentang struktur, fungsi, dan makna dari sistem agama, sehingga atas dasar itu setiap komunitas umat memiliki pandangan yang sejalan tentang makna kemuliaan dan cara mencapai kemulian itu.

Sebagai komunitas agama yang hidup dalam suatu negara berdasarkan Pancasila, maka kedudukan agama dan pembinaannya tidak dapat sama sekali terlepas dari dimensi-dimensi politik. Apa yang saya maksudkan dimensi politik, antara lain: (a) kemauan elite penguasa sebagai penentu kebijakan negara; (b) eksistensi komunitas agama lain dalam struktur eksistensi komunitas agama-agama; (c) dan tatanan berbagai nilai yang memberi corak heteroginitas pada konfigurasi nilai, termasuk di dalamnya ideologi dominan yang dikembangkan pada negara di mana agama itu berkembang.
Dalam hubungan dengan kemauan elite penguasa sebagai penentu kebijakan negara, acapkali agama dimanfaatkan sebagai pembenaran dari kebijakan publik yang dirumuskan. Setidaknya, pemerintah melalui tokoh-tokoh agama berusaha mencari, menyeleksi, dan menonjolkan berbagai simbol yang dianggap relevan dengan kebijakan yang ada, dengan 'menyembunyikan' hal-hal yang dianggap kurang relevan pada saat tertentu dan dengan tema yang dihadapi. Dengan demikian, agama melalui seleksi kognitif elite agama, dimanfaatkan untuk memberikan dukungan pada program yang dirancang Pemerintah. Dalam fungsinya seperti ini, elite agama dapat dipandang sebagai 'manipulator simbolik' yang inspirasinya datang dari elite politik. Misalnya, ketika Pemerintah mempopulerkan kebijakan empat anak, maka ketika itu pula para elite agama memberikan dukungan dengan mengkaji nama-nama Wayan, Made atau Nengah, Nyoman, dan Ketut sebagai suatu tradisi pembentukan keluarga kecil dengan menyembunyikan konsep Men Brayut sebagai terkandung dalam sastra Bali. Hal ini menunjukkan, bahwa dimensi agama tidak dapat begitu saja lepas dengan dimensi politik, dalam arti kemauan elite penentu kebijakan publik. Pada sisi lain, elite agama dapat mengingatkan para pengambil kebijakan publik (Pemerintah) untuk taat pada  hukum-hukum-Nya dan melindungi harkat dan martabat seluruh umat manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam Atarwa Veda (X.6.18).

Dalam hubungannya dengan eksistensi komunitas agama dalam struktur eksistensi komunitas agama-agama, maka 'kebenaran' agama sekalipun mutlak dalam arti teologi bagi penganutnya, secara sosial mereka harus menghargai kebenaran dari agama lain. Jika tidak demikian, maka agama seperti itu hanya relevan hidup dalam tatanan negara berdasarkan agama. Dalam hubungan ini, Hindu jelas menempatkan orang lain sebagai saudara yang menempuh pencaharian melalui jalan yang berbeda. Dalam Atarwa Veda (XII.1.45) disebutkan "Bumi ini tempat tinggal seluruh umat manusia, ibarat seperti sebuah keluarga; semua orang berbicara berbeda serta menganut kepercayaan berbeda pula; semuanya seperti dalam satu kandang sapi, semoga kesejahteraan melimpah kepada Kita. Kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa komunitas agama akan menjadi berdimensi politik jika mereka dihadapkan dengan komunikas lain dalam satu struktur hubungan. 

Akhirnya yang ketiga adalah tatanan berbagai nilai yang memberi corak heteroginitas pada konfigurasi nilai, termasuk di dalamnya ideologi dominan yang dikembangkan pada negara di mana agama itu berkembang. Maksudnya, agama Hindu sebagai sub-nilai dari sejumlah sumber nilai yang membentuk konfigurasi struktur nilai di Indonesia, mau tidak mau harus sadar dan mau melakukan tawar-menawar dengan nilai lain dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kondisi tawar-menawar inilah acapkali agama tersentuh oleh nilai-nilai politik, dan malahan dalam kasus tertentu, agama 'dikorbankan' untuk kepentingan politik, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.

Hubungan yang saling mempengaruhi (sibernetik) antara agama dengan politik di atas, manifes pula dalam organisasi Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia). Peradah tidak saja melaksanakan program Bina-Dharma, yaitu meningkatkan keimanan yang berwawasan nasional, tetapi juga melaksanakan Bina-sandhiwani, yaitu berkomunikasi secara nasional untuk menemukan murdha wakya (konsep-konsep) pembangunan dalam segala aspeknya bagi bangsa Indonesia yang sejalan dengan Hindu Dharma. Apa yang dapat disimpulakan dari uraian di atas adalah Peradah Indonesia sebagai wadah berhimpunnya para pemuda Hindu, mahasiswa Hindu, cendekiawan Hindu, dan wanita Hindu.

Dalam memerankan fungsinya seperti itu, secara objektif Peradah masuk dan atau ditarik ke dalam dimensi politik. Masuk dalam pengertian ini adalah secara sadar murdha wakya yang dihasilkan diarahkan untuk memperbaiki kebijaksanaan publik yang ada atau yang akan ada. Sedangkan ditarik ke dalam dimensi politik artinya, mudha wakya yang dihasilkan dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan politik. Menurut hemat saya, Peradah sebagai wadah berhimpunnya generasi muda Hindu hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang pertama, yaitu terbatas hanya menghasilkan murdha wakya yang diusulkan kepada elite penentu kebijaksanaan publik.

Berlandaskan pada paparan di atas, maka menurut hemat saya Hindu tidak mentabukan dimensi politik dalam kehidupan beragama. Malahan di antara keduanya saling memberikan warna kehidupan, agama menjadi dinamik dalam struktur elite politik dan elite politik serta kebijaksanaan publiknya memperoleh legitimasi dari agama.







Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar