Skip to main content

Bagaimana Menjaga Bali Ke Depan ?



Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia

Prolog
Berdasarkan angka proyeksi penduduk tahun 2016 tercatat jumlah penduduk Bali sebanyak 4.200,1 ribu jiwa terdiri dari 2.115,0 ribu jiwa [50,36 %] penduduk laki-laki dan 2.085,1 ribu jiwa [49,64 %] perempuan. Jumlah penduduk tahun 2015 ini naik 1,14 persen dari sebelumnya 4.152,8 ribu jiwa. Dengan luas wilayah 5.636,66 km2, maka kepadatan penduduk di Bali telah mencapai 745 jiwa/km2. Di antara kabupaten /kota yang ada di Bali, kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah terbesar dengan jumlah penduduk mencapai 650,1 ribu jiwa atau 15,48 persen dari seluruh penduduk Bali. Dengan luas wilayah yang mencapai 1.365,88 km2, dan kepadatan penduduknya sebesar 476 jiwa/km2. Sebaliknya itu kota Denpasar tertinggi di Bali, angkanya 7.022 jiwa/km2 dengan luas wilayah yang hanya sekitar 127,78 km2 [BPS Provinsi Bali, 2015] sehingga sarat dengan problem kependudukan, lingkungan, dan sosial budaya. 

Existing land use semakin meningkat, sehingga implikasi sosiologis dari perubahan fisikal tersebut adalah hilangnya pesona dunia. Lingkungan lahiriah dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekaligus mempesona tidak lagi mempengaruhi dan membentuk pikiran manusianya. Lingkungan  dihadapi dan diberi arti sebagai dunia material atau objek semata [komodifikasi]. Konsekuensi dari peristiwa itu adalah terjadi otonomi dan kebebasan subjek dalam menafsirkan realitas objektif. Akibatnya, Karakter orang Bali telah mengalami perubahan secara signifikan. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Baterson. Demikian pula orang Bali tidak dapat lagi dikategorikan sebagai komunitas yang inklusif, melainkan orang Bali telah dipersepsikan sebagai orang yang tempramental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus [paper saya dipresentasikan di Unud, 2004 berjudul “Perubahan Karakter Orang Bali”]. Fenomena ini tentu amat menyedihkan, bagaimana kita bisa mem-praksis-kan nilai adiluhung jika sikap kita sudah subjektif dan apriori, malahan memperkuat  polarisasi negatif dan menjauhkan satu sama lain ? Padahal dalam kondisi ideal,  budaya objektif seharusnya  melayani  yang  subjektif,  sehingga terwujud sebuah “pengembangan jiwa”. Ironisnya, dalam dunia modern orang Bali justru mengalami hal yang sebaliknya, budaya subjektif meliputi kemampuan untuk menerima, menghargai, dan mengontrol budaya objektif tidak lagi tampak dan menonjol, sehingga telah terjadi reifikasi budaya. Ini adalah puncak krisis budaya moderen yang diistilahkan Simmel sebagai “tragedi kebudayaan moderen (Weinstein dan Weinstein, 1990).

Pemimpin Hindu

Pemimpin masa depan hendaknya mengerti anwiksaki  dan wedatrayi. Anwiksaki mengajarkan seorang pemimpin mampu berfikir kritis dan objektif. Tidak tidak terjemab dalam isu-isu terbatas, tertutup, dan lokalitas. Berfikir kritis dan objektif mempermudah hidup dalam mengenal mana yang patut dilakukan dan mana yang seharusnya tidak dilakukan. Pada tingkat ini kita disatukan dengan prinsip-prinsip dasar sebagaimana dianjurkan dalam wedatrayi  karena wedatrayi memberikan batas [boundrais] mengenai anjuran dan larangan. Pengetahuan dua hal tadi [anwiksaki dan wedatrayi].  merupakan keunggulan tersendiri bagi MH berkompetisi dengan lingkungan. 

Pengetahuan lain yang diperlukan adalah pengetahuan mengenai werta dan dandaniti. Werta dalam berbagai studi arthasastra disebutkan sebagai komponen yang mendinamisasi aspek dandaniti [berani, tegas, dan tetap rendah hati]. Werta juga mencakup uang dalam pengertian materialnya. Dalam pengertian arthasastra uang hanya sebatas alat yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Uang diciptakan manusia untuk mempermudah hidup, bukan untuk mengendalikan hidup. Pemimpin masa depan harus mengerti tentang anwiksaki, wedatrayi, dan werta,  seharusnya menerapkan prinsip ajaran ini dalam hidup bermasyarakat maupun sebagai pemimpin di lingkungannya sendiri. Dengan melaksanakan prinsip dasar tadi, seorang pemimpin akan dipercaya seperti dinyatakan  Stephen M.R. Convey dalam The Speed of Trust, yakni berintegritas, memiliki niat yang baik, bukti kelayakan, dan catatan prestasi]. 

Berintegritas dinyatakan melalui empat dimensi, yakni [1] mengamalkan apa yang anda sendiri ajarkan atau jujur luar-dalam [“Siapapun yang ceroboh dengan kebenaran dalam hal-hal kecil, tidak mungkin dipercaya dalam hal-hal yang besar”, Albert Einstein]; [2] Konsisten antara yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan dilakukan [“Kehidupan saya adalah suatu keutuhan yang tidak mungkin dibagi dan kegiatan saya berbenturan satu sama lain”, Mahatma Gandhi]; [3] rendah hati, dan [4] berani [“Keberanian adalah kualitas manusia yang pertama, karena akan menentukan kualitas lainnya”, Wiston Churchill].

Seorang pemimpin harus memiliki niat baik. Pembahasan mengenai niat [maksud] baru menjadi lengkap jika dikaitkan dengan motif, agenda, dan perilaku. Motif adalah alasan mengapa anda melakukan sesuatu, dan yang memotivasi apa. Motif yang menginspirasi kepercayaan paling besar adalah kepedulian yang tulus. Agenda tumbuh dari motif. Agenda yang umumnya menginspirasi kepercayaan adalah mengupayakan keuntungan bersama. Perilaku adalah perwujudan dari motif dan agenda. Perilaku pemimpin yang menciptakan kredibilitas dan mengekspresikan kepercayaan adalah memperhatikan kepentingan orang lain [bahasa kerennya berpihak pada rakyat].

Dimensi ketiga dari pemimpin yang kredibel adalah mampu [berkemampuan]  memberi inspirasi kepada yang lain [dalam Samaveda] berisi talenta, keterampilan, pengetahuan, kapasitas. Kemampuan yang kita miliki memungkinkan memberikan performa yang sangat baik. Dimensi Kemampuan dapat diakronimkan dangan TASKS Talents  atau Talenta-karunia alami kita, Attitudes adalah sikap-cara kita memandang dan cara kita hidup, Skill  adalah keterampilan-kefasihan kita dan hal-hal yang dikuasai, Knowledge Pengetahuan-mewakili pembelajaran wawasan, pengertian, dan kesadaran kita], dan Style  atau gaya-mewakili pendekatan dan kepribadian unik kita. [Para pemimpin banyak tipe, gaya dan kualitas yang beragam. Ada pemimpin yang pendiam dan pemimpin yang terdengar suaranya di wilayah sebelah. Sebagian pemimpin menemukan kekuatan dalam kefasihan, sebagian pertimbangan, dan sebagian dalam keberanian,” John Gardner Penulis Exellence dan self-renewal]

Dimensi keempat, seorang pemimpin adalah perlu diketahui dan didalami prestasi yang baik apa yang sudah pernah dicapai dalam swadarmanya, dalam lingkungannya, dan bagi nusa dan bangsa. 

Sarasamuccaya: Etika Manusia Hindu

Dalam Sarasamuccaya, sloka 299-313 disebutkan tentang dua syarat  karakter manusia Hindu, yaitu pradnyan dan purusotama. Pradnya mengandung arti manusia Hindu harus menguasai kompetensi sesuai swadarma yang ditekuni, baik melalui proses education maupun learning. Dalam konteks ini Ida Pedande Made “kita tidak semata-mata berfikir menanami sawah kita [yang keberadaannya semakin hari semakin sempit], tetapi sepatutnya kita semua berfikir untuk menanami diri kita dengan pengetahuan dan keterampilan” [Pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi vidya dhanam sarvadhana pradhanam], karena yang disebutkan terakhir tadi tidak akan pernah tergadaikan atau hilang dicuri orang lain. Agar bisa menjadi manusia Hindu yang pradnyan, maka Sarasamuccaya memberi perintah “bergaulah” [302], “bangun jejaring” [303-304], dan “berdiskusilah” [306]. Apakah manusia Hindu cukup dengan hanya menguasai kompetensi [pradnyan] ?

Manusia Hindu tidak akan pernah mencapai manusia yang mulia, walau menguasai kompetensi dengan baik atau pradnyan. Manusia Hindu harus membangun sisi lainnya, yaitu purusotama, yakni berbudi luhur. Setidaknya kalau mengacu pada Sarasamuccaya [299-313], unsur penting purusotama, yaitu “jangan pernah bangga saat dipuji dan jangan merasa hina saat dicaci maki”[306], “kendalikan kroddha” [307-309 perhatikan juga SS Sloka 93-108], dan “rendah hati” [312].

Substansi Sarasamuccaya sloka 300-301 menyerukan: “bergaullah dengan orang-orang pintar dan bijaksana, setidaknya engkau akan menjadi pintar dan bijaksana. Ibarat membuat minyak wangi, niscaya rambutmu, bajumu, bahkan nafasmu akan menjadi wangi”. Makna ungkapan di atas, karakter manusia Hindu tidak hanya cukup pintar saja, manusia Hindu dituntut juga memiliki budi yang luhur. Manusia hindu harus mampu menyeimbangkan kedua kekuatan yang ada pada dirinya kiwa dan tengen. Steven Covey menyebutnya “mengelola dengan otak kiri dan memimpin dengan otak kanan”.  Sebagai akhir tulisan, berikut dikutipkan sloka Nitisatakam [etika kepemimpinan], disebutkan bahwa seorang pemimpin harus mampu ‘berbusana’ sebagai berikut.

‘Busana orang kaya adalah ramah,
Busana orang kuat adalah ucapan halus,
Busana pengetahuan adalah kedamaian,
Busana orang yang belajar buku-buku suci adalah rendah hati,
Busana tapa, yoga, semadi adalah  tidak lekas marah,
Busana orang besar adalah pemaaf,
Busana orang belajar agama tidak mencela agama orang lain

Epilog

Demikian beberapa catatan kecil yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat. Kepada Bali TV saya ucapkan selamat Ulang Tahun semoga tetap bisa memfasilitasi komunikasi umat Hindu di seluruh Indonesia dan menjadi TV yang senantiasa berlandaskan dharma.
(Denpasar 2017)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar