Skip to main content

Bali, Laut dan Rempah



Sumber Foto: Son of Alifuru
Oleh:
IBG Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia
(Museum Nasional, 20 Maret 2019)

I. Pendahuluan
Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang berada di paparan Sunda yang air lautnya relatif lebih dangkal dibandingkan dengan paparan Sahul, sehingga memudahkan hewan dan manusia berimigrasi dari Benua Asia dan pulau-pulau yang terletak di sebelah barat, Seperti Sumatra dan Jawa ke Bali. Setidaknya pernyataan ini didukung bukti-bukti arkeologis, berupa kapak neolitik yang dikaitkan dengan migrasi penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Kepulauan Asia Tenggara sekitar 5.000 tahun yang lalu (Ardika dkk, 2013) .

Temuan gerabah pada beberapa situs di Bali, terutama situs Gilimanuk menunjukkan adalah pengaruh kebudayaan Sahuynh-Kalanay, yang merupakan pusat perkembangan gerabah di Vietnam dan Filipina. Kuatkan kemiripan gerabah Bali (Gilimanuk), dengan corak Sahuynh-Kalanay, diduga karena Gilimanuk kala itu merupakan pintu gerbang terbuka untuk melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Ciri-ciri: teknik pembuatan dengan tatap landas (batu) dan roda pemutar sederhana; pada bagian atap dibalut dengan tali, sehingga bagian luar gerabah menghasilkan pola tali; sementara pola hiasnya difokuskan pada pinggiran kerang, sehingga menghasilkan pola hias bergelombang; juga menggunakan motif dan pola geometris (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 270).

Dalam masa perundagian, manusia mulai mengenal teknologi mengerjakan bahan-bahan logam, dengan kemampuan mengontrol panas atau temperatur.  Menurut Renfrew dan Bahn, 191: 292) “semakin canggih tekonologi yang diciptakan manusia, maka semakin tinggi pula kemampuan untuk mengontrol panas atau tempratur”. Kebudayaan logam di Asia Tenggara dimulai sekitar 3.000-2.000 SM di situs Dongson Provinsi  Thanh-Hoc Vietnam Utara yang diperkirakan berkembang pada awal Masehi. Demikian pula dengan situs Non Nak Thad an Ban Chieng (Thailand), ditemukan perbengkelan logam dengan penanggalan 3.000 SM berdasarkan metode C-14 (Kosasih, 1993: 165  dalam Ardika, 2013: 27). Temuan nekara (moko) di desa Pejeng, Gianyar , Pura Puseh Manuaba, dan Situs Sembiran telah memberikan bukti bahwa Bali juga memiliki pengalaman mencetak nekara, walaupun tanpa kandungan logam. Teknologi itu diperoleh melalui kotak dan perdagangan atau pertemuan antarbudaya, terlebih posisi Bali dianggap sebagai penghubungan antara wilayah barat dan wilayah timur Nusantara.

Temuan gerabah India di Sembiran, Buleleng, yang menunjukkan yang berasal dari awal Masehi atau sekitar 2.000 tahun yang lalu, temuan lempengan emas penutup mata yang ditemukan di situs Gilimanuk dan Pangkungliplip (Jembrana) oleh banyak arkeolog dihubungkan dengan artefak yang sama dengan yang ditemukan antara lain: situs Oton di pulau Panay (Filipina), Santubong (Malaysia), dan kuburan megalitik di situs Adichanallur , India Selatan (O’Connor and Harrison, 1971: 71-77; Ray, 1994: fig.9, dalam Ardika, 2013: 51-52). Demikian pula dengan ditemukannya manic-manik dari kaca di situs Gilimanuk, Sembiran, dan situs Sarkofagus di Bali, telah menjadi bukti bahwa Bali telah memiliki hubungan dengan dunia sejak jaman prasejarah.

II  Dinasti Bali Kuno dan Raja di Jawa
Dinasti Warmadewa merupakan tonggak baru bagi sejarah Bali. Raja pertama yang menggunakan nama Warmadewa adalah Sri Kesari Warmadewa  sebagaimana termuat dalam prasasti Blanjong (835 Saka atau 913 Masehi) yang diperkirakan berkuasa selama satu abad, yakni sejak awal abad X sampai dengan awal abad ke XI. Sri Kesari Warmadewa dinyatakan berhasil menaklukan Gurun dan Suwal (Goris, 1954a: 65).  Gurun ditafsirkan dengan pulau Lombok, tapi pendapat lain menyatakan Gurun sebagai Nusa Penida, di Klungkung Bali. Setelah Sri Kesari Warmadewa, Bali diperintah oleh  Raja Sri Ugrasena (837 - 864 Saka atau 915 - 942 Masehi); Ratu Sri Haji Tabanendra (877 - 889 Saka atau 955 - 977 Masehi); Sang Sri Jayasingha Warmadewa; Sang ratu Sri Janasadhu Warmadewa;  dan Ratu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, tanpa menggunakan gelar Warmadewa. Hal ini ditafsirkan bahwa kemungkinan Ratu    Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi  berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra  akibat perluasan kekuasaan sebagaimana dinyatakan oleh P.V. Van Stein Callenfels (1924: 30) yang juga disetujui oleh Goris ( Ardika, 2013: 110-115).
J.L. Moens dalam artikelnya berjudul  “De Stamboom van Erlangga” (1950) secara tegas menghubungnya ratu itu dengan kerajaan di Jawa Timur. Malahan Damais, menyatakan lebih tegas bahwa putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya berdasarkan beberapa bukti, di antaranya: sejumlah jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja selain jabatan yang sudah lazim di Bali. Ketiga jabatan itu (wadihati, makudur, dan pangkaja) khas Jawa (1952: 85-86; 1955: 227). Sri Wijaya Mahadewi  diperkirakan wafat pada 911 Saka atau 989 Masehi.
Wafatnya raja Marakata diganti oleh adiknya Raja Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka atau 1049-1077 Masehi, Raja terlama di antara raja-raja Bali Kuno. Yang ingin disampaikan dari bagian ini adalah, Bali telah memiliki hubungan dengan raja  dan pulau lain di Indonesia, malahan dalam konteks neolitik memiliki hubungan dengan Negara lain di Asia Tenggara. 
Pada abad 14-17 kerajaan Bali memusat di Samprangan dan Gelgel, Klungkung. Dalem Ketut Ngulesir dinobatkan pada 1323 Saka atau 1401 Masehi adalah raja yang pertama bertempat tinggal di Gelgel (Sidemen, 2011: 122). Dalem Ketut  Ngelusir digantikan putra tertuanya dengan gelar Dalem Watu Renggong Saka 1382 - 1472 atau 1460 – 1550 Masehi. Pemerintahan raja Dalem Watu Renggong dianggap masa keemasan Bali yang berpusat di Sweca Linggarsa Pura (Gelgel). Kekuatan pasukan tempurnya (inti)  berjumlah 1.600  orang. Pada Tahun 1512 pernah dikirim  ke Blambangan  untuk menyerang Dalem Sri Juru (Parimartha dkk, 2013: 281). Artinya, Bali telah memiliki hubungan pemerintahan, perdagangan, dan kebudayaan dengan para raja di luar wilayahnya.

III. Kerajaan dan Pesisir
Sebagai pulau kecil yang dikelilingi lautan, masyarakat Bali di pesisir, memiliki pengetahuan tentang laut dengan berbagai ritus yang dilakukannya. Bagi nelayan, laut bukanlah hal yang menakutkan, malahan laut  dan pesisir dianggap sebagai media untuk hidup dan belajar. Vickers (2009: 12-15)  menyatakan bahwa pesisir  itu terbentuk jelas sebelum abad ke-14, dibuktikan dengan adanya perkembangan kerajaan yang melakukan aktivitas perdagangan   dengan wilayah lainnya, seperti yang terjadi di Semenanjung Melayu, yang diikuti kemudian dengan negara-negara pesisir lainnya. 
Bagi masyarakat Bali, laut bukan sebagai sesuatu yang memisahkan, tetapi memiliki makna menyatukan, sebagaimana penaklukan kerajaan Belambangan oleh kerajaan Mengwi  pada abad ke-17, bertujuan menyatukan dataran di Jawa dan Bali (Vicker, 2009: 13). Demikian pula yang lainnya, laut tidak diperlakukan sebagai  tempat yang cemar, melainkan sebagai tempat penyucian. Itulah sebabnya, kedatangan Dang Hyang Niratha (Dwijati pertama dalam Budha Paksa) dan Dang Hyang Dwijendra (Dwijati kedua dalam Siwa Paksa).  Dang  Hyang Niratha kemudian menjadi pendeta Keraton (Bhagawanta), dan atas usulnya Raja Watu Renggong mengundang  seorang  pendeta Buddha Mahayana, Danghyang Astapaka ke Gelgel untuk memimpin upacara Homayama, sekaligus menandai bersatunya Siwa-Buddha dalam Hinduisme di Bali sampai hari ini.
Sementara itu beberapa tempat suci yang ada di pesisir pantai barat, selatan, dan utara Bali acapkali diyakini sebagai tinggalan peradaban perjalanan Danghyang Niratha dari Jawa ke Bali. Sebut saja pura Pulaki, Rambut Siwi di Jembrana; pura Tanah Lot di Tabanan, Peti Tenget dan Ulu Watu di Kabupaten Badung, dan Goa Lawah di Klungkung.  Pendirian tempat suci di pesisir pantai berkaitan dengan penghargaan masyarakat Bali terhadap pentingnya laut dan pesisir. Penghormatan terhada Dewa Baruna dan Dewa Segara dalam masyarakat Bali semakin mempertegas arti penting laut dan lingkungannya.

Menurut K.L Hall (1985: 86-89) pada sekitar abad 14-15 sudah terdapat  lima jaringan perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah di Indonesia dengan negeri-negeri  di Asia dan Asia Tenggara. Salah satu zone dimaksud  (zone kelima) adalah jaringan Laut Jawa, meliputi kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, pantai barat Kalimantan, Jawa, dan pesisir selatan Sumatra. Jawa Timur muncul sebagai kekuatan besar di antara  sistem politik dagang dunia Melaya. Tuban di pantai utara Jawa memegang  monopoli perdagangan hingga tahun 1400, disusul Gersik menjadi pusat perdagangan di zaman penyebaran Islam.  Pada masa ini diperdagangkan beras dan garam,  ditukar dengan barang hasil daerah lain seperti: lada dari Sumatra, rempah-rempah dari Maluku, Kayu Cendana dari Timor, dan Kapas dari Bali (Parimartha, 2013: 308-309). Dalam kaitan itu Henk S. Nordhouft  (1980: 34) menyatakan bahwa  Bali telah menjalin hubungan perdagangan dengan orang-orang Bugis, Timor, Solor, dan untuk pertama kalinya juga (tahun 1597) orang Belanda mendarat di Kuta bertemu dengan penduduk yang membawa barang belanjaan.

Sejarah juga mencatat bahwa VOC telah berperan dalam perdagangan budak Bali, yang dikirim ke luar Bali.  Lima bulan setelah didirikannya Batavia (1619), J.P. Coen menulis kepada Dewan 17 - loji itu sibuk dikunjungi oleh raja Bali, yang mungkin menawarkan budak untuk dijual (Henk S. Nordholt, 1980: 37). Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh VOC, tetapi juga dilakukan oleh elit-elit kerajaan Bali. Laporan pengunjung berbangsa Portugis menyebut tentang aktivitas pedagang Bali di tahun 1635. Raja memberi dukungan kepada mereka dan menolak pedagang-pedagang Belanda (Dutch merchants) mengambil bagian pada perdagangan di wilayahnya. Tahun 1638 Gusti Agung adalah salah satu elit yang tercatat telah berhasil menggunakan perahunya hingga ke Ambon (Hans Hagerdal, 1998: 82).

Sekalipun pada awalnya (sebelum tahun 1650an) budak bukan merupakan komponen pokok ekspor Bali, namun dalam catatan sejarah, antara tahun 1650 - 1830, jumlah budak Bali yang diekspor ke Batavia diperkirakan 1.000 orang setiap tahun, sehingga diperkirakan 150.000 budak dalam periode itu, baik laki-laki maupun perempuan. Para Budak Bali yang dikirim ke Batavia, terkonsentrasi pada empat kampung, yaitu: 1) di Kroekoet dekat Molenvliet; 2) Angke; 3) Pakodjan, dan; 4) kampung pisang batu (Parimartha dkk, 2013: 310-311).

Ada tiga kelompok budak, yakni karena: tahanan perang; budak karena berhutang, dan; budak narapidana (Henk S. Nordholt, 2006: 52-53). Untuk meningkatkan ‘komoditas’ budak, raja Bali membuat perang-perang ‘kecil’ sebagai upaya memperbanyak budak. Perang menghasilkan budak, namun ternyata permintaan akan budak juga menyebabkan perang. Disamping karena perang, budak juga diperoleh karena berhutang dan narapidana, sebagai fenomena biasa yang tersebar luas. Seseorang akan menggadaikan dirinya untuk membeli ternak, modal menanam padi, dan mengimbangi hasil panen yang gagal.

Dalam upaya mendapat penghasilan kerajaan dari sektor  perdagangan budak, maka raja mencari cara agar semakin banyak orang rakyat yang berhutang. Raja mendapatkan cuken dari kegiatan sabung ayam yang diselenggakan berhari-hari. Rakyat yang kalah, akan menggaikan dirinya untuk modal sabung ayam, dan ketika tidak mampu membayarnya, maka resikonya adalah diperjualbelikan oleh para elit kerajaan dan penguasa lainnya. Kekerasan politik dan perdagangan budak telah menyebabkan orang mencari perlindungan pada penguasa kuat, meskipun dalam kenyataannnya merekalah pedagang budak terbesar. Perdagangan budak meningkatkan hirarki, karena kaum elit selalu menambah kekayaan dan kukuatannya, sementara kaum rendah semakin tidak berdaya. Kaum elit, semakin mendapatkan kemewahan yang diekspresikan dalam gaya hidup dan candu.

IV Simpulan
Sebelum abad ke-15, Bali telah membuka diri ke dalam hubungan yang intensif dengan wilayah luar. Hubungan itu telah terjadi sejak jaman neolitik, setidaknya dikuatkan oleh bukti-bukti arkeologis. Hubungan dengan luar semakin intensif dengan adanya penyatuan Bali dengan Blambangan, sekalipun melalui perang. Konsep penyatuan antara Bali dan Jawa serta wilayah lain, menjadi nilai dasar Raja Bali menata wilayahnya. Sebagai wilayah strategis, Bali menjadi wilayah antara perdagangan dari barat ke timur dan sebaliknya.  Bali telah membangun sebuah tradisi dan komunitas di luar wilayahnya akibat perdagangan budak.

Daftar Bacaan

Ardika dkk. 2013. Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press.     
NN, 1986. Babad Dalem: Teks dan Terjemahannya. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi TK. I Bali.
Eiseman, Jr., Fred B. 1988. Bali Sekala & Niskala. Berkeley/Singapore: Periplus Editions.
Goris. R. 1954. Prasasti Bali. Bandung: Masa Baru.
Hagerdal, Hans. 1998. “From Batulepang to Ayudhya. Bali dalam BKI, 154, hal. 55-59.
Hall, K.R. 1985.  Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press.
Kosasih, E.A, 1993, “Fungsi Benda Logam dalam Kehidupan Masyarakat Masa Lalu: Tinjauan Umum”, Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV: Metalurgi dalam Arkeologi, Hal: 163-174, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lapian, B Adrian. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.  Jakarta: Komunitas Bambu.
Parimartha, I Gde. 2002. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915. Jakarta:  Djambatan.
Poeponegoro, Mawardi Djoenod dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Balai Pustaka.
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Putra Agung, Anak Agung. 1971. “Masalah Perdagangan Budak di Bali Abad 17-19” dalam BASIS No XXI, Tahun 1971: 38-48.
…………. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
…………. 2001. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soejono, R.P. 1977. “Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali” Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suastika, I Made, 1977 (Pitana, ed). “Hubungan Bali dengan Asia Tenggara pada Masa Bercocok Tanam”, Dinamika Kebudayaan Bali, 29-42, Bali: Upada Sastra.
Sutaba, I Made, 1980, Prasejarah Bali. Denpasar: Yayasan Purbakala Bali.
Suwitha, I Putu Gede. 2011. Perahu Pinisi di Pesisir Bali. Denpasar: Pusaka Larasan.
Vickers, Adrian, 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Denpasar: Udayana University Press.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar