Skip to main content

Budaya Kerja yang Transformatif dan Berkarakter


Sumber Gambar: Dictio.id
Oleh
 IBG. Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia
(Jakarta, 4 Maret 2009)
I Pendahuluan
Budaya adalah sesuatu yang dianggap paling berharga dalam kehidupan masyarakat pada jamannya. Karena itu, budaya acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral bagi para anggota komunitas tertentu yang dijadikan acuan dalam hidup bersama,  digunakan sebagai sumber apresiasi, berkreativitas, dan mengungkapkan berbagai kata hati. 

Budaya sebagai komitmen moral yang amat berharga, mengharuskan penganutnya untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran mereka.  Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai nilai itu, telah membuka peluang adanya polarisasi makna, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya bias dan perbedaan penafsiran terhadap suatu nilai. Lebih-lebih jika faktor eksternal telah ikut memberi sinergi terhadap polarisasi cara menafsirkan nilai itu.

Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama. Akibatnya, terdapat komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik, dalam kenyataannya telah mengalami benturan dan malahan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses dinamika dan perubahan, termasuk bagaimana kita insan Hindu yang hendak memberi makna terhadap budaya kerja. 

Dengan uraian di atas, saya berpendapat bahwa budaya adalah sesuatu yang dapat digunakan sebagai ideologi, sumber semangat, dan nilai yang mengarahkan terbentuknya tindakan sehingga mampu menjadi inspirasi terbentuknya persepsi, sikap kerja, dan pada akhirnya perilaku berkarya. Dalam konteks acara ini [LKMM-TD] bagaimana kita membangun budaya kerja di kalangan Mahasiswa agar menjadi insan yang transformatif, berintegritas, dan berkarakter. 

II  Budaya Kerja Sebagai Jalan Dharma
Ada tiga hal penting yang acapkali diajurkan kitab-kitab Hindu ketika membahas mengenai Kerja, yaitu Manusia Hindu [MH] termasuk di dalamnya Mahasiswa Hindu, yaitu melayani, membina [pemberdayaan], dan membimbing [meneladani]. Menurut saya, iklas beramal [lascarya] hendaknya dimaknai sebagai tindakan kerja tanpa pamrih-tanpa motiviasi berlebihan terhadap hasil kerja itu sendiri. Bagi saya, budaya kerja yang harus dikembangkan adalah ‘kerja sebagai penanda hidup, mencapai kemuliaan hidup, dan melalui kerja dicapai kelepasan atau penyatuan dengan Tuhan [mokshartam jagaditta]. Hanya dengan nilai dasar ini, kita baru akan mampu melakukan pelayanan dengan optimal [sewaka dharma]. Bagi kami, kerja adalah yadnya karena itu harus dilakukan dengan konsentrasi dan disiplin [Yoga Sutra] atau dalam Yajur Veda, 19:30] berikut.
Pratena diksam apnoti
Diksaya apnoti daksinam
Daksina sraddham apnoti
Sraddhaya satyam apyate
(Yajur Weda.19.30)
Artinya:
Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian,
Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan
Dan dengan kehormatan kita peroleh kebenaran
Bertitik tolak dari kutipan di atas, maka pelayanan yang dilakukan atas dasar rasionalitas, maka di sana akan terselip motivasi pamrih dan berharap – yang menurut saya bukanlah tindakan yang relevan dengan prinsip dasar ‘iklas beramal’ [lascarya].

Dalam konteks melayani, saya mengusulkan 6 [enam] S, Pelayanan  yang  baik  tentu dimulai dengan, 1] salam, 2] senyum, 3] sapa, 4] segera, 5] selesai, dan 6] sukses. Saya setuju jika seorang Pimpinann meletakkan salam sebagai ikon institusi, karena menurut kami salam itu sebagai penanda ucapan syukur, bahwa ada ‘utusan’ Tuhan yang datang kepada kita dan karena itu harus disambut dengan salam dan senyum. Tentu amat menyedihkan bagi mereka yang dalam masa hidupnya tidak pernah diberi desempatan bertemu dan didatangi oleh ‘utusan’ Tuhan [baik untuk mengingatkan, menguji, dan memberi rejeki]. Salam dan senyum secara spontan adalah salah satu sikap yang patut dikembangkan dalam kerangka kita melakukan pelayanan optimal kepada masyarakat.

Persepsi kerja memberdayakan [abhisamdhaka] menurut saya harus mengandung makna adanya penghargaan dan pengakuan yang seimbang terhadap eksistensi pihak lain. Memberdayakan juga berarti tidak pernah secara sadar menyakiti pihak lain [ahimsa], dan malahan senantiasa berusaha untuk memuliakannya atau dasar perinsip dia adalah aku [tat twam asi]. Karena itu, memberdayakan harus dimulai dengan sikap kerja hormat kepada sejawat, bersahaja, jujur, beretika, memiliki integritas terhadap pekerjaan, dan disiplin. Dengan sikap kerja seperti itu, kita berharap mampu memberi motivasi dan memperdayakan semua orang [sarva-abhisamdhaka].

Meneladani adalah persepsi kerja yang harus ditanamkan dari sejak awal seorang karyawan menyatakan dirinya bergabung di Departemen Agama. Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, maka kateladan atasan menjadi penting sebagai acuan bawahan. Dalam ajaran Nitisastra [etika kepemimpinan], disebutkan bahwa seorang atasan [pemimpin] harus mampu ‘berbusana’ sebagai berikut.
Busana orang kaya adalah ramah dan buka hati,
Busana orang kuat adalah ucapan halus,
Busana pengetahuan adalah kedamaian,
Busana orang yang belajar buku-buku suci adalah rendah hati,
Busana tap, yoga, semadi adalah  tidak lekas marah,
Busana orang besar adalah pemaaf,
Busana orang belajar agama tidak mencela agama orang lain

Apa yang dapat diteladani dari seorang pimpinan, jika kikir, tidak terbuka, ucapannya setiap saat kasar-menghardik, pernyataannya senantiasa menimbulkan kegelisahan di lingkungan kerjanya, tinggi hati, setiap saat marah, tidak pernah bersedia memberi maaf, dan selalu mencela agama orang lain. Keteladanan menurut saya memerlukan konsistensi antara apa yang ada dalam pikiran [manacika], perkataan [wacika], dan perbuatan [kayika]. Keteladanan tidak memberi ruang kepada sikap medua, seperti misalnya ‘dengarkan apa yang aku katakan, tetapi jangan tiru apa yang aku perbuat’. 

III Strategi Penguatan Budaya Kerja
Dalam kajian kebudayaan, perubahan itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan anggota komunitas sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti nilai dan budaya kerja. Asumsinya, perubahan secara inheren mengandung proses destrukturasi, restrukturasi, dan strukturasi secara silih berganti (Triguna, 1990: 12). Dalam mekanisme itu terjadi peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modification) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan  kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka dengan berbagai ikutan aktivitas kebudayaan mereka.

Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya adaptasi itu manusia terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian dan cara memberi arti yang dilakukan sebelumnya kurang relevan, cara itu akan diganti dengan cara yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman dan sosialisasi. 

Pemahaman secara cermat mengindikasikan bahwa dalam proses itu diakui ada aktivitas ‘manipulasi simbolis’ yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Dengan logika itu, maka penguatan [sosialisasi] budaya  kerja hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga melalui media dan pimpinan tradisional. Pengalaman masa lalu ketika KB mulai diperkenalkan banyak pihak yang menolak atau apriori, tetapi berkah petuah para pimpinan tradisional akhirnya semuanya berjalan sesuai harapan.

IV. Petutup
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan pada forum terhormat ini, semoga ada manfaatnya. Tarima kasih.





Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar