Skip to main content

Bunuh Diri: Orang Bali Mengalami Anomi ?




Sumber Foto: Hai-online.com -Grid.Id
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia (Makalah disampaikan pada diskusi Majalah Gumi Bali Sarad, 2 Januari 2004).

Jika kita mengikuti dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali, maka terdapat beberapa fenomena menarik yang patut disimak, yaitu telah terjadi perubahan sikap dan perilaku orang Bali secara signifikan. Orang Bali tidak lagi teridentifikasi sebagai orang yang polos, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Baterson, melainkan orang Bali telah dipersepsikan oleh outsiders sebagai orang yang tempramental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. perubahan lain pada perilaku orang Bali dapat pula dipahami melalui angka bunuh diri yang dalam bulan-bulan terakhir semakin meningkat. 

Data Rumah Sakit Sanglah menyebutkan bahwa di Bali pada tahun 2002 terjadi 146 kasus bunuh diri dengan rincian 59 orang perempuan (40,4 %) dan 87  orang laki-laki (59,6 %), sementara pada tahun 2003 terjadi sebanyak 100 kasus,   dengan     rincian 33 orang perempuan (33 %) dan 67 laki-laki (67%). Apabila data yang dikeluarkan Rumah Sakit Sanglah itu hanya berkaitan dengan yang ditangani oleh Rumah Sakit Sanglah, maka  informasi yang diperoleh melalui pemberitaan sebuah media cetak di daerah ini yang menyebutkan bahwa di Jembrana dalam setahun terjadi 36 kasus bunuh diri (BP, 23 Desember 2003) merupakan data tambahan yang membuat data angka  bunuh diri orang Bali semakin meningkat. Belum lagi informasi mengenai bunuh diri yang berasal dari berbagai kabupaten kota lainnya yang menghiasi  pemberitahaan media cetak maupun elektonik, cendrung menunjukkan angka mencemaskan. Bagaimana hal itu bisa terjadi pada masyarakat Bali ?

Faktor Integrasi Sosial

Dari perspektif sosiologis, angka bunuh diri dapat berbeda-beda menurut tingkat integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang semakin memudar dapat melahirkan bunuh diri egoistik dan anomik. Sedangkan tingkat integrasi yang terlampau kuat dapat mendorong terjadinya bunuh diri altruistik. 

Dalam konteks fenomena bunuh diri orang Bali, saya menduga hal itu terjadi karena orang Bali semakin mengalami tekanan yang berlebihan pada individu-individu, sementara ikatan sosial dengan kelompok sosialnya (keluarga, kerabat, krama) semakin melonggar. Tekanan yang dialami dapat bersumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan yang diikuti oleh pemutusan hubungan kerja, ketidakmampuan bersaing dengan new comers yang biasanya memiliki kemampuan dan motivasi lebih baik dari penduduk asli yang cenderung manja, dan tersumbatnya saluran-saluran komunikasi dengan berbagai institusi yang ada, termasuk di dalamnya ketidakmampuan Pemerintah dalam memberikan rasa aman kepada situasi dan kondisi yang berubah dengan cepat. 

Efek dari kerasnya tekanan faktor eksternal itu sesungguhnya dapat diminimalkan, jika ikatan sosial dengan kelompok sosial masih berjalan baik.   Seberat apapun krisis ekonomi yang melanda masyarakat, sekeras apapun persaingan penduduk asli dengan para pendatang dalam memperebutkan sumber-sumber pendapatan, dan tersumbatnya saluran-saluran komunikasi, jika hubungan sosial mereka (orang Bali yang bunuh diri) masih berjalan baik, maka bunuh diri tidak akan pernah terjadi. Orang Bali yang mengalami tekanan, dapat mencurahkan berbagai persoalan yang mereka sedang alami dengan individu-individu yang memiliki hubungan dekat  sehingga dengan cara ini menimal persoalan yang sedang mereka hadapi dapat dicurhatkan kepada kerabat dekat. 

Tampaknya hubungan-hubungan karib yang selama ini dapat diperoleh dengan kelompok sosial semakin melonggar. Jikapun seorang manusia Bali saat ini masih berkunjung ke rumah krama lain, ke banjar, dan kelompok sosialnya lainnya, itu dilakukan dengan amat formal, semata-mata karena orang itu takut akan sangsi  jika mereka tidak datang, maupun karena semata-mata sebagai suatu kewajiban. Hubungan-hubungan karib yang mendalam tampaknya telah berangsur-angsur semakin meluntur. Setidaknya hal ini dapat dipahami melalui fenomena semakin menonjolnya angka kekerasan yang melibatkan anggota keluarga, banjar, dan kelompok sosial lainnya. Jadi, meningkatnya bunuh diri egoistik pada orang Bali disebabkan karena semakin kuatnya tekanan yang dialami orang Bali bersamanaan dengan semakin melonggarnya hubungan-hubungan karib pada lingkungan sosialnya.

Bunuh diri anomic pada oramng Bali, muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Maksudnya, bahwa berbagai institusi yang ada pada masyarakat Bali tidak lagi secara cepat mampu menyediakan solusi bagi dinamika orang Bali yang demikian cepat, terlebih dalam situasi keterbukaan seperti sekarang.  [Sekalipun ada pembenar bahwa perkembangan keinginan bergerak lebih cepat ketimbang kemampuan lembaga dalam mengantisipasinya], namun toh diperlukan langkah-langkah cepat dan sistematis dalam merespon setiap dinamika. Yang terjadi adalah, berbagai institusi sosial tidak mampu lagi mengantisipasi secara cepat fenomena semakin banyaknya orang Bali yang terlibat dengan persoalan norkoba, seks bebas, dan tindakan yang menjurus kepada tindakan patologis. Ketidakmampuan institusi dalam menyiapkan secara cepat dan pragmatis berbagai pengetahuan dan keterampilan bagi generasi muda Bali agar tidak terpinggirkan oleh para new comers. Akibatnya, banyak perilaku orang Bali yang tidak mampu lagi ditampung dan atau dijastifikasi oleh norma-norma yang sesuai dan didukung oleh prinsip-prinsip moral umum. Perubahan mendadak dalam masyarakat, krisis ekonomi, dan longgarkan kunkungan sosial secara tiba-tiba, dan ketidakmampuan lembaga dalam menyediakan jastifikasi kultural dan agama terhadap dinamika yang demikian cepat, merupakan faktor lainnya yang mendorong tingginya angka bunuh diri pada orang Bali.
Simpulan dan Harapan

Tingginya angka bunuh diri di kalangan orang Bali diduga karena terjadi tekanan berlebih terhadap individu orang Bali bersamaan dengan semikin longgarnya hubungan sosial dengan lingkaran karib. Gejala itu semakin meningkat karena ketidakmampuan berbagai institusi sosial dalam merespon secara cepat dinamika yang terjadi. Oleh karena itu, orang Bali harus menyadari bahwa ‘musuh’ pertama telah manifest dalam bentuk fatologis sosial dan musuh utama ada pada diri sendiri untuk senantiasa dikendalikan secara sistematis dan kontinyu. Hanya dengan mengasah kepekaan dan disiplin, kita baru akan mampu mewujudkan masyarakat yang tidak mengalami anomi, yaitu memudarnya nilai-nilai yang berlaku.

Institusi-institusi sosial dan kultural hendaknya dengan sistematis harus mampu melakukan usaha reintepretasi agar ‘kekakuan’ yang terjadi lebih fleksibel di tengah-tengah tuntutatan dinamika yang semakin cepat. Besarnya tantangan yang terjadi, membutuhkan komitmen bagi semua umat untuk sungguh-sungguh mau bekerja secara profesional, dan menghentikan berbagai bentuk ‘pertikaian ke dalam. Semoga pikiran yang baik dating dari segala penjuru.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar