Skip to main content

Hindu Nusantara: Perspektif Sosial Kultural



Foto Koleksi Pribadi (Yudha Triguna)


Oleh
IBG Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia

I. Pendahuluan

Tidak seorangpun menyangkal bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang kekal, yang tidak mungkin dihindari, dan merupakan keharusan. Yang membedakan perubahan satu dengan yang lainnya adalah intensitas dan limit waktunya. Untuk sebagian masyarakat dan kebudayaan, perubahan berjalan cepat sehingga segera dapat diketahui dan dirasakan. Sementara untuk yang lain bersifat relatif lambat, dan baru diketahui serta dirasakan setelah melalui kurun waktu yang relatif lama. Umat Hindu juga tidak terlepas dari dinamika itu. 

Umat Hindu saat ini telah ada di seluruh  wilayah Indonesia. Sebagian dari mereka penduduk setempat, lagi etnis Bali karena program transmigrasi, dan karena migrasi berkaitan dengan tugas pemerintahaan serta usaha swasta. Dengan jumlah kurang lebih 10 juta jiwa di seluruh Indonesia, 65 persen di antaranya berdomisili dan tersebar di luar Bali. Dari jumlah 65 persen yang berada di luar Bali, tersebar meliputi Lampung, NTB, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jabodetabek, dan disusul propinsi lainnya. Enam puluh persen lebih berasal dari mereka etnis Bali lengkap dengan sistem pengetahuan, sistem sosial, dan ekspresi budaya yang dihasilkannya. 

Banyaknya jumlah penduduk Bali yang berdomisili di setiap Provinsi luar Bali dan menjadi penduduk tetap, menyebabkan rasa Bali tidak bisa dihindarkan lagi. Malahan, orang bukan etnis Balipun dengan bangga dan atau terpaksa mengikuti cara berfikir, bertindak, dan mengidentifikasi dirinya sebagai Hindu dengan meminjam ekspresi Bali. Sementara itu, ditemukan pula penduduk Bali menganut mayoritas Hindu di wilayah setempat, sadar atau tidak sadar memperkenalkan dan melaksanakan berbagai aktivitas agamanya berdasarkan hal-hal yang terbiasa dilakukan [baik dalam sistem pengetahuan, sosial, dan ekspresi budayanya]. Akibatnya, muncul terminologi ‘Balinisasi’ terhadap lokalitas serta isuintervensi dinamis terhadap keberadaan umat etnis bukan Bali di wilayah dimaksud. Diskursus ini kemudian memunculkan gerakkan Hindu Nusantara, untuk memberi ‘peringatan’ terhadap intervensi Bali, dan sekaligus memberikan penghargaan terhadap eksistensi serta kesetiaan Hindu setempat. Atas dasar itu, naskah ini mencoba membahas: apakah Hindu Nusantara itu ada, seperti apa bentuk dan aktivitasnya ? Bagaimana kita para semeton menyikapi dan memberi peran terhadap hidup dan berkembangnya Hindu Nusantara.

II. Hindu Nusantara Seperti Apa ?

Istilah Nusantara sesungguhnya telah ada sejak pemerintahaan Majapahit [abad 12-16] untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra sampai Papua. Setelah cukup lama tidak terdengar, kemudian dimunculkan lagi oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk Indonesia. Sekalipun nama Indonesia kemudian dipilih, namun istilah nusantara masih tetap digunakan sebagai padanan nama Indonesia. Kitab Negarakertagama mencatumkan wilayah-wilayah Nusantara yang saat sekarang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia [Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian kepulauan Maluku dan pulau-pulau di sekitarnya, Malaysia, Singapura, Brunai dan sebagian kecil Filipina]. Secara morfologi kata Nusantara merupakan majemuk bahasa jawa kuno, yakni nusa [pulau] dan antara [lain atau seberang]. Dalam koteks pembahasan ini, saya menangkap ada kerinduan untuk menjadikan Hindu sebagai agama yang juga hidup, diakui, dan berkembang selain di wilayah Indonesia juga di nusa [pulau] dan antara [seberang].

Seperti halnya konsep kebudayaan nasional, istilah Hindu nusantara adalah sebuah cita-cita yang agak sulit diidentifikasi dalam bentuknya yang nyata dan dibanggakan secara sadar oleh seluruh umat Hindu dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda. Kesulitannya terletak pada terbentuknya satu ciri fisik yang khas, tetapi dimaknai sama dengan cara yang sama. Kesulitan ini disebabkan oleh adanya semangat akan kebudayaan sendiri, bersumber dari dan dengan cara masing-masing. Misalnya, kenyataan bahwa agak kesulitan bagi orang Bali, tidak menggunakan atribut Bali atau ekspresi kebudayaannya, hanya  karena mereka tinggal di luar Bali. Begitu juga orang Jawa merasa bangga menggunakan sarung dan belangkon untuk menunjukkan ke Jawa-annya. Umat Hindu di Lampung yang sebagian besar beretnis Bali dan Jawa tentu tidak boleh dilarang menggunakan identitas etnis, walaupun KTP nya dikeluarkan pemerintah setempat. Hindu Nusantara, tidak berarti bahwa seseorang yang menyebut dirinya Hindu dan berdomisili di walayah Indonesia seragam menggunakan pakaian tertentu, upacara dan acara agama tertentu, melainkan memberi ruang pada berkembangnya ciri-ciri kekhasan setempat.  Jadi pada tatanan nyata, Hindu Nusantara [selanjutnya disingkat HN]adalah sebuah tipe ideal yang diharapkandapat mengembalikan kejayaan Hindu di wilayah Indonesia dan pulau seberang, bukan sebuah bentuk nyata dan teridentifikasi secara seragam.
Sebagai sebuah cita-cita dan harapan, pengertian HN harus diarahkan kepada: pertama,  penguasaan pengetahuan yang semakin baik, merata,  dan universal dibangun atas prinsip vidya dhanam sarvadhana pradhanam [kekayaan pengetahuan adalah yang tertinggi]. Mudra [penyatuan ibu jari dengan telunjuk] dianggap sebagai awal pengetahuan, baik sekuler maupun rohani yang dalam ikonografi  jnana mudra dapat dipahami pada gambar, patung, dan ilustrasi lain tentang Siwa sebagai Daksinamurti. Tidak mengherankan jika berkembang anggapan “Laksmi produk Saraswati”, bahwa kesejahteraan dan kemakmuran disebabkan karena pengetahuan.  Itulah sebabnya menurut hemat saya, benar apa yang tersirat dalam Sarasamuccaya Sloka 300-301“wastramambhastilan bhumim gadho wasayate yatha, puspanamadhiwasena tatha samsargaja gunah” yang arti bebasnya, bergaullah dengan orang pandai, karena sungguh cepat kepandaian itu menular, ibarat membuat minyak wangi, maka bau bunga akan meresap pada kain, air, minyak, dan tanah karena bersentuhan dengan bunga. Lebih lanjut disebutkan “hiyate hi matistata hinaih saha samagamat, samaicca samatameti wacistaicca wacistanam”, yang secara bebas dapat diartikan “rendahlah budi kita kalau bergaul dengan orang berbudi hina, jika bersahabat dengan orang pengetahuannya sedang-sedang saja, maka sedemikianlah pengetahuan kita, dan jika berbudi utama sahabat kita, maka utamalah pengetahuan dan budi kita”. Bagaimana kita bisa menjadinya Hindu sebagai HN, jika kita tidak berpengetahuan-menguasai kompetensi sesuai dengan swadarma [pradnyan], maka kita tidak mungkin mampu mewujudkan HN. Oleh sebab itu, Sarasamuccaya ‘memerintahkan’ kepada umat Hindu: bergaulah [302, gunawatsu gunalpo pi yati wistaratam nrnam, patitah swadulimale tailabinduriwambhasi], bangun jejaring [304], dan berdiskusilah [305]. Hanya dengan cara ini, kita akan mampu menjadi sebuah komunitas Hindu yang berpengetahuan luas dan mendalam.

Kedua, manusia HN tidak cukup hanya berpengetahuan atau menguasai kompetensi semata, melainkan ia harus mampu mengendalikan letupan-letupan kata hatinya secara berlebihan akibat kegembiraan, kesedihan dan kemarahan . “Na prahrsyati sammane nindito nanutapyate, na kruddhah parusanyaha tamahuh sadhulaksanam” [SS, 306]. Manusia Hindu dengan terminologi HN harusnya rendah hati sebagai akibat banyak kepandaian dan pengetahuan, ibarat padi atau pohon yang merunduk karena buahnya lebat [Yatha yatha prakstanam ksetranam sasyasampadah, cakha ca phalabharene namrah sadhustatha tatha]. Kemampuan mengendalikan fluktuasi perasaan, mengendalikan kroddha, dan rendah hati adalah dimensi yang dapat digunakan indikator positif membedakan manusia Hindu dengan lainnya. 
Ketiga, HN adalah sebuah entitas yang semestinya mengedepankan universalisme, baik dalam konsepsi berketuhanan, berhidupan sosial dan peningkatkan kualitas diri menjadi manusia utama. Universalisme memberi peluang semakin lebarnya integrasi Hindu yang berasal dari etnis yang berbeda-beda. Universalisme lebih mengedepankan isu-isu tentang kemanusiaan, moralitas, danisu modernitas. Humanitas lebih diartikan seberapa besar perhatian agama Hindu terhadap persoalan kemiskinan, perhatian kita terhadap anak lingsir, anak yatim, dan fakir miskin. Isu moralistas berkaitan dengan pentingnya menekankan anak-anak untuk senantiasa hormat kepada orang lebih tua, di tengah-tengah semakin sedikitnya orang mau belajar sejarah dan lebih suka belajar matematika. Moralitas juga dikaitkan dengan betapa pentingnya orang tua mengontrol pergaulan anak-anak kita agar tidak terjerumus ke dalam perilaku menyimpang. Sedangkan modernitas dikaitkan seberapa rasional penjelasan agama kita terhadap  ajaran yang dikembangkan dan muculnya terminologi Hindu yang lebih efisien. 

Ketika kita menerima wajah HN yang lebih menekankan universalisme dengan isu-isu utama, rasionalisme, moralitas, dan modernisasi, maka harus disadaribahwa universalisme memperkecil atau mempersempit spesifikasi setempat [kekhasan setempat]. Ketika kita bicara universalisme, maka harus ada good will kita untuk menekan lokalitas. Ini sesuatu yang mudah diucapkan, tetapi memerlukan proses panjang dalam pelaksanaannya. Sebab, manusia pada umumnya akan merasa nyaman apabila menggunakan ekspresi-ekspresi Kebudayaan mereka. Orang Hindu etnis Bali, Jawa, Kaharingan dan Batak akan merasa lebih percaya diri dan nyaman,  jika mereka menggunakan tradisi yang sudah dienkultulasi dan diinternalisasi dalam perilakunya sehari-hari, sehingga tidak mudah menggabungkannya, seperti halnya membuat es campur.

Keempat, HN lebih menekankan pentingnya peningkatan kualitas diri [ke dalam], peningkatan olah rasa dan buddhi. Itulah sebabkan HN akan lebih mudah menerima aktivitas yang memberi ruang pada, misalnya yoga, japa, semadi, dan berbagai diskusi mengenai kemuliaan hidup. HN lebih menekankan pada pentingnya aktivitas dan praksis pribadi dalam mencapai kebahagiaan. Jikapun dibutuhkan adanya komunitas, maka lebih kepada semata-mata memperkuat kedudukan pribadi. Oleh karena itu, HN menempatkan isu manusia Hindu harus matang secara emosional, cerah dalam ekspresi wajahnya [lebih banyak senyum dan hangat], dan mampu memelihara lingkungan dengan bersih sebagai refleksi pikiran dan sikap hidupnya yang bersih.

III. Bagaimana Peran Kita ?

Uraian di atas telah memberikan gambaran dan kecendrungan bahwa ke depan dinamika masyarakat semakin intens. Malahan menurut Morieux dan Tollman [2014] dinamika itu dalam 20-30 tahun bergerak sebanyak 35 kali. Akibatnya, kita tidak boleh menolak modernisasi dan atau pembaharuan dengan mempertentangkan: bahwa modernisasi itu jelek semua, sementara tradisi itu dianggap baik semua, karena itu tradisi harus dipertahankan mati-matian [anak mula keto dengan alasan warisan leluhur], sementara pembaharuan harus ditolak mati-matian. Indikator-indikator pergerakan telah menunjukkan bahwa agama itu harus semakin rasional [walau rasional bukan segala-galanya], agama harus semakin memperluas sentuhan terhadap aspek-aspek kemanusiaan. Agama juga harus dibuat semakin efisien, tanpa mengurangi makna substantifnya. Jika kita sepakat pada kecendrungan ini, maka sebagai walaka pengabih Ida anak lingsir kita harus melakukan hal-hal berikut.

Pertama, sebagai walaka pengabih Ida anak lingsir senantiasa berusaha mengikuti langkah anak lingsir untuk mempelajari, memahami, dan menguasai pengetahuan dan sastra agama [apapun profesi kita saat ini]. Kita tidak boleh hanya mengandalkan indikator tunggal, yakni mengagungkankelahiran semata, tetapi juga harus terus meningkatkan pengetahuansekuler maupun rohani. Keengganan mempelajari pengetahuan menjadikan kita bodoh, menjadikan kita tertinggal dalam kompetisi sumber ekonomi, dan akhirnya kita tertinggal dari yang lainnya. Dalam terminologi politik, kita tidak boleh merasa nyaman mempertahankan status quo. Jika ini terjadi, maka kita akan tertinggal dari mereka yang disebut dengan kelompok kepentingan [interest group] karena biasanya kelompok kepentingan lebih kritis dan seolah-olah bisa berbuat lebih baik. Intinya, saya berharap kita semua memahami makna di balik sloka Nitisatakam berikut:“masih mungkin mengambil permata di dalam mulut buaya, masih mungkin berenang dalam laut yang luas, namun alangkah malangnya seorang manusia yang bodoh, miskin, dan bengkung, Dewa Brahma pun diturunkan untuk mengajarinya, tidak akan bisa”.  Sebodoh-bodohnya orang akan bisa menjadi pintar kalau dia mau belajar. Orang miskin berpeluang menjadi kaya kalau dia mau belajar dan bekerja. Sungguh malang nasib kita orang bodoh, miskin, tidak memiliki kemauan belajar dan bekerja, serta bengkung, pasti akan menderita.

Kedua, kita semua para walaka harus senantiasa mendorong agar Ida Peranda disamping ngeloka pala sraya, juga disiapkan, dijadwalkan, dan difasilitasi menghasilkan bhisama dan atau kesatuan tasirmengenai tata titi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dengan kemampuan dan penguasaan sumber sastra agama, kita harus menjadi panduan, menjadi pedoman laku hidup beragama Hindu, pemberi perlindungan kepada umat, tatkala mereka kebingungan dalam kehidupan. Tuntunan dimaksud tentu bukan hanya sebatas upacara dan upakara, tetapi juga menjadi penuntun dalam kehidupan bermasyarakat dengan memberi panutan pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ingat, jikalau pikiran kita gelap, perkataan dan perbuatan akan mengikutinya. Perbuatan yang baik akan menghasilkan kebiasaan, dan pada akhirnya akan membentuk karakter. Wajib hukumnya seorang yang terlahir dari pengabih Ida anak lingsir, bisa menjaga dan mengarahkan pikiran menjadi karakter yang baik. 

Ketiga, menurut hemat saya kita tidak boleh mengisolir diri karena berbagai alasan. Ambil peran dalam setiap kesempatan, dan tunjukkan kalau kita memiliki kompetensi [pradnyan] dan keterampilan. Hanya yang perlu kita sadari, harus diperkuat aspek purusotamanya. Kita harus belajar lebih sabar, lebih mampu mengendalikan diri, dan tetap rendah  hati. Orang yang demikian, ditambah terlahir dari lingkungan baik, niscaya akan memperoleh kemuliaannya.

IV. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak ada masyarakat yang terhindar dari perubahan, oleh karena itu kita tidak boleh menutup diri terhadap perubahaan.
2. Wacana Hindu Nusantara adalah tipe ideal yang berisi harapan berkembangnya Hindu yang lebih universal, mengedepankan isu kemanusiaan dan moralitas.
3. Hindu Nusantara juga mengedepankan pentingnya peningkatan kualitas diri [bersifat ke dalam], dengan menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan agar senantiasa menjadi shanti.
4. Sebagai pengabih Ida anak lingsir, para walaka wajib mempelajari, memahami, dan menguasai pengetahuan dan sastra agama serta pengetahuan lainnya. Sebab, pengetahuan [sekuler maupun rohani] adalah kekayaan tertinggi [vidya dhanam sarvadhana pradhanam].

(Makalah disampaikan pada Sarasehan di Pura Agung Jagatkarta, Gunung Salak, Bogor, Jabar 13/07/2017).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar