Skip to main content

Kepemimpinan dan Nitisastra Menuju Insan Hindu yang Transformatif dan Berkarakter


Sumber Foto: Slideplayer.info
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna. Universitas Hindu Indonesia (Denpasar, 12  Maret 2016).

I  Pendahuluan:
Mahasiswa yang suka bergelut dengan aktivitas organisasi ekstra kurikuler, organisasi sosial, dan sedikit mencoba memahami dinamika politik, nama Machiavelli atau lengkapnya Niccolo Machiavelli (1469--1527) penulis  buku terkenal “Sang Penguasa” (Il Principe, Itali: The Prince, Inggris) bukanlah  nama asing.  Machiavelli seorang tokoh ‘reformis’, yang menerapkan ajaran-ajaran kepemimpinan dengan mendobrak legitimasi magis-religius. Dengan memahami profil para pemimpin dan pola-pola manajemennnya, maka dapat dirumuskan sebuah strategi kepemimpinan dalam organisasi negara, begitulah kira-kira salah satu pandangannya. 

Machiavelli  juga  memperkenalkan pemikiran lain di antaranya, “pertahankan dan perluas kekuasaan sebelum kekuasaan itu melorot dan hancur. Karena desakan waktu, karena pendeknya kekuasaan untuk berkuasa, maka para penguasa sebaiknya tidak tenggelam dalam mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan penguasa harus menjadi lihai dan secara terencana memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan kodrat manusia yang pada dasarnya egoistis. Kekuatan-kekuatan nyata harus digunakan secara spontan, demikian pula legalitas konstitusional harus difungsikan dengan maksimal untuk melancarkan aksi-aksi politik, dan memanfaatkan bonafiditas lembaga agama untuk membangun publik opini bahwa penguasa adalah pendukung moralitas. Rakyat perlu diberi berbagai hiburan dan atraksi sehingga sang penguasa memperoleh simpatik rakyat. Bila kondisi sosial politik semakin gawat karena munculnya kekuatan oposisi, maka diberlakukan keadaan darurat perang dan hukum-hukum peperangan” (Sastraprateja, 1987: XXIII-XXIV).

Pandangan Machiavelli tersebut tentu merupakan bahan diskusi menarik terlebih dalam konteks pelatihan kepemimpinan semacam ini. Pertanyaan penting adalah: apakah relevansi pemikiran Machiavelli dengan kepemimpinan dan organisasi Hindu yang sedang didiskusikan? Apakah Hindu memiliki ajaran kepemimpinan seperti itu? Jika ada, bagaimana hal itu dinyatakan dan dilaksanakan ?  

II  Kepemimpinan dalam Organisasi:
Kepemimpinan (leadership) memiliki sifat universal, artinya ditemukan dan diperlukan dalam setiap kegiatan atau usaha bersama. Kepemimpinan akan ditemukan dalam berbagai kesatuan sosial, mulai terkecil hingga organisasi besar semacam negara. Kepemimpinan terkait dengan kualitas kemampuan (wibawa) individu dalam menciptakan hubungan harmonis antara pemimpin dengan pengikutnya. Oleh karena itu kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada pada dirinya untuk mencapai tujuan. Artinya, ketika berbicara mengenai kepemimpinan sesungguhnya kita sedang berbicara mengenai suatu usaha untuk mewujudkan keinginan si pemimpin, karena kepemimpinan lebih bersifat hubungan personal yang berpusat pada si pemimpin (Pamudji, 1995: 7). Pengertian itu memberi makna kepemimpinan berbeda dengan management yang memiliki  pengertian sebagai usaha melaksanakan wewenang (authority), kesempatan untuk mengerahkan dana dan daya (funds and force) yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Artinya, management lebih bersifat impersonal dengan masukan logika, rasio, dana, analitis, dan kuantitatif.

Sekalipun pengertian kepemimpinan (leadership) dengan pimpinan (management) dibedakan secara akademis, namun dalam kegiatan organisasi kedua hal itu acapkali saling bersinggungan dan melengkapi. Bentuknya, ketika berbicara mengenai organisasi, maka pembicaraan tidak akan terbebas dengan kepemimpinan, dan ketika berbicara mengenai kepemimpinan orang tidak dapat begitu saja mengabaikan persoalan management. 


III  Kepemimpinan Hindu Dalam Kautilya
Telah ditegaskan pada pembahasan terdahulu bahwa kepemimpinan terkait dengan kualitas kemampuan  individu dalam menciptakan hubungan harmonis antara pemimpin dengan pengikutnya. Jika kita berbicara mengenai kepemimpinan Hindu, lalu pola seperti siapa yang harus dijadikan acuan ? Apakah Kautilya, Barata, Ramadewa, Yudistira, atau Ida Cokorda Mantuk Ring Rana ? 
Sebagai mahasiswa yang memiliki sikap kritis hendaknya tidak terpaku pada satu pola, melainkan menemukan pola ideal hasil sinergi dari varian tadi. Oleh karena itu, mari kita mencoba memahami beberapa pola kepemimpinan ideal yang telah ada sebelumnya, sehingga setiap pemimpin Hindu mampu mewujudkan kebijaksanaan duniawi (worldly  wisdom).  

Kautilya dianggap salah seorang penulis kepemimpinan Hindu paling komprehensif (pada  abad ke IV SM) di antara penulis kitab Niti lainnya. Dikenal dengan nama Rsi Wisnu Gupta dan atau Rsi Canakya, telah membuktikan kebesaran dan keluasan wawasannya dengan menyusun kitab yang berjudul Kautilya Arthasastra yang terdiri atas enam jilid, kemudian Kautilya disebut Bapak ilmu politik Hindu. Kautilya Arthasastra dapat dikatakan sebagai sebuah buku  yang  memadukan  seluruh pemikiran yang  terdapat  dalam  kitab-kitab Nitisastra sebelumnya. Karena itu, Kautilya Arthasastra ini dianggap buku Niti terlengkap. 

Menurut Kautilya, seorang pemimpin (Hindu, tentunya) harus mampu memandang bahwa jabatan yang diduduki itu bersifat manusiawi dan bukan sebagai lembaga yang bersifat ilahi. Maksud pernyataan itu adalah jika jabatan itu adalah sebuah lembaga ilahi, maka siapapun tidak boleh melakukan kritik, koreksi, dan sejenisnya terhadap lembaga dan pemimpinnya. Akibatnya, pemimpin cendrung akan berlaku absolut, otoriter, dan berlindung di balik sesuatu yang suprame. Kepemimpinan Hindu harus mendasarkan diri pada dasar-dasar humanisme.

Kedudukan pemimpin dan dharma berhubungan erat. Pemimpin merupakan sumber keadilan, dharmapravartaka. Sesungguhnya menjadi tanggungjawab pemimpin untuk mempertahankan dharma dan melindungi rakyat dengan keadilan, sebab penerapannya akan mengantarkannya ke surga (Svadharmassvargaya praja dharmena raksitah). Kepemimpinan Hindu yang baik adalah kepemimpinan yang mampu mengoperasionalkan prinsip-prinsip kehalusan budi dalam mengendalikan pengikutnya. Seorang pemimpin Hindu harus tetap menjujung tinggi konsepsi trivarga, yaitu dharma, arta, dan kama.

Kautilya juga menekankan bahwa seorang pemimpin hendaknya mencari kebahagiaan dan kemakmuran di dalam kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya. Maksudnya, seorang pemimpin hendaknya melakukan kebijakan bukan pada hal yang ia senangi, melainkan pada hal-hal yang disenangi rakyat. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin Hindu akan dievaluasi melalui seberapa besar komitmen kebijakannya berpihak pada kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan dirinya ataupun atasan. 

Untuk mampu melaksanakan kepemimpinan yang berkualitas, maka seorang pemimpin harus berpegang teguh pada hukum-hukum svadharma dan meletakkan tekanan keras pada pengendalian indranya (undriyajaya). Pemimpin harus mampu berjuang mengalahkan enam musuh, yaitu: loba, sombong, pemarah, pemabuk, dan kurang ajar. Di samping itu pemimpin juga harus mampu menghindari empat godaan, yaitu berburu, berjudi, minum, dan wanita.

Kebodohan dan ketiadaan disiplin merupakan sebab utama lemahnya kepemimpinan dalam organisasi. Oleh karena itu, pemimpin hendaknya dididik dan dilatih mengendalikan indrianya, agar terbebas dari kebodohan dan kemalasan. Dalam konteks, orang bodoh, Hindu memiliki etika sosial sebagai berikut.

“Orang bodoh dapat diajari dengan mudah, orang terpelajar paham hanya dengan sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan merasa dirinya paling pandai, sehingga Dewa Brahma pun tidak dapat mengajarinya”. Lebih lanjut disebutkan “adalah masih mungkin mengambil permata dari pangkal gigi buaya, begitupun masih mungkin berenang menyebrangi lautan yang ombaknya ganas, masih mungkin mengalungi seekor ular yang marah, akan tetapi sungguh sulit mengubah orang bodoh yang memiliki kebiasaan buruk untuk menjadi baik” (Nitisataka, 2003: 1-3).

Dalam kepemimpinan Hindu ditegaskan pentingnya seorang pemimpin memiliki pengetahuan filsafat (anviksiki), pengetahuan veda (trayi), ekonomi (varta), dan politik (dandaniti). Pengetahuan filsafat dan veda membantu menajamkan dan menyehatkan pikiran pemimpin, sehingga mampu membuat kebijakan menyenangkan hati rakyat. Sedangkan pengetahuan ekonomi (varta), dan politik (dandaniti) akan memberikan landasan kesejahteraan dan berbagai metode yang relevan untuk mencapai kesejahteraan itu. Hanya dengan mengkombinasikan pengetahuan-pengetahuan tadi, seorang pemimpin mampu melaksanakan kepemimpinan mereka dengan penuh kebijaksanaan. Dengan kata lain, seorang pemimpin Hindu harus belajar arthasastra, nitisastra, dan dandaniti.

IV  Kepemimpinan Hindu Dalam Konteks Bali
Menurut  Cokorda Mantuk Ring Rana, pemimpin adalah orang yang mampu mengendalikan pemerintahan demi persatuan dan kesatuan, sebab raja sendiri identik dengan dunia beserta isinya. Raja haruslah setia akan kata-katanya sendiri sebagaimana tersirat dalam baik geguritan Nitipraja berikut.

Kocape mungguh ring gurit,
solah tingkah para raja,
ne sampun ngasta keraton,
mawasta ratu ring jagat,
punika ring pangartinya,
karana mawasta ratu,
rat punika madan jagat.
Tu ne mawasta asiki,
wireh asiki ring jagat,
malih artine kapindo,
madan rat pangawak jagat,
tune mewasta tunggal,
satia wacana satuhu,
ndatan owah ing wacana.
(Geguritan Nitiraja Sasana: 1b: 4;5).

Cokorda Mantuk Ring Rana juga menggarisbawahi pentingnya seorang pemimpin memahami dan melaksanakan ajaran Catur Pariksa, yaitu: 
1. Sama, maksudnya seorang pemimpin senantiasa berusaha secara berkesinambungan menumbuhkan sikap saling percaya lahir dan batin. Menjauhkan tindakan berat sebelah, sehingga rakyat merasa diperlakukan sama.
2. Dhana, yakni bekerja keras untuk mewujudkan jagadita.
3. Bedha, mampu menumbuhkan suasana kritis di kalangan rakyat dan menghargai adanya perbedaan. 
4. Dhanda, berusaha menegakkan keadilan, menerapkan sangsi hukum yang seadil-adilnya kepada siapa saja yang berani melakukan tindakan kejahatan.
Konsepsi kepemimpinan yang direkonstruksi oleh Ida Cokorda Ngurah Made Agung diperas lagi dengan apa yang disebutnya sebagai konsep Ulah Telu. Konsep ini mengandaikan adanya tiga prasarat yang harus dicamkan ke lubuk hati terdalam seorang pemimpin dan dilakoninya, seperti tampak pada kutipan berikut.
Wonten mangkin ulah telu,
ne patut rangsuk ring budhi,
kapisane wijayastra,
sapadina kaping kalih,
kaping tiga negarajnana,
papasten pratingkah becik.
(Geguritan Nitiraja Sesana: 7b: 26)
Kini ada lagi Ulah Telu,
yang patut diresapkan di dalam hati terdalam,
pertama wijayastra,
sapadina yang kedua,
yang ketiga negarajnana,
sikap yang sungguh-sungguh teramat baik.
Kutipan di atas kemudian dieksplanasi melalui bait-bait berikutnya yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Wijayastra, pemimpin hendaknya selalu mengutamakan pemerataan dalam bersedekah, senantiasa menghilangkan pikiran-pikiran kotor, bingung, dan sifat suka marah. Tutur sapa hendaknya lemah lembut, hormat kepada pendeta (termasuk pemuka-pemuka agama lainnya), serta sayang kepada masyarakat, terlebih lagi kepada rakyat miskin (daridra), dengan rakasih yang tulus iklas bersedekah, dan harus memiliki kemampuan dalam memutar roda pemerintahan.
2. Sapadina, berbudi luhur, serta tidak silau dengan kekayaan berupa harta benda (tan agawok ing mas artha) karena semua itu adalah kenikmatan semu, dan kekayaan yang tidak bisa dibawa mati.
3. Negarajenyana, seorang pemimpin hendaknya senantiasa membuat kerahayuan dengan jalan memperbaiki sarana persembahyangan seperti pura dan tempat suci lainnya, memperbaiki tempat pertemuan, memperbaiki sarana transportasi berupa:  jalan, jembatan, dan menyediakan alat-alat angkutan. Disamping itu juga memperhatikan masalah pertanian, seperti pengaturan perairan, peternakan, dan sebagainya yang merupakan sumber pendapatan rakyat sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka.

V Penutup 
Demikian beberapa pola kepemimpinan yang dapat dijadikan acuan dalam membentuk insan pimpinan Hindu yang berkualitas. Namun karena kepemimpinan itu bersifat personal, maka pengalaman memimpin sangat menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Oleh karena itu, latihlah diri anda dengan berbagai pengalaman berorganisiasi. Melalui organisasi anda belajar memimpin dan dipimpin. 


Bacaan
Lipton, Bruce. 2005. The Biology of Belief [Rahasia Pikiran Tanpa Batas]. Jakarta: Buana Ilmu Populer.

Machiavelli, Niccolo.1987. Sang Penguasa. Jakarta: PT. Gramedia.

Maxwell, John. 2015. The Maxwell Daily Reader [buku terlaris New York Times The 21 Irreputable Laws of Leadership]. Jakarta: Gramedia.

Pamudji, S. 1995. Kepemimpinan Pemerintahaan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Radhakrishnan. 2003. Religion and Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Rao, Krishna. 2003. Studies in Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Siagian, Sondang P.1999. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Renika Cipta.

Yudha Triguna. 2001. Nitisastra dan Kita. Gianyar: Pelatihan Yowana Siwa Budha se Bali.

--------------------------. 2003. Aktualisasi Kepemimpinan COKORDA MANTUK RING RANA: Refleksi Semangat Puputan Badung. Denpasar: Pemda Badung.


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar