Skip to main content

Keteguhan Hati Yudistira


Sumber  Foto: Katiwawatan Blogspot.com
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia

Marilah kita menundukkan kepala sejenak, seraya berdoa semoga pikiran yang baik datang dari segala arah, sehingga kita semua senantiasa dianugrahi kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan. Sebelumnya, di berbagai kesempatan saya telah menyampaikan pesan moral yang amat mulia, misalnya nilai yang tersirat dalam dialog antara Yaksa dengan Yudistira saat berada di tengah hutan Kamyaka. Pada kesempatan yang baik ini, saya akan mencoba menyampaikan kembali anciant wisdom, nilai-nilai kebijaksanaan yang bersumber dari kisah mahabharata, khususnya parwa ke 18, yaitu Swargarohana Parwa.

Saya akan memulai kisah ini dari perjalanan panca pandawa bersama istrinya Drupadi, ditemani seekor anjing melakukan ‘pendakian’ menuju Sorga. Satu persatu saudara Pandawa tidak kuat melakukannya, Drupadi, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa tewas dalam kelelahan. Tinggal Yudistira seorang diri didampingi seekor anjing yang terus dengan setia membututinya. Akhirnya, Yudistira sampai di puncak pendakian, dan di depan gerbang Indraloka, Yudistira disambut langsung oleh Dewa Indra penguasa Indraloka. Dewa Indra berkata: “Congratulations, Wellcome to Sorga honorable Yudistira”.  Kamu telah berada di pintu sorga, tempat yang penuh kebahagiaan. “Saya menyambutmu langsung atas nama seluruh penghuni sorga, sekaligus menyerahkan seluruh akses infrastuktur dan atribut sebagai penghuni Sorga. Ini ada name tage, ini ada kunci kamar VVIP, kartu kredit unlimitted, Mercy  tipe S seri600 tahun terakhir, serta kursi bertahtakan emas berlian, silahkan ambil Yudistira. Namun, yang bisa melewati gerbang ini hanya kamu seorang, sementara anjing yang mengikutimu tidak boleh ikut masuk. Sorga tidak boleh terkontaminasi binatang, apalagi anjingmu belum di vaksinasi anti rabies”. 

Yudistira tertegun sejenak, sambil melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian berkata: “terima kasih paduka Dewa Indra, paduka telah meluangkan waktu secara langsung menyambut hamba, sehingga hamba merasa mendapatkan kehormatan luar biasa, sekali lagi matur suksma Dewa. Lagi pula Paduka telah berkenaan memberikan berbagai fasilitas VVIP semuanya unlimited, hamba merasa diperioritasnya. Semua kebaikan paduka, hamba junjung tinggi di atas kepala hamba sebagai bentuk hormat padamu. Namun demikian, mohon maaf paduka, hamba tidak bisa meninggalkan sahabat hamba yang amat setia ini, hanya untuk memenuhi kepuasan dan kesenangan hamba sendiri. Anjing inilah yang dengan setia telah mengantarkan hamba bisa mencapai tangga puncak kehidupan hamba. Anjing ini telah menunjukkan rasa empatinya terhadap setiap kondisi yang hamba alami, di kala suka, duka, lara, dan  pati yang menimpa istri dan saudara-saudara hamba. Anjing ini, lebih awal merasakan penderitaan tatkala satu persatu istri dan saudara hamba menemui ajal. Hamba melihat dan dapat merasakan betapa hampanya pandangan sahabat hamba. Sahabat hamba turut terdiam dan meletakkan kepalanya di tanah, sebagai tanda ia turut berduka. Tatkala hamba merasa berbahagia bersama istri dan saudara hamba di tengah hutan lebat Kamyaka, iapun turut menunjukkan rasa bahagianya, dengan cara mengibas-ngibaskan ekornya, menyandarkan lehernya di kaki hamba, dan sesekali menjilati kaki hamba dengan penuh kasih dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin hamba bisa meninggalkan sahabat hamba yang demikian setianya, di tengah-tengah ketidaksetiaan terhadap persahabatan yang mendominisi kehidupan sekarang ini. Maafkan hamba Paduka, biarkan hamba tetap di sini bersama sahabatku yang setia.

Mendengar keteguhan hati Yudistira dan argumentasinya tentang arti penting persahabatan, maka anjing yang selama ini mengikutinya seketika berubah menjadi Dewa Dharma sambil berkata: “Duh Anakku Yudistira, engkau memang seorang manusia berhati mulia, yang tahu arti dan cara memelihara persahabatan. Arti penting persahabatan itu, terlihat dari cara berfikir, berkata, dan bertindak terhadap sahabat tatkala sedang tidak menjadi apa-apa, tidak punya apa, dan tidak berbahagia. Dalam ajaran Niti disebutkan, seorang sahabat adalah ia yang setia. Seorang sahabat yang setia tidak tergoyahkan oleh iming-iming materi, jabatan, dan motif kepuasan belaka. Mereka yang diliputi oleh motif kekuasaan, ia bukan sahabat, melainkan seorang kawan yang sedang belajar berhitung, membagi, menambah, dan ingin mendapat hasilnya”. Aku bangga padamu Yudistira, wahai putra Dharma.

Melihat kenyataan itu dan mendengar petuah Dewa Dharma, seketika Yudistira bersujud dan memberi hormat. Ampun paduka, hamba selama  ini sungguh tidak tahu jika paduka mengguji hamba dengan menyamar sebagai seokor anjing. Maafkan kesalahan dan kelancangan hamba selama ini. Setelah Yudistira selesai bersujud dan memohon maaf, Dewa Dharma kemudian menghilang kembali ke Swargaloka. 

Selanjutnya, Yudistira kemudian memasuki areal Surga didampingi oleh Dewa Indra. Ia melihat satu persatu saudaranya saudara kurawa berada di serambil balaerung Surga sambil bercengkrama dengan bahagianya. Di sana terlihat Dussala, Yuyutsu, dan Citraksu sedang menikmati minuman Surga dan snack khas Surga.  Yudistira melanjutkan perjalanannya ke areal yang lebih ke dalam, di suatu balae yang semuanya dilapisi emas, terlihat dengan jelas Dusasana, Duryadana, Drona, dan Sekuni raja Gandara Desa, sedang tertawa sambil menikmati makanan yang serba mewah. Yudistira menelisik satu persatu yang ada di sana, namun Yudistira tidak melihat Drupati, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa. Kemudian Yudistira berkata kepada Dewa Indra: “Paduka, hamba tidak mau menikmati surga bersama Duryadana, Dusasana, Sekuni, dan lainnya, karena dialah penyebab saudaraku-saudaraku tewas dan kami sangat menderita ketika diasingkan ditengah hutan Kamyaka. Karena dia pula Drupadi wanita suci tak tercela, diseret dan hendak ditelanjangi di dalam sidang, di hadapan para pemimpin yang kami hormati. Ijinkan hamba pergi ke tempat saudara-saudara hamba berada”.

Mendengar permintaan Yudistira seperti itu, Dewa Indra kemudian bersabda: “Anakku Yudistira, ketahuilah di surga ini semua perasaan permusuhan harus dilenyapkan. Memori peperangan dan saling membunuh juga harus dihilangkan. Musuh dalam diri yang disebut peteng pitu harus didelete. Dengan membiarkan diri dibakar api permusuhan dan peperangan, manusia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan dan kemuliaan hidup. Engkau dapat melihat, raja Duryadana ditemani oleh para Dewata dan dipuja orang-orang suci sebagai pahala dari dilaksanakannya dengan baik swadharma seorang Ksatria. Ia tidak pernah takut menghadapi situasi apapun.  Oleh karena itu, jangan dikenang lagi segala kesengsaraan dan penderitaan yang pernah engkau alami. Sekarang temuilah Duryadana sesuai dengan adat alam surga yang tidak memberi ruang terhadap permusuhan”, nasehat Dewa Indra.

Nasehat Dewa Indra membuat kesadaran Yudistira tersentak, kemudian Ia menemui Duryadana, Dusasana, dan Sekuni seraya memberi hormat. Saya telah menemui Duryadana sebagai penghuni surga, karena mereka melaksanakan swadarma Ksatria dengan gagah berani. Hamba bertanya, dimanakah tempat bagi pahlawan lain yang berbudi luhur ? Dimanakah Karna, satria yang berjiwa besar putra Kunti ? Hamba juga ingin melihat dimanakah tempatnya raja Wirata, Drupada, dan Shrikandi putra raja Pancala. Dimana pula Abhimanyu, dan Satyaki.Di manakah tempat bagi saudara hamba yang memegang teguh kata-kata dan memiliki keberanian yang tiada tara ? Bagaimana dengan para prajurit yang dengan gagah berani maju ke medan perang ? Jika mereka tidak berada di tempat ini, hambapun tidak akan bersedia tinggal di sini. Hamba masih ingat, ketika hamba melakukan upacara pembersihan diri usia peperangan, ibu berpesan, “Yudistira, lakukan pula pembersihan dan penyucian untuk saudaramu Karna”. Sedih hati hamba mendengar dan merasakan hal itu. Kesedihan hamba bertambah Paduka, kalau hamba ingat bentuk kaki Karna mirip dengan bentuk kaki ibunda Kunti. Di manakah putra Surya itu sekarang Paduka ? Sayang sekali, ikatan darah itu tidak terungkap sebelumnya. Oleh karena itu, biarkan hamba menemui saudara-saudara hamba. Bagi hamba, surga adalah tempat di mana saudara-saudara hamba berada, ujar Yudistira.

Mendengar keteguhan hati Yudistira, akhirnya Dewa Indra menugaskan seorang Apsara, untuk mengantarkan Yudistira ke tempat yang dimaksud. Perjalanan dilanjutkan menuju arah ke Selatan dengan medan yang amat berat, gelap, panas, dan dipenuhi binatang serta bau yang menyengat yang bersumber dari tulang belulang dan darah. Pohon liar berduri runcing [kuta salmalika] menyebabkan sulitnya melalui medan ini. Di depan sana terlihat sungai besar Waitarini dengan airnya yang panas-mendidih, bergelombang, dan berwarna kehitaman akibat warna darah dan rambut yang saling terikat. Yudistira bertanya kepada Apsara, apakah nama tempat ini ? Apakah tempat ini merupakan sisi gelap surga ? Berapa jauhkan jarak yang harus ditempuh agar bisa bertemu saudara-saudara hamba ?

Maharaja Yudistira, tempat ini bernama Yamaloka-kota keadilan, tempat Dewa Yama putra Dewa Surya beserta para Yama Dutta serta pasukan Yamaraja berada. Yamaraja dibantu oleh seorang sekretaris jenderal yang bertugas mencatat segala kebaikan dan keburukan yang pernah dilakukan seseorang. Ia bernama Candragupta atau juga sering disebut Sang Suratma yang dibantu oleh 8 orang Sravana, putra-putra Dewa Brahma yang dapat mengetahui, memonitor, dan melaporkannya kepada Candragupta, berapa nomor HP anda, apa percakapan anda di fecebook, WA, Instagram dan twitter . Para Sravana dapat mengetahui apapun yang dipikirkan, dapat mendengar dari jarak jauh apa yang dikatakan, walau berbisik. Para sravana bebas bergerak ke surga, neraka, dan bumi. Dari sini jarak menuju gerbang Yamaloka sekitar 86.000 yojana atau 1.100.000 km”. Di persimpangan jalan ini, Yudistira mendengar jeritan dan suara yang memanggil-manggil namanya “tolooooong Yudistira, aku tidak kuat disiksa seperti ini”, “help me Yudistira putra Dharma ke sinilah beri aku minum, aku kehausan”, dari arah lain terdengar suara ” Maharaja Yudistira tolong bantu aku, keluarkan aku dari tempat yang amat menyiksa ini”. Mendengar suara-suara itu Yudistira bertanya, siapa kalian? Dari seberang terdengar, “aku Bima saudaramu. Dari sebelah kiri terdengar jawaban aku Arjuna, Nakula dan aku Sahadewa. Hamba Abimanyu uwak. Panggilan-panggilan dari kegelapan yang menyatakan diri sebagai Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa meneguhkan hati Yudistira untuk tetap merada di tempat ini sambil berkata kepada Apsara: “silahkan kamu kembali ke surgaloka, sampaikan salam hormat hamba kepada Dewa Indra,  dan sampaikan pula bahwa aku tetap di sini bersama saudara-saudaraku sebab kehadiranku di tempat ini telah membuat saudaraku merasa terhibur dan bahagia. “Baik maharaja Yudistira, memang hamba ditugaskan mengantarmu hanya sampai di sini” Apsara segera menghilang.

Hadirin dan umat sedarma yang saya cintai. Keteguhan hati Yudistira untuk bergabung dengan saudara-saudaranya di Yamaloka, telah membuat para Dewa, teristimewa Dewa Indra dan Dewa Dharma gundah-gulana, dan kemudian dalam sekejap beliau berada di hadapan Yudistira. Tempat yang tadinya gelap, pesing, menakutkan, dan penuh hambatan seketika berubah menjadi terang, menghembuskan wewangian yang bersumber dari dupa, pasepan, dan bunga. Para Marut, Rudra, Aditya, Wisnu, Aswin semuanya hadir di hadapan Yudistira. Setelah semua para Dewa berkumpul, maka Sakra yang memimpin para Dewa bersabda: “Wahai Yudistira nan perkasa, sabarlah dan marilah mendekat ! Bayang-bayang kegelapan kini telah berakhir. Engkau telah berhasil melewati ujian-Ku yang ketiga. Alam kekekalan telah menjadi milikmu. Jangan marah, bersedih, apalagi mengeluarkan kata-kata umpatan kasar serta ujaran kebencian. Neraka mesti dirasakan oleh siapapun, termasuk dirimu. Kebaikan dan keburukan banyak ragamnya. Sadarlah kamu, bahwa kamu pernah membuat dosa kepada guru Drona ketika kamu terpaksa berbohong mengatakan Aswatama telah tewas, hanya untuk menggoyahkan hati Drona. Bima, adikmu memang jujur, apa adanya, tetapi kata-katanya acakali membuat orang lain yang mendengarkannya tersinggung. Lagi pula, Bima terlalu sering dirinya dikuasi oleh kroddha. Arjuna, telah menyebabkan Bisma tewas dengan memanah panah Srikandi yang hanya menancapdi lapisan kulit. Demikian juga yang lainnya, semuanya harus merasakan kehidupan gelap ini. Sekarang semuanya terbebas dari kegelapan dan dosa-dosa itu. Lihat, semuanya telah dibersihkan dari kegelapan menuju kegemilangan. Juga para raja, mahapatih, dan tidak terkecuali Karna telah menemukan tempatnya tersendiri”. 

Lebih lanjut Dewa Indra memberi penjelasan,  mengapa kamu [Yudistira] dan saudara-saudaramu mendapatkan kegemilangan itu ? Semua itu kamu peroleh di samping karena perbuatan baikmu, juga karena: 1] ketaatanmu  memuja-Ku. Setiap saat kamu melaksanakan tri sandya, setiap memulai pekerjaan, kamu mengucapkan doa sembari memohon restuku. Demikian pula setiap saat kamu memujaku dengan sarana bunga, air, dan dupa disertai mempersembahkan apapun yang engkau miliki; 2] kebenaran ucapanmu tidak dapat disangkal, semuanya konsesten antara apa yang kamu pikirkan, ucapkan, dan perbuat-jujur luar dalam; 3] sifatmu yang welas asih senantiasa bisa mengempati orang lain. Kamu selalu melakukan dana punia, dan memperhatikan orang-orang tua yang pantas kamu bantu;  4] kuat pengendalian dirimu terhadap peteng pitu terutama dalam hal mengendalikan iri hati, dengki, dan kemarahan dan; 5] kamu melaksanakan berbagai upacara dengan upakara sesuai kemampuanmu. Oleh karena itu, Engkau dan saudara-saudaramu termasuk Karna akan menikmati keabadian”.

Hadirin yang saya muliakan. Demikianlah repleksi serta nasehat yang kita dapatkan dari kisah ini, keteguhan hati, kejujuran, dan disiplin diri merupakan landasan penting kalau kita umat sedharma ingin memperoleh kemenangan dan mencapai puncak kehidupan yang berbahagia. Semoga semua pikiran baik datang dari semua arah, semoga semua makhluk berbahagia, svaha (Sumber: Svarga Rohana Parva Bergambar karya Gungun).









Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar