Konsepsi Sakral pada Masyarakat Bali
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
1. Sakral Sebagai Persoalan Kebudayaan
Nilai adalah sesuatu yang dianggap paling berharga dalam kehidupan masyarakat pada jamannya. Disamping berupa pandangan mengenai hal yang luhur, nilai juga dapat berwujud cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Karena itu, nilai acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral bagi para anggota komunitas tertentu yang dijadikan acuan dalam hidup bersama, digunakan sebagai sumber apresiasi, berkreativitas, dan mengungkapkan berbagai kata hati.
Sebagai komitmen moral yang amat berharga, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran mereka. Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai nilai itu, telah membuka peluang adanya polarisasi makna, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya bias dan perbedaan penafsiran terhadap suatu nilai. Lebih-lebih jika faktor eksternal telah ikut memberi sinergi terhadap polarisasi cara menafsirkan nilai itu.
Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama. Akibatnya, terdapat komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik, dalam kenyataannya telah mengalami benturan dan malahan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses perubahan.
Dalam hubungan kebudayaan, perubahan itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan anggota komunitas sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti nilai tentang sesuatu yang sakral ataupun profan. Asumsinya, perubahan secara inheren mengandung proses destrukturasi, restrukturasi, dan strukturasi secara silih berganti (Triguna, 1990: 12).
Dalam mekanisme itu terjadi peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modification) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka dengan berbagai ikutan aktivitas kebudayaan mereka.
Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya adaptasi itu manusia terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian dan cara memberi arti yang dilakukan sebelumnya kurang relevan, cara itu akan diganti dengan cara yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman dan sosialisasi.
Pemahaman secara cermat mengindikasikan bahwa dalam proses itu diakui ada aktivitas ‘manipulasi simbolis’ yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Dengan cara itu, sekaligus menunjukkan bahwa tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinuum yang berhadapan dengan modernisasi, bahwa yang satu lebih menekankan pada cara berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan universalisme-globalisasi. Semiloka seni sakral yang dilaksanakan oleh Listibya Bali hari ini, menurut hemat saya memiliki arti penting dalam rangka mencari makna baru mengenai seni sakral yang diharapkan dapat menjadi standar moral dan wahana memelihara nilai yang dianggap paling berharga dalam masyarakat Bali pada jamannya.
2. Sakral Berhubungan Dengan Hal Yang Transenden
Spradley (1972: 4) merumuskan kebudayaan sebagai kategori yang dipakai mensortir dan mengklasifikasikan pengalaman, karena itu manusia mempelajari aturan untuk dapat mewujudkan kelakuan secara tepat dan teratur. Manusia mempelajari dan memperoleh peta kognitif agar dapat menafsirkan kelakuan dan peristiwa yang dilihat. Di samping itu, manusia juga menggunakan rencana-rencana untuk mengorganisasikan kelakuannya dalam rangka mencapai tujuan. Sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan pada simbol-simbol tertentu.
Pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan hal yang subjektif, sedangkan tindakan sosial serta benda material yang objektif merupakan hasil kebudayaan. Artinya, terdapat pemisahan yang tegas antara kebudayaan dan hasil kebudayaan. Pengertian pertama bersifat subjektif dan yang kedua bersifat objektif teramati. Dengan pernyataan lain, kebudayaan adalah jagat makna atau nilai yang dikomunikasikan melalui simbol.
Secara ontologis pengertian simbol dan simbolisasi berkaitan dengan hal yang imanen, dalam arti bahwa yang disatukan adalah hanya yang ada dalam manusia. Jika diperluas, hal-hal yang terbatas dalam dimensi horizontal saja. Perspektif kedua, beranggapan bahwa simbol merujuk kepada hal yang transenden (sesuatu yang mengatasi objektivasi) bahwa jikalau berbicara tentang simbol dan simbolisasi, hal itu senantiasa berhubungan dengan adanya dialog manusia dengan 'yang lain'. Dengan demikian, simbol tidak saja berdimensi horizontal-imanen, tetapi juga berdimensi vertikal-transenden. Simbol adalah penyatuan dua hal menjadi satu, sedangkan simbolisasi berarti subjek menyatukan dua hal menjadi satu. Simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik, tetapi hanya memiliki nilai fungsional.
Sakral sebagai terminologi budaya sifatnya teoretis dan simbolik. Ia berasal dari proses refleksi subjektif dan setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan eksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yang berakar dalam berbagai lembaga. Konsepsi sakral kemudian menjadi sebuah lingkungan budaya yang nyata dan tidak sepenuhnya bisa dialami dalam kehidupan sehari-hari, melainkan mengatasi kehidupan sehari-hari.
Secara sosiologis-humanistis terminologi sakral sebagai sistem kebudayaan merupakan pengetahuan dasar (basic term). Atas dasar itu orang memandang dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Berlandaskan pengetahuan dasar itu pula mereka membangun suatu cara (mode) hidup untuk dirinya. Mereka bertindak berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, kesadaran tentang dunia, dirinya sendiri, dan tindakan mereka sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam sekitarnya dalam koridor sakral tadi.
Pengetahuan, keyakinan, dan kesadaran yang dimilikinya telah membentuk sistem pengetahuan mengenai dunia (kosmos). Dalam perkembangan selanjutnya, terminologi sakral dan simbolik itu digunakan mengungkapkan diri sendiri dan menjadi abstraksi yang sifatnya bisa sangat spesifik tentang Tuhan, dunia sosial, manusia, kesenian, dan tindakannya terhadap lingkungan yang disebut domain.
Kajian Rudolfsky (1964; 1967) yang memperkenalkan apresiasi hubungan simbolik yang mengandung unsur sakral, estetis, dan natural dalam arsitektur misalnya menunjukkan bahwa fenomena sakral berhubungan dengan sesuatu yang imanen dan transenden. Dalam hal yang hampir sama kajian Hallowell (1955:184--202), Sahlins (1976), dan Turner (1972) menunjukkan pentingnya kedudukan faktor budaya dalam hubungannya dengan pengorganisasian spasial dan kosmos. Budaya dalam pengertian itu berhubungan dengan perlambang, nilai, dan makna yang paling berharga, sebagai sesuatu yang sifatnya tersembunyi dan tidak tampak fungsional secara terang-terangan (Rapoport, 1982).
Nordholf (1971:432) ketika menulis tentang suku Atoni di Timor menemukan bahwa "Rumah, ritus, dan balai pertemuan (komunal) bagi suku Atoni yang tidak mengenal aksara, merupakan sebuah buku yang mencatat segala aturan tata tertib mereka. Hal itu merupakan pencerminan dan perwujudan dari alam pikirannya, yaitu sebuah fenomena simbolik yang amat sakral dan mendasar. Demikian pula karya Ossenbringgen (1918) mengenai filsafat Jawa monco pat menunjukkan adanya interrelasi kampung-kampung di Jawa yang disusun berdasarkan pola empat kelompok masyarakat dan yang kelima berfungsi sebagai pusat. Susunan itu berhubungan dengan konsepsi kosmologi mengenai dunia yang tersusun di sekeliling keempat titik kardinal. Titik tengah dipandang superior dan sakral terhadap sekelilingnya dan berfungsi menyeimbangkan kekuatan dari keempat subordinasi. Makna sakral dalam konteks itu, karena kekuatan penyeimbang selalu diharapkan dari kekuatan-transenden, di samping hal nyata yang imanen.
3. Konsep Sakral dalam Kebudayaan Bali
Dalam kebudayaan Bali dikenal istilah segara-giri, sebuah terminologi untuk menunjukkan adanya dualisme dalam satu makna. Artinya, orang tidak mungkin dapat memahami dan mengidentifikasi dengan jelas segara, tanpa mengaitkannya dengan giri. Orang Bali percaya bahwa segara-giri itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat transenden bahwa manusia hidup di antara alam Dewata dan Bhuta, antara dunia atas dan dunia bawah, yang oleh Pink (1993: 107) diilustrasikan sebagai “laki-laki – banci – wanita, hidup – tidur – mati”. Artinya, dalam banyak hal laut (segara) dan gunung (giri) memiliki makna spiritual yang cukup tinggi (Kulke, 1986 :8).
Kaja arah menuju gunung diidentifikasi sebagai stana para Dewa dan arah kelod menuju ke laut. Kaja dianggap sebagai wilayah yang suci atau sakral, arah menuju kebaikan. Sebaliknya, kelod adalah arah roh jahat. Dunia di tengah (dataran) adalah ruang yang sekuler. Dengan demikian, arah kaja dan kelod adalah jalan dari Shivaloka menuju ke Yamaloka. Dalam hubungan dualisme itu, orang Bali juga menempatkan poros kangin dan kauh sebagai sesuatu yang penting. Arah kangin sebagai tempat terbitnya matahari diyakini lebih suci, bersih, sakral, terang jika dibandingkan dengan arah kauh, arah matahari terbenam, leteh, profan, dan gelap.
Terang-gelap, secara akademis merupakan pengalaman warna psikologis paling elementer sampai flux yang berkilau, suatu perbedaan warna-warni inklusif dan independen, bahkan orang buta sekalipun dapat membedakan kedua warna ini. Secara semiotik, hal itu merupakan pengagungan akan konsepsi biner, yaitu awal dan akhir, yaitu terang (lightness) dan gelap (darkness), sebelum lahir kembali untuk menjadi awal dari sebuah siklus akhir (Triguna, 1997: 301).
Polarisasi kosmologi dalam keyakinan masyarakat Bali selanjutnya ditandai dengan konsep rwa bhineda (unity in the diversity). Kaja-kelod dan kangin-kauh berada dalam keseimbangan dan harmoni, sebagaimana dinyatakan Swellengrebel (1960: 41) sebagai berikut.
“In reality, however they can not be concured of separate. They are complements created to form one entity together. It is that complition, that unity of antipodes, which is constanly striven for “
Varian yang lain yang lebih kompleks dapat dipahami melalui konsepsi pengider-ider, delapan penjuru mata angin. Kiblat yang dimulai dari arah timur dan berakhir di utara, pada dasarnya menunjukkan bahwa arah timur diyakini sebagai mulainya ‘kehidupan’ yang disebut purwa dan berakhir dengan arah yang juga dianggap suci pula, yaitu kaja.
Pembahasan di atas telah memberikan gambaran bahwa bagi orang Bali, sakral adalah sesuatu yang suci (šuddha), selalu berhubungan dengan aspek transendental. Karena itu, suci dan atau sakral selalu berhubungan dengan pikiran terhadap sesuatu yang suprame, yang memiliki kemampuan mengatasi segalanya. Artinya, jika sakral diartikan sebatas sebuah benda yang dengan kasat mata dapat dilihat, diraba, dan digerakkan yang secara fungsional, maka konsepsi itu tidak akan pernah mampu melawan perubahan. Dari segi estetika, dua buah atau beberapa topeng dapat memiliki nilai estetika dan fungsi yang sama pada masyarakat Bali, namun ketika dihadapkan pada hal yang šuddha, keduanya menjadi berbeda maknanya. Karena itu, katagori sakral dan profan menurut hemat saya hanya dapat dibedakan melalui pikiran untuk siapa hal itu dilakukan. Jika hal itu semata-mata untuk hal-hal yang bersifat imanen-horizontal, maka hal itu cenderung diklasifikasi sebagai sesuatu yang profan. Sebaliknya, ketika aktivitas dan kreativitas itu diperuntukkan kepada kekuatan yang mengatasi manusia, maka itulah yang sepatutnya disebut sebagai sesuatu yang sakral. Dalam Siva stava dijelaskan bahwa “apakah ia suci atau tidak suci, bahkan pada saat diliputi bermacam nafsu, bila ia memusatkan pikiran pada dewa Isana, maka ia menjadi suci lahir dan batin”. Lebih lanjut dalam Manawadharmasastra disebutkan: “badan dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, roh disucikan dengan pengetahuan dan tapa, serta akal budi disucikan dengan kearifan”. Karena itu, sudahkan kita jujur mengatakan untuk siapakah kita berkesenian dan mencipta ? Jika jawaban atas pertanyaan itu untuk dolar dan wisatawan, maka motif itu telah cukup untuk menyatakan bahwa semua itu adalah profan. Sementara kesenian sakral hanya ada dalam pikiran orang-orang jujur dan yang memiliki kearifan, dan itu tidak akan pernah terwujud.
4. Simpulan
Masyarakat Bali memiliki nilai mengenai klasifikasi kosmis yang membedakan dengan tegas antara yang sakral dengan profan. Sakral adalah sesuatu yang suci, dimuliakan, dan berdimensi vertikal yang hanya dapat dibedakan melalui pikiran bukan aspek kebendaannya. Sekalipun dalam rangka menguatkan pikiran terhadap yang transedental itu diperlukan sarana, namun pikiran tetap mengatasi segalanya. Karena itu, dalam rangka pembinaan seni sakral yang penting ditekankan adalah pentingnya kejujuran dalam menempatkan objek. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Bacaan
Anthony Forge (J.Fox, ed). 1980. "Balinese Religion and Indonesia Identity" dalam Indonesia: The Making of A culture. Cambera: University of Cambera.
Ardhana, Ketut. 2001. Bali Multibudaya.
Bakker, FL. 1993. The Struggle of the Hindu Balinese Intellectuals: Developments In Modern Hindu Thinking in Independent Indonesia. Amsterdam: VU University Press.
Bandem. I Made, Fredruk deBoer. 1995. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (Second edition). Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Barth, Fredrik. 1993. Balinese Worlds. Chicago, London: The University of Chicago Press.
Baterson, G,Mead. M. 1942. Balinese Character: A Photographic Analisys. Academy of Science.
Belo, Jane. 1949. Bali: Rangda and Barong. New York: Monograph of the American Ethnological Society XVI.
-----------------.1969. Trance in Bali. New York: Columbia University Press.
Bernard, Theos. 1999. Hindu Philosophy. New Delhi: Motilal Banarsidass Publishers.
Dasgupta, Surendranath. 1987. Natural Science of the Ancient Hindus. New Delhi: Indian Council of Philosophical Research.
Radhakrishnan. 1928. Indian Philosophy. New York: The Mac.millan Company.
------------------ 1948. Eastern Religions and Western Thought. New York: The Macmillan Company.
------------------ 1995. Religion and Society. New Delhi: Indus.
Eiseman Jr. B. Fred. 1994. Bali Sekala and Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art (Periplus Editions). Singapore: Periphus.
Huntington, Samuel. 2000. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Kalam.
Singaravelu, CN. 1993. "Saiva Siddhanta in Hindu Philosophy" dalam Truth. Singapore: Sivan Temple.
Yudha, Triguna. 1984. "Sistem Kepemimpinan Bidang Agama" dalam Sistem Kepemimpinan Masyarakat Pedesaan di Bali. Jakarta: Direktoral Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan.
-----------------. 1990. Tingkat Dewangsanisasi Masyarakat Hindu di Bali. Denpasar: Hasil penelitian Institut Hindu Dharma.
------------------.1992/93. Sosiologi Agama Hindu. Modul I Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
------------------. 1997. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Bandung: Universitas Pajajaran (Disertasi).
------------------.(Penyunting). 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2000. Teori-Teori Simbol. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2001. Bhisama Parisada Hindu Dharma: Fungsi dan Peranannya Bagi Umat. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
------------------.2002a. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural. Makalah Denpasar: Balai Kajian.
------------------.2002b. Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi. Makalah Dialog Budaya Regional. Yogyakarta: Direktoral Kepercayaan dan Tradisi Jakarta.
------------------.2002c. Perempuan: Antara Globalisasi dan Pelestarian Budaya. Makalah
disampaikan pada Pelatihan Forum Komunikasi Tokoh Wanita. Denpasar.