Konstruksi Pendidikan Karakter dalam Hindu
![]() |
Sumber gambar: promapremi.com |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia, (Seminar Nasional, Palu, 24 April 2017)
I Pendahuluan.
Pada kesempatan ini, saya diminta berbicara mengenai “Konstruksi pendidikan karakter Hindu, sebuah tematik dalam rangka meningkatkan insan Indonesia yang cerdas, unggul, kompetitif serta berbudi. Pilihan terhadap tema ini dapat dipahami sebagai usaha membangun kesadaran baru bahwa di masa depan pendidikan yang cerdas, unggul, kompetitif, dan berbudi menjadi salah satu syarat dalam mendorong dinamika bangsa. Hasil penelitian University of Collage London yang dimuat dalam Jurnal Brain, Behavior, and Imunity menemukan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ukuran telomer dalam struktur NDA (Deoxybro Nucleic Acid) menjadi lebih panjang dan semakin besar pula perlindungannya terhadap berbagai efek penuaan. Oleh karena itu, dalam Bhagawadgitadinyatakan pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi (vidya dhanam sarvadhana pradhanam).
Pendidikan karakter sebagai bagian dari pendidikan adalah pendidikan holistik bertujuan membentuk insan yang cerdas dan berbudi luhur. Pendidikan karakter yang baik akan menjadi modal bagi keberhasilan seseorang dalam memenangkan ‘pertarungan’ masa depan. Pendidikan karakter tidak akan berhasil dengan optimal jika tidak dibarengi dengan praxis dan tauladan.
Menurut Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Marrill (2006) dalam The Speed of Trust menyatakan, manusia dalam arti umum, dan pemimpin dalam arti yang lebih specifik harus memenuhi dua pondasi dasar, yaitu karakter dan kompetensi. Pondasi pertama [karakter] berisi dimensiintegritas dan niat, dimensi kedua [kompetensi] berisi dimensi bukti kelayakan dan catatan prestasi. Bagaimana dimensi karakter dibahas dan dibahasan dalam pustaka suci Hindu, khususnya dalam Sarasamuccaya akan menjadi tema pembahasan dalam diskursus kali ini ?
II Pendidikan Karakter Dalam Sarasamuccaya.
Dalam Sarasamuccaya dalam gambar, sloka 299-313 disebutkan tentang dua syarat karakter manusia Hindu, yaitupradnyan dan purusotama. Pradnya mengandung arti manusia Hindu harus menguasai kompetensi sesuai swadarma yang ditekuni, baik melalui proseseducation maupun learning. Menguasai kompetensi dapat berarti manusia Hindu harus tahu-mampu-mau melaksanakan setiap swadarmanya dengan penuh kesenangan. Terlebih dilaksanakan dengan prinsip 5S [senyum, sapa, segera, selesaikan, dan seneng]. Agar bisa menjadi manusia Hindu yang pradnyan, maka Sarasamuccaya memberi perintah “bergaulah” [302], “bangun jejaring” [303-304], dan “berdiskusilah” [306]. Apakah manusia Hindu cukup dengan hanya menguasai kompetensi [pradnyan] ?
Manusia Hindu tidak akan pernah mencapai manusia yang mulia, walau menguasai kompetensi dengan baik dan atau pradnyan. Manusia Hindu harus membangun sisi lainnya, yaitu purusotama, yakni berbudi luhur. Setidaknya kalau mengacu pada Sarasamuccaya [299-313], unsur penting purusotama, yaitu “jangan pernah bangga saat dipuji dan jangan merasa hina saat dicaci maki”[306], “kendalikan kroddha” [307-309 perhatikan juga SS Sloka 93-115], dan “rendah hati” [312].
Substansi Sarasamuccaya sloka 300-301 menyerukan: “bergaullah dengan orang-orang pintar dan bijaksana, setidaknya engkau akan menjadi pintar dan bijaksana. Ibarat membuat minyak wangi, niscaya rambutmu, bajumu, bahkan nafasmu akan menjadi wangi”. Makna ungkapan di atas, karakter manusia Hindu tidak hanya cukup pintar saja, manusia Hindu dituntut juga memiliki budi yang luhur. Manusia Hindu harus mampu menyeimbangkan kedua kekuatan yang ada pada dirinya kiwa dan tengen. Steven Covey menyebutnya “mengelola dengan otak kiri dan memimpin dengan otak kanan”
III Dimensi Pembangunan GAH Berkarakter.
Berdasarkan pandangan dualisme di atas, maka pembangunan manusia Indonesia sepatutnya diarahkan pada peningkatan dimensi (1) intelegensi-kreatifitas-inovatif-reflektif, (2) spiritualitas-etis-tanggungjawab-empati-jujur, (3) ramah-saling menghargai-suka menolong-peduli, dan (4) disiplin-sportif-ceria-bersih.
Pertama, dalam konteks pentingnya intelegensi-kreatifitas-inovatif-reflektif karya Morieux and Tollman (2014) dalam Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated dapat dipakai acuan. Ia memprediksi bahwa kehidupan manusia di dunia, baik dalam bidang sosial, budaya, agama, dan pendidikan akan mengalami peningkatan kompleksitas sebanyak 35 kali dalam kurun waktu antara 20-30 tahun. Dengan kehidupan yang semakin kompleks, diperlukan model pendidikan yang mampu memberi ruang lebih luas terhadap kemampuan anak didik agar mereka kelak dapat menyiapkan diri untuk mampu menyesuaikan diri dan memecahkan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Salah satu aspek yang dianggap memiliki peran dalam memberi bekal agar anak didik mampu menyiapkan dirinya menghadapi problem hidup yang semakin kompleks dan kompetetif adalah sikap kritis dan peningkatan keterampilan.Berpikir kritis diyakini sebagai axioma dari evolusi pengetahuan manusia seperti dinyatakan dalam Critical Thinking. Menurutnya abad 21 akan diwarnai oleh kemampuan menguasai dan keterlatihan manusia berpikir kritis. Era agraris berganti menjadi era indrustri, dan digeser oleh era komunikasi, dan pada akhirnya abad 21 era komunikasi diganti oleh kreativitas pengetahuan. Mereka yang memiliki tanah sawah-kebun, pabrik, dan media akan digeser oleh kreativitas pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Memiliki banyak uang dan berbagai asset industri tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal, jika tidak dibarengi dengan penguatan pada pengetahuan dan keterampilan yang didasari kreativitas.Pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi [vidya dhanam sarvadhana pradhanam].
Dimensi kedua pendidikan karakter mengandung pentingnya penguatan spiritualitas dan etika. Dalam Sarascamuscaya sloka 299-313 menyatakan bahwa manusia itu harus pradnyan (menguasai kopetensi sesuai bidangnya), tetapi itu belum cukup karena untuk menjadi manusia berkarakter harus purusotama (berbudi luhur) yang dicirikan dengan mampu menjaga letupan emosional, baik saat bergembira maupun tatkala sedih, dan rendah hati. Penguatan pada dimensi ini akan menghasilkan pendidikan yang memberi nilai penting pada spiritualitas-etis-tanggungjawab-empati-kejujuran. Pada semua agama selalu dengan mudah ditemukan ajaran dan pesan moral agar setiap insan semakin mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai refleksi kesolehan sosial. Hampir semua menekankan betapa hati ini harus diarahkan menjadi lebih altruis, agar lebih mampu berempati terhadap sesama, dan menilai penting hidup jujur.
Dimensi olah rasa dan karsa menekankan pentingnya hidup saling menghargai, toleran, peduli, dan suka menolong. Dialog Leonardo Boff, ahli dari kelompok “The Theology of Freedom” yang berasal dari Brazil dengan Dalai Lama, pemimpin umat Buddha dari Tibet sbb:
…Yang Mulai, menurut anda agama apa yang terbaik ?” Leonardo Boff menduga bahwa Dalai Lama akan menjawab agama Buddha dari Tibet. Ternyata sambil tersenyum, Dalai Lama menjawab: “agama terbaik, yaitu agama yang membuat anda menjadi orang yang lebih baik”. Sambil menutupi rasa malu karena punya dugaan kurang baik terhadap Dalai Lama, Leodardo Boff bertanya lagi: “apakah tanda_tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik ?” Dalai Lama menjawab: “agama apapun yang bias membuat anda lebih welas asih, berfikiran sehat, lebih objektif-adil, menyayangi, menyayangi dan memiliki tanggungjawab serta beretika. Agama yang memiliki kualitas seperti ini adalah terbaik. Leonardo Boff terdiam dan kagum akan jawaban Dalai Lama yang wisdhom. Dalai lama kemudian melanjutkan, “tidak penting bagiku apa agamamu, tidak peduli apakah kamu beragama atau tidak. Bagi saya yang betul-betul penting adalah perilaku anda di depan kawan_kawan anda, di depan keluarga, di lingkungan kerja dan kontribusi anda pada masyarakat dan dunia. Oleh karena itu, “jagalah pikiranmu karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu karena akan kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu karena akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu karena akan membentuk nasibmu” Think Positive in Life”.
Kutipan dialog di atas menyiratkan betapa berfikir, berkata-kata, dan bertindak adalah dasar kebiasaan dan pembentukan karakter. Ternyata bukan formalism agama dan nilai yang di kedepankan melainkan praxis dari nilai itu dalam bentuk tindakan yang membuat diri dan orang lain berbahagia.
Dimensi keempat dari pendidikan karakter adalah olah raga, yaitu pendidikan yang mambentuk setiap insan lebih berdisiplin, sportif, bersahabat, ceria, dan hidup bersih. Menurut penulis hidup disiplin modal dasar keberhasilan seseorang. Kecepatan, ketepatan, kepercayaan, dan kesuksesan semua dibangun atas modal kedisiplinan.
IV Simpulan
Pendidikan karakter adalah pendidikan holistik bertujuan membentuk insan yang cerdas dan berbudi luhur. Pendidikan karakter yang baik akan menjadi modal dasar keberhasilan seseorang dalam memenangkan ‘pertarungan’ masa depan. Pendidikan karakter tidak akan berhasil dengan optimal jika tidak dibarengi dengan praxis dan tauladan.
Daftar Bacaan :
CATTON,William,R.Jr.(1966). From Animistic to Naturalistic Sociology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.
Gidden, Anthony. (1967). Rules of Sociological Method: A Positive Craitique of Interpretative Sociologies. New York: Basic Books, Inc.
Huntington, Samuel. 1993. The Clash of Civilization and the Remarking of World Order.
Martindale(1974) Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.
Wrong,Dennis. (1976). Sceptical Sociology. New York: Columbia University.
Yudha, Triguna.1992/93. Sosiologi Agama Hindu. Modul I Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
------------------. 1997. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Bandung: Universitas Pajajaran (Disertasi).
------------------.(Penyunting). 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2000. Teori-Teori Simbol. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2002a. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural. Makalah Denpasar: Balai Kajian.
------------------.2002b. Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi. Makalah Dialog Budaya Regional. Yogyakarta: Direktoral Kepercayaan dan Tradisi Jakarta.