Mahatma Gandhi, "Manusia Kecil Bernyali Besar"
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna.
Guru Besar Sosiologi Universitas Hindu Indonesia, Denpasar (2017).
Kristus telah melengkapi semangat dan motivasi, sementara itu Gandhi melengkapinya dengan sebuah metode (Martin Luther King Jr.)
Kristus telah melengkapi semangat dan motivasi, sementara itu Gandhi melengkapinya dengan sebuah metode (Martin Luther King Jr.)
Kutipan kata-kata bijak dari pejuang persamaan hak-hak sipil di Amerika, Martin Luther King Jr. di atas menunjukan bahwa dialog antara agama Kristen dengan agama-agama lain di era Gandhi (1869-1948) telah mengalami perubahan. Era sebelum Gandhi, tujuan utama dialog, setidaknya dari sudut pandang Kristen, adalah mengkonversikan ‘orang-orang tidak beriman’. Kemudian dialog memberikan jalan bagi usaha-usaha terhormat untuk mendengar dan mengerti keyakinan orang lain — bahkan mungkin untuk mencapai suatu penghargaan tentang kebenaran dan arti keselamatan dari keyakinan atau agama-agama lain. Tapi, Gandhi menawarkan fungsi baru dialog, yaitu di antara hasil-hasil lain dari perjumpaan antaragama, masing-masing pihak terbuka satu kemungkinan atas pemahaman diri yang baru. Arah yang dicapai Gandhi adalah harapan bahwa semua bentuk keyakinan agama di atas planet ini bisa belajar bersama menghadapi ancaman-ancaman global bagi kelangsungan hidup bersama.
Keterbukaan untuk membuka diri sehingga mendapatkan pemahaman-diri yang baru menjadi relevan bila dikaitkan dengan pandangan agama menurut Gandhi yang menyebutkan: (1) semua agama itu benar; 2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya; 3) semua agama itu sama berharganya, karenanya tidak mungkin ada gagasan untuk berpindah agama. Radhakrishnan menyebutkan bahwa agama yang dianut Gandhi bersifat rasional dan etis. Artinya, Gandhi tidak dapat menerima suatu kepercayaan yang tidak masuk akal atau suatu perintah yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Karenanya, penilaian-penilaian Gandhi yang secara umum bersifat simpatik tentang agama membuat kritik-kritik bersahabat jadi penting dan berpengaruh. Pandangan Gandhi tentang perbedaan Jesus dan kebudayaan Barat misalnya merangsang orang-orang Kristen di Asia menghadapi tantangan untuk mencari identitas mereka. Pertanyaan Gandhi sederhana saja: Bila agama Kristen memiliki pesan universal, mengapa ia harus disampaikan melalui bahasa Barat, dalam pengertian sejarah Barat dan dalam bentuk sudut pandang Barat ?
Akibatnya, jalan menuju keaslian kekristenan Asia menuntun ke arah khusus untuk melakukan inkulturasi, kepada dialog antaragama dan pada solidaritas dari mereka yang tertindas. Dalam tugas ini, Gandhi memberikan petunjuk yang tidak dapat dikesampingkan. Di sinilah letak pentingnya eksplorasi pemikiran Gandhi tentang dialog kebhinekaan kita, berkaitan dengan — apa yang disebut Martin Luther — metode, terutama yang berkaitan dengan tema transformasi sosial.
Gerakan pembaharuan sosial yang terencana memerlukan resep dan strategi untuk mengaplikasikan pada realitas sosial. ‘Resep’ itu biasanya berupa satu counter-ideology terhadap ideologi yang sedang diberlakukan. Ideologi ini diperlukan untuk memberi arah gerakan para reformis dan masyarakat sebagai pihak yang harus membayar harga perubahan sosial. Oleh karenanya, di dalam counter-ideology itu, di dalamnya juga diperlukan adanya sistematisasi rasional yang sekiranya bisa dimengerti oleh sebanyak-banyaknya masyarakat dan kalau perlu counter-ideology itu berlaku universal. Gandhi paham akan hukum perubahan sosial ini, dan oleh karenanya ia juga mengajukan resep yang sekiranya bisa dipakai oleh bangsa India untuk membebaskan bangsa India dari cengkraman ideologi kolonial Inggris dan — yang lebih penting lagi — demi kesejahteraan bangsa India sebagai negara yang mandiri. Kemerdekaan India bukanlah terminal terakhir perjalanan panjang Gandhi. Resep yang disodorkan Gandhi — semua orang tahu soal ini — adalah ajaran tentang Ahimsa dan Satyagraha.
Resep inilah yang selalu dibawa kemana-mana dan dijadikan referensi utama dalam mengantisipasi gejolak sosial. Pengertian konsep ahimsa dan satyagraha bukalah suatu wahyu metafisik yang diturunkan kepada Gandhi. Kedua konsep itu merupakan konsep yang dicari Gandhi dengan cara membongkar masa lalunya, masa saat dia hidup dalam tradisi Hindu yang kental dengan kidung-kidung Veda, tradisi asketik yang dianut secara ketat oleh ayahnya. Bukan hanya itu saja, Gandhi menginterpretasikan konsep itu dengan situasi sosial politik yang terjadi saat itu. Lebih jauh lagi, Gandhi juga mengundang publik — lewat media massa — untuk membantunya menginterpretasikan konsep ahimsa dan satyagraha.
Gandhi, dengan kata lain merekonstruksi ulang pemahaman ahimsa dan satyagraha hingga menjadi segar-mengelepar. Hermenuitika Gandhian — sebut saja begitu — ini memunculkan pemahaman baru atas konsep ahimsa dan satyagraha yang selama ini terkubur dalam wilayah ketidaksadaran kolektif bangsa India. Secara politik, Gandhi dengan interpretasinya atas ajaran Vedanta ini menjadikan lahirnya optimisme baru. Semacam paduan suara lagu “kebangkitan Hindu abad 20”, kalau kita pakai retorika cendekiawan Hindu di Indonesia.
Sebagaimana pemikir besar dunia lainya yang selalu saja ditempa kegelisahan, seperti Marx, misalnya, menungkapkan pernyataan ‘I am not Marxis !’ menjelang akhir hayatnya; atau Nietzsche dengan proyek self-criticism (kritik-diri); juga Derrida dengan proyek dekonstruksi-nya. Kosmolog Stephen Hawking menyebut evaluasi-diri itu dengan istilah ‘jurnal kesalahan’. Begitulah, para pemikir besar — entah ber-Tuhan atau tidak — telah memberi contoh: kejujuran.
Pada kasus Gandhi, persoalan muncul ketika salah seorang koresponden menuliskan surat kepada Gandhi, isinya: “Saya meminta Anda untuk memecahkan problem kami, kaum perempuan…. Kami membutuhkan susunan prinsip-prinsip tambahan di samping ahimsa dan satyagraha untuk mengatasi kualitas-kualitas alamiah kami yang jelek”.
Tentu saja Gandhi terkejut dan — untuk beberapa saat menyimpan surat itu — merenungkan fakta bahwa konsep ahimsa dan satyagraha yang disodorkan kepada publik adalah hasil interpretasi orang yang berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan. Sementara kaum perempuan secara alamiah dan — ini yang utama — secara sosial memiliki persoalan yang berbeda dengan kaum laki-laki. Gandhi pun melakukan reinterpretasi atas konsep-nya dalam kaitan dengan struktur sosial masyarakat India. Hasilnya: otokritik (juga aksi) atas tradisi Hinduistik di India.
Di sinilah kebesaran Gandhi: keberaniannya untuk mengafirmasi keterbatasan akal, sekaligus melakukan evalusasi atas apa yang sudah dipikirkannya. Gandhi memang manusia kecil bernyali besar.
Satu hal yang perlu di sampaikan. Ketika Gandhi diundang di Parlemen Rendah Inggris, dia mampu berbicara selama dua jam penuh dengan berstruktur, sistematik sehingga mengundang standing ovation (tepuk tangan dengan cara berdiri). Para wartawan sempat bertanya kepada sang sekretaris sang Mahatma, mengapa Gandhi bisa melakukan hal tersebut ? Mahadev Desae pun menjawab: Karena apa yang dikatakan Gandhi tadi adalah apa yang ia pikirkan dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak jarak antara apa yang pikirkan dan lakukan dan katakan/ Jadi tidak ada kebohongan.
Poin pentingnya: mungkin, bukan hanya Gandhi yang melakukan refleksi-ulang atas metode yang sudah dihasilkannya, yaitu ahimsa dan satyagraha, kita pun pernah merasakan dalam diri, bisikan suara keraguan — sekecil apapun itu — dari apa yang kita hasilkan dari cara berpikir kita. Karenanya sangat penting untuk dikemukakan di sini: Buku ini mengajak kita semua untuk selalu belajar. Svaha.
(Catatan: Sebagai Kata Pengantar Terbitan Buku bapak Ketut Donder, Ph.D).