Skip to main content

Membangun Dosen Hindu Berdaya Saing Global

Foto: Koleksi Pribadi (Yudha Triguna)
Oleh
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia
(2015)

I. Pendahuluan
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada panitia Seminar Nasional Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP) atas undangannya untuk turut memberikan sumbang pikir dalam seminar nasional bertajuk “Urgensi Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Hindu yang Profesional dan Berdaya Saing” yang dilaksanakan pada hari ini. Berbicara mengenai upaya meningkatkan mutu Perguruan Tinggi agar mampu berdaya saing, merupakan usaha yang sejalan dengan harapan Pemerintah, terutama meningkatkan peran Perguruan Tinggi (PT) menghasilkan insan Indonesia yang cerdas, unggul, dan kompetitif. Tema ini sekaligus dapat dimaknai sebagai  usaha membangun kesadaran baru bahwa di masa depan pendidikan yang cerdas, unggul, dan kompetitif menjadi salah satu syarat dasar untuk mendorong dinamika bangsa. Tanpa pendidikan dalam arti luas, semuanya akan menjadi ‘gelap’ dan tidak berarti apa-apa.  Pendidikan yang seperti apa ? Sebab, pendidikan yang cenderung positivistik, deterministik, dan naturalistik tanpa diimbangi dengan pembangunan budaya kreatif, tidak akan pernah menghasilkan output yang balance. Sebaliknya, pendidikan yang hanya menekankan dimensi humanistik dengan mengabaikan aspek logika, tentu kurang holistik. Bagaimana sebaiknya mengembangkan insan Indonesia yang cerdas, unggul, dan kompetitif sekaligus memiliki budaya kreatif dibangun dalam Pendidikan berlatar belakang Agama ?

II  Paradigma Pendidikan:Positivisme Versus Humanisme Hingga Insan Kreatif

Di berbagai kesempatan diskusi, saya selalu memulai diskursus ketika terjadi perdebatan akademik antara Idealisme Hegel dengan Positivisme Auguste Comte (Triguna, 2014, 2015a,b). Auguste Comte ketika meluncurkan Course of Positive Philosophy (1826) menegaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang disebutnya sebagai pengetahuan positif. Menurutnya, pengetahuan positif adalah dasar perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Karena itu, jika manusia  beserta lembaga yang dikelolanya ingin maju dan beradab atau memiliki daya saing global, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia menuju berpikir positif. Manusia tidak boleh berpikir abstrak apalagi berpikir mistik, karena kedua gaya berpikir tersebut hanya ada dalam fase sebelumnya, yakni fase metafisika dan teologis. Itu sebabnya Auguste Comte menyatakan bahwa agama hanyalah dasar perkembangan menuju pengetahuan positif dalam fase ilmiah.

Pandangan Auguste Comte kemudian menyebar dengan cepat, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya studi-studi agama), sehingga lahir paradigma positivisme. Paradigma ini dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dari Ilmu sosial-humaniora yang masih menggunakan prinsip kerja relativisme/ interpretatif/ humanistik/ skeptis. Setidaknya hal itu tampak dari dikotomi istilah yang diskriminatif antara naturalistis versus animistis (Catton,1966), positivis berlawanan dengan interpretatif (Gidden,1967), antara scientifis berlawanan dengan humanistis (Martendale, 1974), dan naturalistis berhadapan skeptis (Wrong, 1976). 

Perselisihan filosofi itu terus menyebar ke Perguruan Tinggi, merasuki pikiran para pendidik mulai asisten ahli hingga Guru Besar, sehingga di dunia akademispun lahir ‘partai’ dosen yang mengusung bendera positivistik dengan pendekatan kuantitatifnya di satu pihak berhadapan dengan ’partai’ lain yang mengusung bendera kualitatif dengan kekuatan subyektivitas dan interpretasinya. Paradigma positivistik dianggap sebagai paradigma kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan paradigma humanistik-interpretatif. Kondisi seperti ini telah banyak memakan korban mahasiswa dan kualitas lulusan. Ada mahasiswa yang harus mengikuti minat dosennya meneliti dan menulis sekrepsi/tesis/disertasi dengan paradima positivistik, walaupun ia sendiri menyadari bahwa persoalan yang dibahasnya tidak memerlukan pendekatan paradigma positivistik. Sebaliknya, ada dosen karena keterbatasannya akan pengetahuan mengenai paradigma positivistik, mengharuskan mahasiswa untuk melakukan penelitian skrepsi/tesis/disertasi dengan paradigma humanistik-interpretatif yang ia kuasai. Akibatnya, kualitas output tidak memenuhi standar mutu terbaik, disebabkan sejak awal terjadi pemahaman yang bersifat dikotomis dan masing-masing menganggap benar dan lebih baik. Situasi dikotomis seperti diuraikan di atas hingga kini masih terjadi sebagai dinamika pergulatan paradigma dalam dunia pendidikan kita. 

STAHN-TP sebagai institusi akademik, tidak boleh terjebak ke dalam salah satu “Partai” akademik tersebut, apalagi menempatkan diri hanya pada relativisme/ interpretatif/ humanistik/ skeptis karena alasan bidang sesuai dengan agama yang dilandasi oleh keyakinan. Dalam konteks ini, perlu dibedakan antara agama sebagai keyakinan dan ilmu agama sebagai perspektif akademik yang membutuhkan objektivitas dan berpikir logik dan sistematik. 

Hal ini penting untuk ditegaskan jika dikaitkan dengan pandangan Daniel H. Pink (2006) tentang The Conceptual Age.  Berpikir kritis diyakini sebagai axioma dari evolusi pengetahuan manusia. Menurutnya, abad 21 akan diwarnai oleh kemampuan menguasai dan keterlatihan manusia berpikir kritis. Era agraris berganti menjadi era indrustri, dan digeser oleh era komunikasi, dan pada akhirnya abad 21 era komunikasi diganti oleh kreativitas pengetahuan. Mereka yang memiliki tanah sawah-kebun, pabrik, dan media akan digeser oleh kreativitas pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Memilki banyak uang, berbagai asset industri tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal jika tidak dibarengi dengan penguatan pada pengetahuan dan keterampilan. Dengan pernyataan singkat, pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi (Vidya dhanam Sarvadhana Pradhanam). Malahan hasil penelitian University of Collage London yang dimuat dalam Jurnal Brain, Behavior, and Imunity menemukan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ukuran telomer dalam struktur NDA (Deoxybro Nucleic Acid) menjadi lebih panjang yang semakin besar perlindungannya terhadap berbagai efek penuaan.

Betapa pentingnya institusi akademik seperti STAHN-TP berkhitiar membangun suasana akademik terutama juga dalam rangka menyiapkan SDM Hindu yang berdaya saing global. Sebab, seperti dinyatakan Morieux and Tollman (2014) dalam Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated, memprediksi bahwa kehidupan manusia di dunia, baik dalam bidang sosial, budaya, agama, dan pendidikan akan mengalami peningkatan kompleksitas sebanyak 35 kali dalam kurun waktu antara 20-30 tahun. Dengan kehidupan yang semakin kompleks, maka diperlukan model pendidikan yang mampu memberi ruang lebih luas terhadap kemampuan anak didik agar mereka kelak dapat menyiapkan diri untuk mampu menyesuaikan diri dan memecahkan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Salah satu aspek  yang dianggap memiliki peran dalam memberi bekal agar anak didik mampu menyiapkan dirinya menghadapi problem hidup yang semakin kompleks dan kompetetif adalah sikap kritis dan peningkatan keterampilan.

II Bagaimana STAHN-TP Harus Dikembangkan ?

Perdebatan dalam paradigma pendidikan sebagaimana diuraikan terdahulu, memberikan panduan kepada Pemerintah dan atau Pengelola Lembaga Pendidikan untuk lebih cermat dalam merencanakan, melaksanakan, dan pengembangkan institusi pendidikan yang dikelola melalui langkah sebagai berikut.

Pertama, lembaga pendidikan Tinggi Agama yang dikelola tidak terpaku pada salah satu  positivistik-naturalistik-scientifik atau humanistik-interpretif-animistik-skeptis, melainkan harus memberi ruang seluas-luasnya kepada pengembangan kedua-duanya secara sinergis. Banyak di antara para pengelola Pendidikan Agama berargumentasi  “karena bidang ilmu yang dikembangkan dalam kategori humaniora, oleh karena itu teori dan metodelogi yang diajarkan sebatas pada teori dan metodologi humanistik. Kurikulum dan silabus sama sekali tidak memberi ruang pada pengembangan teori dan motodologi paradigma positivistik. Tenaga pengajar dan mahasiswa hanya tahu satu perspektif pengetahuan, dan ini lebih berbahaya lagi kalau apa yang mereka ketahuan dan kuasai dianggap sebagai satu-satunya atau kebenaran absolut dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 

Kedua, Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama, harus sebanyak mungkin memberi ruang pada penguatan keterampilan Tri Dharma. Dibandingkan dengan Pendidikan Tinggi Umum, pengalaman yang ada untuk meningkatkan mutu dan keterampilan para tenaga eduktif dalam bidang Tri Dharma harus diakui masih sangat kurang. Oleh karena itu, dosen harus dimotivasi untuk sesering mungkin bertukar pikiran-bertukar naskah akademik, dan bila perlu bertukar pengalaman mengajar di Perguruan Tinggi lain dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu semester. Dengan cara seperti ini, setiap tenaga edukatif akan termotivasi untuk menyiapkan dirinya menjadi tenaga pengajar yang terampil. Research luar negeri dengan pembiayaan short course dari Pemerintah, merupakan cara yang efektif dalam meningkatkan keterangan meneliti bagi para dosen di Perguruan Tinggi Agama. Dengan kekuatan sumber dana yang relatif baik, saya berkeyakinan para pengelola Pendidikan Tinggi Agama Buddha tidak berkeberatan untuk mengalokasikan dana untuk memberi kesempatan kepada para tenaga edukatifnya melaksanakan penelitian di luar negeri, di samping menguatkan publikasi hasil penelitian juga berguna untuk meluaskan wawasan dan jejaring sosial Lembaga Pendidikan yang dikelola (SS, 301-305). Perluasan jejaring akan memperluas pula informasi mengenai hasil penelitian-publikasi dan pengabdian yang pernah dilaksanakan oleh lembaga. 

Ketiga, kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan harus didorong ke arah yang tertinggi. Disamping untuk meningkatkan kopetensi juga untuk memberi pembobotan pada kualitas lembaga, tetapi bukan berorientasi education melainkan learning. Pemerintah wajib memfasilitasi peningkatan kualifikasi pendidikan dosennya, baik negeri dan swasta secara bertahap dan berencana. Hanya dengan rencana yang sistematik dan berkelanjutan, pembinaan dan pengembangan lembaga pendidikan Tinggi Agama bisa dipacu untuk menyiapkan anak didik yang cerdas, unggul, dan kompetitif serta siap bersaing dalam dunia yang semakin kompleks.

III  Penutup

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada forum terhormat ini, semoga lembaga ini semakin mampu menjadi media pencerdasan generasi muda Hindu dan membina moral serta budi pekerti yang unggul. Terima kasih dan mohon maaf atas segala keterbatasannya. 

Daftar Bacaan

CATTON, William,R. Jr. (1966). From Animistic to Naturalistic Sociology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.

Gidden, Anthony. (1967). Rules of Sociological Method: A Positive Craitique of Interpretative Sociologies. New York: Basic Books, Inc. 

Huntington, Samuel. 1993. The Clash of Civilization and the Remarking of World Order.

Martindale (1974) Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.

Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.

Wrong, Dennis. (1976). Sceptical Sociology. New York: Columbia University.
Yudha,    Triguna. 1992/93. Sosiologi  Agama Hindu.  Modul  I   Penyetaraan Guru-Guru  Agama Hindu se  Indonesia. Jakarta:  Universitas Terbuka. 
------------------. 1997. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Bandung: Universitas Pajajaran (Disertasi).
------------------.(Penyunting). 2000.    Kontribusi   Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------. 2000. Teori-Teori Simbol. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------. 2002a. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural. Makalah Denpasar: Balai Kajian.
------------------.2002b. Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi. Makalah Dialog Budaya Regional. Yogyakarta: Direktoral Kepercayaan dan Tradisi Jakarta.

------------------.2014. “Paradigma Pendidikan dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Tinggi Berbasis Agama”. Orasi Ilmiah pada STIAB Jinarakhita Lampung, 17 Oktober 2014.

------------------.2015a dan b. “Pembangunan Karakter dan Pembangunan Diri”, Makalah pada acara Sosialisasi Pembangunan pada Perguruan Tinggi Swasta se NTT, NTB, dan Bali. Ristekdikti.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar