Skip to main content

Nilai Agama: Sumber Inspirasi Penelitian dan Karya Cipta Seni Pertunjukkan


Sumber Foto: Karya Wayan Sumatika
Oleh:
IBG. YudhaTriguna
Universitas Hindu Indonesia
(ISI Denpasar, 2014)

I  Pendahuluan
Pertama-tama saya mengucapkan terimakasih kepada Rektor Institut Seni Indonesia Negeri Denpasar atas undangannya, sehingga saya sebagai representasi Universitas Hindu Indonesia bisa ikut berpartisipasi pada seminar nasional dengan tema ‘Seni Tradisi sebagai Sumber Inspirasi Penelitian dan Karya Cipta Seni Pertunjukkan’. Saya melihat ada niat kuat yang tersurat dari tema di atas untuk menggali khasanah  seni sebagai inspirasi penelitian dan karya cipta seni pertunjukkan. Tidak hanya menggali, tetapi juga menegaskan komitmen, bahwa tradisi memiliki potensi besar sebagai objek penelitian serta olah cipta karya seni, sehingga harus senantiasa diwacanakan agar perhatian para ilmuwan seni lebih fokus pada objek ini. Pilihan atas tema itu, dapat pula berarti betapa terjadi ‘kegelisahan’ di kalangan para ilmuwan dan peneliti seni atas semakin langka-terbatasnya para  ilmuwan untuk meneliti persoalan tradisi sebagai idea mewujudkan penelitian dan atau karya cipta, sehingga didoronglah pembahasan sub temaTradisi Kerakyatan dan Istana, Karya Sastra, dan Seni Tradisi serta Ideologi dalam Penciptaan. Saya hamper tidak memiliki objek pembahasan, kecuali mempermasalahkan konsep Tradisi secara historis dan teoritis dan bagaimana seorang Ilmuwan Seni seharusnya meneliti persoalan seni lama.


II Apa Tradisi dan Mengapa Harus Tradisi
Para evolusionis klasik dan penganut teori modernisasi berasumsi bahwa masyarakat dan kebudayaan di seluruh dunia akan berkembang dari tingkat yang amat sederhana melalui beberapa tingkat antara menuju tingkat yang paling maju-kompleks-sempurna. Bangsa Ero-Amerika diasumsikan sebagai model masyarakat paling tinggi kebudayaannya dan menjadi tujuan akhir peradaban semua bangsa. Masyarakat di luar itu, Asia, Afrika, dan Oceania adalah contoh masyarakat dan kebudayaan yang masih terbelakang atau masyarakat yang berada pada awal perkembangannya. Asumsi evolusionisme amat berkembang di paruh abad 19 dan menjadi acuan cara berfikir para pengambil kebijakan dan para ilmuwan yang menulis buku maupun melaksanakan penelitian.

Munculnya dikotomi antara masyarakat homogen-komunal-ritualisme-pimpinan atas dasar wibawa dan karisma, dengan hokum adatnya yang bersifat represif sertahubungan bersifat anonim di satu pihak berlawanan dengan masyarakat heterogen-individual-humanis-pimpinan berdasarkan kedudukan dan wewenang, dengan hokum positif bersifat restruktif serta hubungan satu sama lain berdasarkan azas guna di pihaklain, sesungguh nyamerupa kanrefleksi dari adanya dominasi cara berfikir evolusionis.

Pengaruh di dunia akademik pun sangat terasa [khususnyadalam paradigm ilmu social dan humaniora], ketika Auguste Comte meluncurkan Course of Positive Philosophy (1826) dengan menegaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang disebut Comte sebagai pengetahuan positif. Menurutnya, pengetahuan positif inilah sebagai dasar perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Karena itu, jika manusia  beserta lembaga yang dikelolanya ingin maju dan beradab, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia menuju berpikir ilmiah atau positif. Manusia tidak boleh berpikir abstrak apalagi berpikir mistik, karena kedua gaya berpikir tersebut (abstrak dan mistik) hanya ada dalam fase sebelumnya, yakni fase metafisika dan teologis.

Pandangan Auguste Comte kemudian menyebar dengan cepat, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora, sehingga lahir paradigma positivisme. Paradigma ini dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dari Ilmu sosial-humaniora yang masih menggunakan prinsip kerja relativisme/ interpretatif/ humanistik/ skeptis. Setidaknya hal itu tampak dari dikotomi istilah yang diskriminatif antara naturalistis versus animistis (Catton,1966), positivis berlawanan dengan interpretatif (Gidden,1967), antara scientifis berlawanan dengan humanistis (Martendale, 1974), dan naturalistis berhadapan skeptis (Wrong, 1976). Perselisihan filosofi itu terus menyebar ke Perguruan Tinggi, merasuki pikiran para pendidik mulai asisten ahli hingga Guru Besar, sehingga di dunia akademispun lahir ‘partai’ dosen yang mengusung bendera positivistik dengan pendekatan kuantitatifnya di satu pihak berhadapan dengan ’partai’ lain yang mengusung bendera kualitatif dengan kekuatan subyektivitas dan interpretasinya.

Paradigma positivistik dianggap sebagai paradigma yang kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan paradigma humanistik-interpretatif. Kondisi seperti ini telah banyak memakan korban mahasiswa dan kualitas lulusan. Ada mahasiswa yang harus mengikuti minat dosennya meneliti dan menulis sekrepsi/tesis/disertasi dengan paradima positivistik, walaupun ia sendiri menyadari bahwa persoalan yang dibahasnya tidak memerlukan pendekatan paradigma positivistik. Sebaliknya, ada dosen karena keterbatasannya akan pengetahuan mengenai paradigma positivistik, mengharuskan mahasiswa untuk melakukan penelitian skrepsi/tesis/disertasidengan paradigma humanistik-interpretatif yang ia kuasai. Akibatnya, kualitas output tidak memenuhi standar mutu terbaik, disebabkan sejak awal terjadi pemahaman yang bersifat dikotomis dan masing-masing menganggap benar dan lebih baik. Situasi dikotomis seperti diuraikan di atas hingga kini masih terjadi sebagai dinamika pergulatan paradigma dalam dunia pendidikan kita di Indonesia (Triguna, 2014: 3-5), dan tradisi dimaknai sebagai sebuah tahapan peradaban yang memilikikualitassederhana-monoton-minus kualitas.

Morieux and Tollman (2014) dalam Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated, memprediksi bahwa kehidupan manusia di dunia, baik dalam bidang sosial, budaya, agama, dan pendidikan akan mengalami peningkatan kompleksitas sebanyak 35 kali dalam kurun waktu antara 20-30 tahun. Dengan kehidupan yang semakin kompleks, maka diperlukan model pendidikan yang mampu memberi ruang lebih luas terhadap kemampuan anak didik agar mereka kelak dapat menyiapkan diri untuk mampu menyesuaikan diri dan memecahkan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Salah satu aspek  yang dianggap memiliki peran dalam memberi bekal agar anak didik mampu menyiapkan dirinya menghadapi problem hidup yang semakin kompleks dan kompetetif adalah sikap kritis dan peningkatan keterampilan.

Berpikir kritis diyakini sebagai axioma dari evulusi pengetahuan manusia seperti dinyatakan dalam Critical Thinking. Menurutnya abad 21 akan diwarnai oleh kemampuan menguasai dan keterlatihan manusia berpikir kritis. Era agraris berganti menjadi era indrustri, dan digeser oleh era komunikasi, dan pada akhirnya abad 21 era komunikasi diganti oleh kreativitas pengetahuan. Mereka yang memiliki tanah sawah-kebun, pabrik, dan media akan digeser oleh kreativitas pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Memiliki banyak uang, berbagai asset industri tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal jika tidak dibarengi dengan penguatan pada pengetahuan dan keterampilan. Dengan pernyataan singkat, pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi (Vidya dhanam Sarvadhana Pradhanam). Olehkarenaitu, tradisidalamsastra, tradisikerakyatan,  dan seni tradisi akan menjadi objek menarik-hidup dan bermakna, jika para tenaga edukatif-peneliti- dan penggarap karya seni memiliki pengetahuan dan keterampilan melaksanakan penelitian dan penciptaan.

III  Agama Sebaga iInspirasi dan Bagaimana Itu Dilakukan ?
Seorang peneliti seni harus dengan tekun dan serius menyimak substansi nilai tradisi yang menjadi objeknya. Tradisi kerakyatan, Sastra tradisi, dan seni tradisi maupun nilai-nilai agama harus dikaji dan disimak melalui proses empati yang oleh Weber disebut dengan tekhnik interpretative and understanding. Memahami sesuatu secara mendalam berbeda dengan memahami sesuatu hanya pada kulit dan hapalan. Misalnya, ketika saya mencoba ingin mengetahui pemahamanGuru Agama Hindu tentang Sarasamuscaya, sloka 299-313 atau sloka 95-115, mereka sebagian besar pernah membaca dan hafal sloka dimaksud. Kemudian ketika dicoba ditanyakan substan siapa yang ingin disampaikan pada bab itu, mereka umumnya tidak satu pandangan. Hal in disebabkan oleh kurangnya perangkat analisis dan kreativitas mereka dalam memahami secara  mendalam uraian sloka dimaksud…dan malahan mereka berhenti pada menghafal bunyi sloka. Mereka tidak pernah mampu membuat resume bab itu, padahal pada sloka 299-313 menekankan bahwa Manusia Hindu (MH) seharusnya memiliki dua kekuatan, yaitu pradnyan dan purusotama. Pradnyan hanya bias dicapai jika kita bergaul (SS, 300-301), membangun jejaring (SS, 302-303), dan berdiskusi (SS, 304-305). Manusia Hindu tidak hanya cukup pradnyan, tetapi juga harus purusotama atau berbudiluhur yang indikatornyapada SS, 306-307 tidak pernah bangga tatkala dipuji dan tidak pernah merasa hina tatkala dicacimaki. Mampu menguasai krodha (SS, 308-309), dan rendah hati (310-311). Axiomanya berbunyi ‘bergaulah dengan orang-orang pintar dan bijaksana, setidaknya engkau akan menjadi pintar dan bijaksana’. Menyimak, menafsir dan mengerti secara mendalam merupakan elemen paling dasar bagi ilmuwan-peneliti-pencipta karya seni agar karya seni yang dihasilkan menyentuh rasa paling dalam.

Setelah dilakukan pemahama secara mendalam, maka yang paling harus dikuasai peneliti seni adalah konseptualisasi objek. Apapun sumber kajiannya (tradisi kerakyatan, karya sastra tradisonal, senitradisi, dan agama) jika peneliti kurang terampil merumuskan konseptualisasi, maka dia akan gagal mengungkap substansi dan karya ciptaannya hambar dari rasa estetik. Sebuah contoh yang amat komprehensif dikemukakan oleh Rsi Sambina tatkala merumuskan konsep cantik. Ia menyatakan, cantik itu wajah. Kecantikan wajah hilang oleh ketidak mulusan tubuh. Kecantikan wajah dan kecantikan tubuh hilang oleh ketidakharuman alat reproduksi. Kecantikan wajah, kemulusan tubuh,  keharuman alat reproduksi hilang oleh ketidakmampuan sanggama, dan semua itu hilang oleh kecantikan rohani’. Ini adalah tantrayana, dan menjadi sumber menarik dalam pengkajian dan penciptakaan karyaseni yang bermakna. Dengan konseptualisasi yang cermat memudahkan peneliti memahami objek dan mengekspresikan objek itu sebagai karya seni. Jika karena alasan teknis substansi nilai ini tidak mungkin diekspresikan dalam bentuk karyacipta, setidaknya pesan substansi nilai sebagaimana dikandung dalam konseptualisasi dapat disampaikan oleh Ki Dalang, sehingga karya seni yang dihasilkan tidak saja estetik karena penarinya cantik, mulus kulitnya serta pakaiannya baru, tetapi karya seni yang dihasilkan penuh pesan moral sebagaimana Mahabharata, Mahadewa, Joda Akbar, Sakuntala dan Asoka.

IV Simpulan
Agama mengandung nilai-moral  yang patut dipedomani sekaligus berisi larangan yang harus dihindari. Pertarungan antara anjuran dan larangan dengan segala argumentasinya menjadi sumber pengkajian dan penciptaan karya seni yang dinamis dan bermakna. Untuk mencapai itu, diperlukan kemampuan berfikir kritis dan analitis dalam mengkaji sumber dan memiliki kemampuan konseptualisasi. Berfikir kritis akan memberikan dasar pemahaman mendalam dan konseptualisasi memberikan landasaran keteraturan berfikir baik dalam pengkajian maupun dalam mencipta karya seni.

Daftar Bacaan

CATTON,William,R.Jr.(1966). From Animistic to Naturalistic Sociology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.

Gidden, Anthony. (1967). Rules of Sociological Method: A Positive Craitique of Interpretative Sociologies. New York: Basic Books, Inc.

Huntington, Samuel. 1993.The Clash of Civilization and the Remarking of World Order.

Martindale(1974)Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.

Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.

Triguna, Yudha Ida Bagus Gde. 1997. MobilitasKelas, Konflik,  dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali (Disertasi). Bandung. UniversitasPejajaran.

------------.2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi”. Makalah: Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.

------------.2014. Paradigma Pendidikan  dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Berbasis Agama. Orasi Ilmiah pada Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita, Lampung. 17 Oktober.

Wrong,Dennis. (1976). Sceptical Sociology. New York: Columbia University


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar