Skip to main content

Nyepi, Kerja dan Kemuliaan Hidup


Sumber Foto: Pegipegi

Oleh: Ida Bagus Gde Yudha Triguna. 
Universitas Hindu Indonesia 
(Indonesian Power, April 2017).


Pada tanggal 28 Maret 2017 yang lalu, umat Hindu di seluruh pelosok nusantara baru saja melaksanakan hari raya Nyepi [sipeng jagad], sebagai penanda awal tahun baru saka 1939. Sebelum hari raya Nyepi dilaksanakan upacara melis, melasti, yaitu upacara penyucian pratima ke sumber-sumber mata air dan atau laut sebagai rangkaian awal pelaksanakan hari raya Nyepi. Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu secara nasional mengadakan upacara Tawur [ruwatan] yang dipusatkan di depan candi Prambanan, Jateng diikuti dengan hal yang sama di masing-masing Provinsi lain. Khusus di Bali, upacara tawur dilaksanakan hingga ke tingkat desa adat. 

Saat Nyepi, umat Hindu melaksanakan catur berata dengan tidak bersenang-senang [amati lelanguan], tidak bepergian [amati lelungaan], tidak menyalakan api [amati gni], dan tidak bekerja [amati karya]. Keempat larangan itu pada dasarnya merupakan usaha untuk mengendalikan diri dari pengaruh ahangkara dalam wujud rĂ£ga [nafsu], lobha [tamak], kroda [marah], mada [mabuk], irsya [iri hati], dan moho [bingung]. Manusia Hindu saat Nyepi berusaha melakukan kontemplasi terhadap dirinya, untuk senantiasa berusaha mengekang pengaruh ahangkara ke tingkat minimal. Dengan kekuatan budhi dan wiweka-nya, manusia menimbang betapa mengumbar nafsu, menjadi manusia tamak, iri hati, dengki dan pemarah tidak akan pernah menginspirasi manusia mencapai kemuliaan hidup. Dalam teologi Hindu dengan tegas diajarkan agar seorang penganut Hindu tidak melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) kepada semua makhluk, terlebih hal itu dilakukan kepada manusia.

Nyepi, tidak dirayakan dengan segala persiapan makan-minum, juga bukan diisi dengan aktivitas yang negatif lainnya, seperti berjudi  menyiapkan nonton film berpuluh-puluh atau berkumpul sambil minum-minum minuman beralkohol, melainkan diisi dengan aktivitas kerohanian yang bertujuan memperhalus budi dan rasa altruisme, agar setelah usai Nyepi manusia Hindu ‘hidup’ kembali dan semakin dekat dengan soal-soal kemanusiaan. Bukankah Hindu mengajarkan Tat Twam Asi, sebuah ajaran yang menganggap orang lain sama dengan diri sendiri. Jika manusia Hindu rakus, tamak, dan egoisme dengan mengumbar kemarahan kepada orang lain, itu berarti ia memarahi dan menyakiti dirinya sendiri. Nyepi harus mampu dijadikan momentum memuliakan diri sebagai manusia dan dan juga memuliakan orang lain sesama anak bangsa dengan cara lebih peka terhadap kemiskinan yang masih menimpa sebagian anak bangsa ini. Manusia Hindu seharusnya juga semakin menyadari betapa pendidikan menjadi modal untuk mencapai kemudiaan hidup sebagaimana tersirat dalam sloka Vidyadhanam Sarvadhana Pradhanam. Akhirnya, manusia Hindu setelah melaksanakan Nyepi, juga diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi hidup damai [shanti] dalam suasana kehidupan yang multikultural.

Setelah melaksanakan hening satu hari dan setelah jiwa dan raga beristirahat, memiliki energy baru untuk memulai hidup baru yang lebih berharga bagi keluarga, nusa, dan bangsa. Salah satu cara memuliakan hidup adalah dengan bekerja lebih keras dengan menganggap kerjaitu sendiri bagian dari yadnya, bagian dari jalan menuju Tuhan. Hal ini sejalan dengan ajaran Hindu yang menyatakan “Tuhan (Prajapati) telah melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia, yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang disebut Rta (Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1). Dalam Atharva Veda (III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu juga mengajarkan umatnya untuk bekerja keras dengan penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15).Oleh karena itu, manusia Hindu harus bekerja atau berkarma dengan penuh konsentrasi dan disiplin sebagaimana halnya Tuhan telah memberikan Kamadhuk melalui yadnya-Nya. Dengan landasan bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap umat Hindu untuk tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab, karena setiap pekerjaan memiliki kemuliaannya sendiri, yang mampu memberikan citra diri dan kemuliaan hidup. 

Atas dasar itu, Nyepi tidak dirayakan, tetapi dilaksanakan sebagai praktek disiplin diri agar manusia Hindu menjadi semakin memiliki tanggung jawab terhadap peningkatan kualitas dirinya, memiliki sifat altruisme dalam membantu keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Dengan demikian, manusia Hindu semakin mampu memuliakan dirinya.

Nyepi sebagai praktek disiplin, diharapkan menginspirasi manusia Hindu menjadi pradnyan dan purusotama sebagai dinyatakan dalam Sarasamuccaya sloka 299-313. Pradnya mengandung arti manusia Hindu harus menguasai kompetensi sesuai swadarma yang ditekuni, baik melalui education maupun learning. Menguasai kompetensi dapat berarti manusia Hindu harus tahu-mampu-mau melaksanakan setiap swadarmanya dengan penuh kesenangan. Terlebih dilaksanakan dengan prinsip 5S [senyum, sapa, segera, selesaikan, dan seneng]. Agar bisa menjadi manusia Hindu yang pradnyan, maka Sarasamuccaya memberi perintah “bergaulah” [302], “bangun jejaring” [303-304], dan “berdiskusilah” [306]. Apakah manusia Hindu cukup dengan hanya menguasai kompetensi [pradnyan] ?

Manusia Hindu tidak akan pernah mencapai manusia yang mulia, walau menguasai kompetensi dengan baik dan atau pradnyan. Manusia Hindu harus membangun sisi lainnya, yaitu purusotama, yakni berbudi luhur. Setidaknya kalau mengacu pada Sarasamuccaya [299-313], unsur penting purusotama, yaitu “jangan pernah bangga saat dipuji dan jangan merasa hina saat dicacimaki”[306], “kendalikan kroddha” [307-309 perhatikan juga SS Sloka 93-115], dan “rendah hati” [312]. Dengan menyeimbangkan dua pondasi dasar [pradnyan dan porusotama atau IP AKSI nya Indonesian Power antara profesionalisme+proaktif di satu sisi sebagai kompetensi-pradnyan dengan integritas+sinergi sebagai purusotama], niscaya saudara sebagai manusia Hindu akan mampu mampu mencapai manusia yang mulia sebagaimana dinyatakan dalam Yajur Weda.19.30 sebagai berikut.
Pratenadiksamapnoti
Diksayaapnotidaksinam
Daksinasraddhamapnoti
Sraddhayasatyamapyate
[Yajur Weda.19.30]

Artinya:
Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian,
Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan
Dan dengan kehormatan kita peroleh kebenaran

Menempatkan kerja sebagai yadnya [tanpa pamrih] juga memungkinkan memperoleh kesucian, hasil yang suci tak ternoda, energi yang mengalir dalam uang yang diperoleh dengan jalan suci akan memberikan vibrasi positif bagi seluruh anggota keluarga yang menikmatinya. Seluruh keluarga akan tenang hidupnya, dan dalam kondisi demikian, keluarga itu akan memperoleh kemuliaan dan kehormatan sebagai keluarga sukhinah bawantu [memperoleh kemuliaan, kehormatan, dan dipercaya].

Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Marrill (2006) dalamThe Speed of Trust menyatakan seorang Pemimpin [baca manusia] adalah mereka yang dipercaya (trust). Cara terbaik membangun atau memulihkan kepercayaan adalah dengan membuat dan memelihara komitmen [yang paling kecilsekalipun]. Mengapa penting kepercayaan itu dibangun ? Kepercayaan selalu membawa hasil akhir, yaitu Kecepatan dan Biaya. [”dunia sedang berubah dengan sangat cepat, bukan yang besar mengalahkan yang kecil, melainkan yang cepat mengalahkan yang lambat”, Rupert Murdoch, Dirut News Corporation].

Demikian beberapa yang dapat disampaikan pada Dharmasanti keluarga besar PT Indonesia Power, semoga bermanfaat.


Prof.Dr. IBG Yudha Triguna, M.S
Guru Besar Universitas Hindu Indonesia

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar