Nyepi: Membangun Karakter Menuju Hidup Shanti dan Jagaditta
![]() |
Sumber Foto: One Earth Retreat |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia
(Pandaan Jawa Timur, 26 Maret 2016)
Para Pandito yang saya Sucikan,
Yang terhormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim
Bapak Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI atau yang mewakili
Bapak Bupati Pasuruan beserta Muspida
Ketua PHDI Jatim dan seluruh Organisasi Umat Hindu se Jatim
Para Pinisepuh dan umat sedharma yang amat saya cintai dan banggakan
Om Swastiastu,
Pertama-tama saya mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi Tahun baru Icaka 1938, semoga di tahun baru ini kita semua dianugrahi kedamaian (shanti, damai di hati-selalu, dan selamanya) dan kesejahteraan (Jagadditha). Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan diminta panitia memberi Dharma Wacana berkaitan dengan Peringatan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Icaka 1938 di hadapan umat Hindu se Jawa Timur dengan tema “Nyepi: Membangun Karakter Menuju Shanti dan Jagaditta”. Berbicara mengenai pembangunan dan pendidikan karakter berarti bicara mengenai pembangunan diri manusia menjadi Manusia yang cerdas, unggul, kompetitif bertata krama atau yang Sadu Gunawan.
II Nyepi dan Dimensi Pembangunan Manusia
Tanggal 9 Maret 2016 Umat Hindu merayakan hari raya Nyepi tahun baru caka 1938. Hari raya Nyepi selalu dikesankan dengan hari pertama tahun baru caka, hari berpuasa bagi seluruh umat Hindu Indonesia dari empat hal, yaitu tidak bekerja (amati karya), tidak bersenang-senang (amati lelanguan), tidak menyalakan api (amati gni), dan tidak bepergian (amati lelunganan). Sementara yang lain mengesankan hari raya Nyepi sebagai hari yang penuh dengan prosesi memandikan berbagai perlengkapan upacara ke berbagai pusat-pusat aliran air dan atau ke laut atau hari-hari yang penuh dengan atraksi pawai ogoh-ogoh sebagai simbol raksasa dan keangkara-murkaan.
Hari raya Nyepi dilaksanakan dalam satu rangkaian upacara utuh, mulai dengan kegiatan melasti, melis, makiis, yaitu sebuah upacara prosesi untuk membersihkan berbagai simbol dan peralatan stana Tuhan ke berbagai pusat aliran air dan atau laut. Rangkaian kedua adalah upacara tawur kasanga, sebuah upacara yang dilaksanakan pada catus pata (perempatan agung) dengan melibatkan tiga unsur Pandita (Bujangga Waisnawa, Budha, dan Siwa). Upacara tawur selalu diawali dengan usaha untuk ’mengundang’ seluruh isi alam pada bhurloka (alam di bawah manusia) melalui ujaran mantera dan alat-alat seperti sungu, orag, ketipluk, dan bunyi-bunyian lainnya. Mengapa dengan suara-suara relatif ’gaduh’ bukankah ritual memerlukan kekusukkan ? Upacara ini adalah upacara butha, dan prototife butha identik dengan kegaduhan dan suara-suara yang menggugah emosi. Setelah upacara ’mengundang’ alam bawah selesai, maka dilanjutkan dengan tahap memuliakan hidup para butha melalui upacara somya yang dilakukan oleh pandita Budha. Setelah itu barulah Ida Pandita Siwa dilaksanakan hubungan dengan Siwaloka melalui ujaran dan mantera puja Siwa. Pada saat ini suasa telah hening untuk melaksanakan panca sembah menghubungkan diri dengan Tuhan dan memohon agar tawur yang dilaksanakan mampu memberikan kemuliaan bagi makhluk hidup di bawah manusia, dan bagi manusia diberikan kekuatan untuk melaksanakan catur berata penyepian keesokkan harinya.
Pada hari sipeng (Nyepi) umat Hindu melaksanakan puasa sebagai rangkaian ketiga hari raya Nyepi. Puasa dalam agama Hindu adalah aktivitas penyucian diri dan pengendalian diri dari ahangkara dalam wujud rãga (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), irsya (iri hati), dan moho (bingung). Pengendalian diri itu penting artinya, terkait dengan usaha manusia untuk mencapai penyucian diri dalam rangka penyatuan Brahman dengan Atman. Karena keadaan Atman halus dan cemerlang, maka hanya dengan kesucian pula seseorang mampu menyatu dengan-NYA. Oleh karena itu, puasa menjadi aspek penting dalam membentuk kualitas Manusia Hindu dalam menjauhkan diri dari tindakan-tindakan spesifik, seperti agnida (membakar), raja pusuna (memfitnah, propokator), paradaro (memperkosa), sastraguna (menggunakan ilmu hitam), wisada (meracuni), himsa (menyiksa, membunuh). Dalam agama Hindu, setiap yadnya (korban suci) selalu diikuti dengan adanya beberataan (puasa). Jenis beberataan tergantung dari kuantitas dan kualitas yadnya yang diselenggarakan. Semakin utama yadnya yang dipersembahkan seseorang, semakin berat pula beberataan yang harus dilakukan oleh orang yang menyelenggarakan yadnya itu.
Dalam tradisi sastra dikenal tiga tingkatan puasa, yaitu: puasa dengan cara tidak tidur (jagra) merupakan bentuk puasa tahap pertama, puasa dengan tidak tidur dan makan (upawasa) merupakan puasa tingkatan madya, dan puasa dengan cara tidak tidur, makan, dan berbicara (mono) selama dua puluh empat jam merupakan puasa yang utama. Dalam kondisi demikian, orang dianjurkan untuk melakukan tapa, yoga, dan semadi. Jadi pada hari raya Nyepi umat Hindu diajurkan untuk tidak bekerja, bersenang-senang, bepergian, dan tidak menyalakan api, tetapi juga jika memungkinkan puasa tidak makan, tidur, dan berbicara. Dengan kata lain seluruh umat Hindu melaksanakan tapa brata untuk menuju kualitas hidup yang lebih baik di mata Tuhan maupun masyarakat. Orang yang mampu mengendalikan diri sendiri dari pengaruh ahangkara, niscaya akan mudah menundukan orang lain. Karena itu, jika kita ingin hidup dengan baik di antara orang lain, dihargai, dipercayai, dan oleh orang lain, maka puasa merupakan salah satu jalan Tuhan yang patut kita jalani.
Rangkaian terakhir hari raya Nyepi adalah melaksanakan simakrama, berkunjung dari rumah ke rumah saudara, tetangga, dan kerabat dekat untuk saling memaafkan dan memberi dukungan agar hidup kita senantiasa dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip dharma.Kegiatan simakrama yang bersifat individual ini kemudian diformalkan dalam bentuk seperti yang kita laksanakan pada hari ini berupa Dharma Shanti.
Setelah kita hening satu hari dan memberikan jiwa dan raga kita untuk beristirahat, maka kita telah memiliki energi baru untuk memulai hidup baru yang lebih berharga bagi keluarga, nusa, dan bangsa. Atas dasar konsepsi karma atau bekerja dan Bhakti marga Manusia Hindu semakin diminta memuliakan semua makhluk hidup. Salah satu cara memuliakan hidup kita adalah dengan menganggap kerja itu sendiri bagian dari yadnya, bagian dari jalan menuju Tuhan. Dalam ajaran Hindu jelas dinyatakan “Tuhan (Prajapati) telah melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia, yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang disebut Rta (Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1). Tuhan sendiri juga harus bekerja untuk mempertahankan eksistensi alam semesta (Bhagawad Gita, III 10, 22, 23, 24). Oleh karena itu manusia harus bekerja atau berkarma sebagaimana halnya Tuhan telah memberikan Kamadhuk melalui yadnya-Nya. Dengan kata lain kerja adalah sebuahyadnya. Dalam Atharva Veda (III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu juga mengajarkan umatnya untuk bekerja keras dengan penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15).
Dengan landasan bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap umat Hindu untuk tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab. Menjadi petani, tukang bangunan, pedagang, pencuci mobil, membersihkan rumah, dan lain sebagainya, semuanya adalah sarana untuk melaksanakan yadnya, dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Substansi ajaran ini adalah merupakan seruan kepada kita bahwa setiap pekerjaan memiliki kemuliaannya sendiri, yang mampu memberikan citra diri dan kemuliaan hidup kepada setiap orang yang memandang pekerjaan itu sebagai yadnya. Pesan moral hari Raya Nyepi juga berisi ajakan agar Manusia Hindu semakin mampu rajut komitmen untuk memelihara kebudayaan sendiri dan kebudayaan di mana kita hidup dan dibesarkan. Sebagai penganut Hindu ke manapun kita bermigrasi senantiasa membawa, memelihara, dan mengembangkan kebudayaannya sendiri dan berusaha memahami kebudayaan setempat. Orang Bali, India, dan Batak tidak pernah akan bisa hidup sebagai orang Hindu tanpa kebudayaannya itu. Tarian, tabuh, gegitaan, dan aktivitas upacara menjadi aspek-aspek yang selalu dipeliharanya. Hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini terdapat perangkat gambelan Bali, sekaa tari, dan bertumbuhnya sekaa shanti sebagai ekspresi seni mereka. Di Pekanbaru-Riau ini, hal serupa juga tumbuh hal yang sama, sehingga pemerintah daerah merasa bangga terhadap kenyataan bahwa orang Hindu telah mampu memelihara kebudayaan mereka dengan amat baik. Hal ini tentu tidak lepas dari ajaran bhakti dan karma dalam agama Hindu. Mereka dengan penuh sukacita mempersembahkan yang terbaik kepada-NYA,termasuk perasaan mereka. Itulah sebabnya kita semua, sebelum menyantap sesuatu, sebelum menikmati sesuatu, selalu terlebih dahulu mempersembahkannya kepada beliau, sebagai wujud bhakti kita.
Hari Raya Nyepi juga memberikan landasan bagaimana kita sebagai Manusia dapat hidup inklusif terhadap orang lain. Inklusif berarti, sikap mudah menerima kehadiran orang lain, tidak mengganggap diri sendiri sebagai kelompok yang terbaik, tidak ekstrem, terbuka dalam banyak hal, dan jangan sekali-kali pernah menyakiti orang lain. Dalam ajaran Tat Twam Asi, setiap tindakan menyakiti orang lain, sesungguhnya anda telah melalukan penganiayaan terhadap diri sendiri. Untuk itu, melalui Dharma Santi semacam ini, Pertama, mari kita mulat sarire atau melakukan introspeksi diri untuk secara perlahan-lahan meninggalkan berbagai bentuk larangan Tuhan, seperti berjudi, mabuk-mabukan, dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tidak akan pernah judi itu memberikan kebahagiaan abadi, dia hanya memberikan kebahagiaan semu. Saudara barangkali ingat bahwa judi telah membuat keluarga Panca Pandawa menderita sehingga harus menjalani ‘hukuman’ di buang ke hutan bertahun-tahun, saudara barangkali juga ingat dengan cerita Perabu Nala yang menderita karena judi. Judi pula yang menyebabkan keluarga Pandu hancur dan bertikai. Oleh karena itu, jika kita percaya bahwa Itihasa dan Purana merupakan salah satu Weda yang menjadi acuan kita bersama, dan kita percaya bahwa Ramayana dan Mahabharata merupakan bagian Itihasa, maka kita harus meyakini bahwa berjudi sebagaimana tercantum dalam Itihasa Mahabarata telah memberikan gambaran betapa judi telah membuat keluarga menjadi berantakan.
Memang agama Hindu tidak melarang umatnya untuk minum minuman beralkohol, tetapi agama dan sastra Hindu dengan amat jelas melarang umatnya mabuk. Itu sebabnya sastra Hindu memberikan pedoman mengenai aturan minum sebagai berikut.
• Satuteguk = Ekakusumasari • Duateguk = Dwiamertani, untukmenghangatkantubuh
• Tigateguk = Tri kokilabasa, sepertiburukcerukcuk, ngocet.
• Empattegu k= Caturwanarakonyer, sptkeracengar-cengir.
• Limateguk = Pancawanarukem, sudahsempoyongan.
• Enam teguk = Sad tikus kepanting,sepeti tikus dibanting, mati.
Berdasarkansastra Hindu tersebut di atas, makaseorang Hindu yang baik hanya dibenarkan minum minuman beralkohol maksimal dua teguk dalam fungsinya sebagai penghangat tubuh sehingga mampu memberikan amertani. Selebihnya dari tiga sampai enam dengan jelas berisi gambaran bahwa jika kita minum lebih dari dua teguk dapat mengakibatkan kita seperti burung cerukcuk (punyah) sampai seperti tikus kepanting, mati. Persoalannya apakah kita mampu hanya meminum dua teguk saja ? Jika tidak, maka sebaiknya kita usah mencobanya. Ketiga, hentikan melakukan kekerasan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam teologi Hindu dengan tegas diajarkan agar seorang penganut Hindu tidak melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) kepada semua makhluk, terlebih hal itu dilakukan kepada manusia. Secara struktural, setiap manusia dalam dirinya memiliki rãga (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), irsya (iri hati), dan moho (bingung) yang harus dikendalikan. Dalam konteks kekerasan, saya minta kepada kita mari kita hentikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Wanita sebagai fondasi rumah tangga bukan seharusnya menjadi objek kekerasan, melainkan menjadi sesuatu yang dimuliakan. Sebab, jika wanita sebagai bagian dari kehidupan rumah tangga telah mengalami kesedihan, maka diyakini bahwa keluarga itu akan mengalami kehancuran (MDS,III,57), demikian pula ketika wanita mengalami penderitaan dalam rumah tangga, dan karena itu ia kemudian memutuskan untuk mencari ‘kesenangan’ di luar rumah (kerjanya hanya jalan-jalan), maka hal itu telah menjadi indikasi kuat awal dari ketidak-haromisan rumah tangga sebagaimana dinyatakan pada sloka-sloka berikut.
Cocanti jamayo yatra,
Winacyatyacu tatkulam,
Na cacanti tu yatraita,
Warhate taddhi sarwada (MDS, III,57)
Arti:
Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan,
Keluarga itu cepat akan hancur,
Dimana wanita itu tidak menderita,
Keluarga itu akan selalu bahagia.
Brahman sampūjyate rājā
brahman sampūjyate dvijah
bhraman sampūjyate yogi
bhramati stri vinaśyati (C.N.S., VI,4)
Arti:
Raja yang selalu mengadakan perjalanan dipuja dan dihormati,
Para Pendeta yang mengadakan perjalanan keliling dipuji dan dihormati.
Yogi yang mengembara amat dihormati,
Tetapi kalau wanita keliling dan berjalan-jalan, pasti mengalami kehancuran.
Larangan untuk melakukan tindakan KDRT semakin jelas dimuat dalam Sarasamuscaya (VI,153) yang menyatakan bahwa menggoda, memperkosa, dan tindakan yang dengan sengaja melakukan usaha curang dapat menyebabkan umur pendek. Naskah asli dari sloka yang menyatakan hal itu adalah sebagai berikut.
Paraadara na gantavyah sarvavarnesu karkicit,
Na hidrsamanayusyam yathanyastrinisevanam (S.S VI,153)
Arti:
Menggoda-memperkosa wanita, sengaja usaha curang
Jangan dilakukan; pun jangan melakukan segala sesuatu
Yang berakibat umur pendek.
Akibat lain dari kebiasaan melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) terhadap seseorang, maka kelak ia akan menjelma menjadi orang penuh dosa, penyakitan, penjahat, suka membunuh, dan pendek umur seperti dinyatakan dalam sloka berikut: Davskula vyadhibahula dasacarah prahasinah, Bhavantyalpayusah papa roduka kasmalodayat (SS, 148). Secara detail bentuk hukuman tentang segala perbuatan yang tidak diharapkan dapat dipahami dalam Agastya Parwa (Sura dkk., 2002: 22-35).
Jika kebiasaan berjudi, mabuk-mabukan, dan melakukan tindakan kekerasan tidak dapat kita kendalikan, maka itu berarti kita mulai masuk ke jurang lebih dalam yakni pencurian. Dan jika hal ini kita lakukan, maka saudara tidak saja telah mencoreng nama baik kita sebagai orang Hindu, tetapi saudara juga akan berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, marilah pada hari yang baik ini, pada Dharma Shanti ini kita melakukan mulat sarira, untuk mentaati anjuran ajaran agama, dan menghindari larangan-larangan yang diamanatkan sastra dan agama Hindu. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru, dan semoga damai di hati, di dunia, dan damai selalu. Sebelum saya mengakhiri Dharma Wacana ini ijinkan saya menyampaikan satu bait sloka yang bersumber dari buku Nitisataka, sebuah buku yang berisi ajaran-ajaran niti (kepemimpinan) untuk kita jadilah dasar mengarungi hidup ini sebagai berikut.
Busana kekayaan adalah iklas beramal dan mendidik anaknya menjadi suputra,
Busana orang kuat adalah ucapan halus,
Busana pengetahuan adalah kedamaian,
Busana orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati,
Busana tapa tidak lekas marah,
Busana orang besar adalah sifat pemaaf,
Keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain
(Nitisatakam, 2003)
III Simpulan
Nyepi adalah medium untuk membangun karakter diri, tidak saja yang berdimensi cerdas, kompetitif, tetapi juga yang beretika.Nyepi mengajarkan Manusia untuk belajar mengekang musuh yang ada dalam diri, karena teologi Hindu mengajarkan bahwa musuh yang paling sulit ditundukkan adalah musuh dalam diri. Oleh karena itu, melaksanakan brata (puasa) adalah cara manusia agar mampu menjadi manusia yang utuh dan berkarakter, sehingga manusia mampu mencapai kehidupan Shanti (damai) dan Jagaditta (sejahtera). Nyepi bukanlah ajaran yang diafalkan, melainkan sebuah teologi yang memerlukan tindakan praxis dan tauladan. Svaha
Daftar Bacaan:
Huntington, Samuel. 1993.The Clash of Civilization and the Remarking of World Order.
Martindale(1974)Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.
Yudha, Triguna.1992/93.Sosiologi Agama Hindu. Modul IPenyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
------------------. 1997. Mobilita Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Bandung: Universitas Pajajaran (Disertasi).
------------------.(Penyunting). 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2000. Teori-TeoriSimbol. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2002a. StrategiPemberdayaanMasyarakatdanKebudayaan Bali dalamDinamikaMultikultural.Makalah Denpasar: BalaiKajian.
------------------.2002b.ReinterpretasidanReposisiAdatdanTradisidalamMenghadapi Era Globalisasi.Makalah Dialog Budaya Regional. Yogyakarta: DirektoralKepercayaandanTradisi Jakarta.
------------------.2015.PendidikanPendidikanKarakterBangsa di LingkunganMahasiswa PTS se Kopertis Wilayah VIII di NTT dan NTB.KemenristekDikti, Kopertis VIII.