Skip to main content

Pandangan Hindu Terhadap Kejahatan Trafficking



Sumber Foto: Insider Monkey


Oleh
Ida Bagus Gde Yudha Triguna


I Prolog

Data mengenai situasi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, baik yang terekam melalui publikasi akademis, media massa maupun data yang terungkap dari pengetahuan sepintas semakin kompleks. Data UNICEF tahun 1998 [sebagaimana dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi 29, Mei 2003) diperkirakan terdapat 40.000 s/d 70.000 perdagangan anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Malahan Stanley Harsha [wakil Direktur Bagian Politik, Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia] menyatakan “setidaknya ada 17.000 korban perdagangan manusia yang masuk ke AS pada tahun 2007, sebagian besar berasal dari Indonesia”. Setiap tahun terdapat 1.500 s/d 2.000 atau 60 persen dari seluruh kasus pemerkosaan menimpa anak-anak. Demikian pula kasus sodomi umumnya terjadi pada anak-anak berusia 9-12 tahun. 

Berdasarkan data IOM sebagaimana dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi 59, Mei 2008 korban trafiking rata-rata terjadi berlatar belakang pendidikan rendah. Dari 3.042 kasus [Maret 2005-April 2008]  89 persen adalah perempuan yang berasal dari Pontianak, Jawa Barat, dan Jawa Timur 884 jiwa [30,19 persen] berpendidikan SD [Elementary], 609 jiwa [20,8 persen] DO Sekolah Dasar, 599 jiwa [20,46 persen] pendidikan SMP [Junior High] serta 286 jiwa [9,77 persen] DO SMP.  Berdasarkan sumber yang sama, sebanyak 2.642 jiwa [88,45 persen] sorban trafiking dimotivasi oleh persoalan ekonomi, 122 jiwa [4,08 persen] karena problem keluarga, dan 121 jiwa [4.05] karena problem pribadi. 

Data-data di atas telah cukup menggambarkan betapa persoalan kejahatan trafiking terhadap anak-anak semakin meningkat. Kejahatan terhadap anak sebagai aset masa depan bangsa tidak boleh dibiarkan, oleh karena itu diperlukan langkah sinergis, termasuk dukungan dan penguatan agama. Dalam konteks itulah kajian mengenai pandangan agama-agama terhadap kejahatan trafiking secara pribadi saya berikan apresiasi tinggi. 

II Kedudukan Anak Dalam Brahmawidya

Dalam kitab Sarassamuccya, 228 disebutkan bahwa “anak adalah orang yang menjadi pelindung bagi yang memerlukan pertolongan serta untuk menolong kerabat yang tertimpa kesengsaraan: untuk disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya; gunanya ia memasak menyediakan makanan untuk orang-orang yang miskin, orang yang demikian itu putra sejati namanya”. [“durbalartham balam yasya tyagartham ca parigrahah pakascaivapacitartham pitarastena putrinah”]. 

Dalam Sarassamuccaya, 229 lebih lanjut dinyatakan bahwa anak adalah “orang yang dijadikan tempat berlindung oleh kaum kerabatnya sebagai halnya Dewa Indra, Dewa hujan yang merupakan sumber kehidupan sekalian makhluk dan bagaikan pohon kayu rindang yang merupakan kehidupan orang-orang seisi rumah; orang demikian keadaannya adalah anak sejati” [“anu tam tat jivanti jnatayah saha bandhavaih parjanyamiva Bhután drumam svadumivandajah”]. 

Kedudukan anak dalam Sarassamuccaya di atas lebih merupakan harapan kepada anak-anak yang disebut suputra. Seorang anak kelak akan menjadi pelindung bagi keluarga dan orang-orang miskin lainnya yang patut dibantu. Seorang anak hendaknya bakti kepada orang tua dan seluruh keluarganya. 

Sedangkan bagaimana seharusnya anak diperlakukan, kiranya dapat dipahami melalui hakikat ceritra Rare Angon sebagai tertuang dalam lontar tutur rare angon (Lmbr 1b-4b). Dalam cerita itu disebutkan hal sebagai berikut.

“Nihan ling nira tattwa Rare Angon, kengetakna, nimitaning manusa padha, patemwan Rare Angon lawan Rare Cili, katattwaning pradana purusa, tambyaning I Rare Angon matemu smara, metu tang kama petak, I Rare Cili metu kama bang, parok tang kama bang lawan kama petak, umunggwa ring dhaleming kundha cucupu manik, sira Sang Hyang Amrta sabwana asuta dhah rahining kulem, yata matanghyan tang rare mungsang ring dhaleming garbhawasaning ibu”. 

“Inilah hakekat Rare Angon, ingatlah asal-usul dari manusia di bumi, pertemuan Rare Angan dengan Rare Cili, sebagai hakekat pria dan wanita. I Rare Angon memadu asmara, keluarlah sperma putih, sedangkan dari I Rare Cili mengeluarkan kama merah (ovum). Bersatulah sperma dengan ovum, bertempat di tengah kunda cucupu manik (rahim), lalu Sang Hyang Amrta Sabhuwana ketika malam menengadah pada benih anak (memberi makanan kehidupan), inilah yang menyebabkan bayi nyumungsang (kepala dibawah kaki di atas) didalam rahim ibu. 

“Awawarah I Rare Angon munggwing aji, katattwaning rare: 1 lek ring jro, nga Sang Hyang Manik Kama Gumuh; 2 lek, nga Sang Hyang Manik Kama Bhusana; 3 lek, nga, Sang Hyang Manik Tigawarna; 4 lek, nga, Sang Hyang Manik Srigading; 5 lek, nga, Sang Hyang Manik Kembang Warna; 6 lek, nga, Sang Hyang Manik Kutthalengis; 7 lek, nga, Sang Hyang Manik Wimba Samaya; 8 lek, nga, Sang Hyang Waringin Sungsang; 9 lek, nga, Sang Hyang Tungtung Bhawana. Mangkana katattwaning rare ring dalem.

Rare Angon sebagai tokoh dalam cerita itu, lebih lanjut menjelaskan mengenai hakikat anak. Ketika berusia 1 bulan ia disebut dengan Sang Hyang Manik Kama Gumuh; ketika berusia 2 bulan Sang Hyang Manik Kama Bhusana; 3 bulan Sang Hyang Manik Tigawarna; 4 bulan Sang Hyang Manik Srigading; 5 bulan Sang Hyang Manik Kembang Warna; 6 bulan Sang Hyang Manik Kutthalengis; 7 bulan Sang Hyang Manik Wimba Samaya; 8 bulan Sang Hyang Waringin Sungsang; ketika berusia 9 bulan dalam kandungan bernama Sang Hyang Tungtung Bhawana, demikianlah keberadaan bayi dalam kandungan.

“Nihan ring wetuning rare, Sang Hyang Kawaspadana, duk sumalah ring pratiwi, nga, Sang Hyang Prana Bhawana Kosa; duk tinegesan harinya, nga, Sang Hyang Naga Anglak; duk hingadegaken, nga, Sang Hyang Sarining; Duk Sinuswan ika rare, Sang Hyang Naga Gombang.

Ketika bayi telah dilahirkan dinamakan dengan Sang Hyang Kawaspadana, ketika sudah berada di tanah Sang Hyang Prana Bhawana Kosa; ketika ari-arinya telah dipotong dinamakan dengan Sang Hyang Naga Anglak; ketika diberdirikan dinamakan Sang Hyang Sarining; ketika kali pertama disusui dinamakan dengan Sang Hyang Naga Gombang. 

“Duk linekas, nga, Sang Hyang Malengis; duk sinuwukan ikang rare, nga, Sang Hyang Tutur Bhuwana; duk ingemban, nga, Sang Hyang Saroja; Duk sumalah ring prastarana, nga, Sang Hyang Windhu Saka; duk sinuswan, nga, Sang Hyang Bhutha Pranasakti; duk dinulang-dulang, Sang Hyang Ananta Bhoga; duk sinambut, nga, Sang Hyang Kakarsana; duk lumingling, nga, Sang Hyang Menget; duk kumrab, nga, Sang Hyang Nagasesa.

“Ketika di bisiki mantra oleh orang tuanya dinamakan dengan Sang Hyang Malengis; ketika dikalungi jimat dinamakan dengan Sang Hyang Tutur Bhuwana; ketika digendong namanya Sang Hyang Saroja; ketika diletakkan di tempat duduk namanya Sang Hyang Windhu Saka; ketika disusui dinamakan dengan Sang Hyang Bhuta Prana Sakti; ketika disuapi Sang Hyang Anantabhoga namanya, ketika mulai bisa mengambil sesuatu Sang Hyang Kakarsana namanya; ketika mulai melirik dan memperhatikan sesuatu yang disukainya Sang Hyang Menget namanya; ketika rambut sudah tumbuh lebat dinamakan dengan Sang Hyang Nagasesa.

“duk bisa miri, nga, Sang Hyang Bayu Miri; duk bisa alungguh, nga, Sang Hyang Gana; duk wawu ngadeg, nga Sang Hyang Tala; duk wawu lumaku, nga Sang Hyang Bhuta Gelis; duk bisa anyambat bapa babu, nga, Sang Hyang Tutur Menget; duk wawu acacapet, nga, Sang Hyang Ajalila; duk bisa abusana, nga, Sang Hyang Kumara; duk wruhing sabda mwang ngucap, nga, Sang Hyang Jatiwarna, duk rumajaputra, nga, Sang Hyang Twas...

“Ketika bisa cemburu/marah Sang Hyang Bayu Miri, ketika bisa duduk sendiri Sang Hyang Gana namanya; ketika sudah bisa berdiri sendiri Sang Hyang Tala namanya; ketika mulai bisa berjalan sendiri Sang Hyang Bhuta Gelis namanya; ketika sudah bisa memanggil ibu dan ayahnya Sang Hyang Tutur Menget namanya; ketika mulai mengenal namanya sendiri Sang Hyang Ajalila namanya; ketika bisa berpakaian sendiri Sang Hyang Kumara namanya; ketika sudah mulai bisa memahami perkataan orang dan ucapannya sendiri dinamakan dengan Sang Hyang Jatiwarna; Ketika sudah remaja dinamakan dengan Sang Hyang Twas...

Kutipan tutur Rare Angon tersebut menyiratkan bahwa anak sejak bertemunya sperma dan ovum  hingga dewasa dinamakan dengan Sang Hyang karena itu harus dijaga, dipelihara, dan dimuliakan hidupnya sebagaimana halnya memuliakan-NYA. Tujuannya tidak lain agar kelak mereka mampu melaksanakan swadharmanya sebagai suputra sebagaimana dijelaskan dalam Sarasamuccaya.

III Hindu dan Kekerasan 

Dalam Brahmawidya dikenal konsep tat twam asi, mahavakya yang memiliki dimensi metafisika, fisika, etika sosial, dan landasan humanisme Hindu. Tat twam asi berdasarkan konsep Advaita Vedanta (monisme) memandang manusia secara esensial sama, bukan secara fenomenan sama. Sementara itu, Arthur Schoperhauer pernah menulis ulasan mengenai kitab-kitab suci utama agama Hindu sebagai berikut: “Di seluruh dunia, tidak ada naskah yang demikian indah dan luhurnya dari Upanishad. Kitab tersebut merupakan hiburan kehidupanku, dan akan menjadi hiburan dalam kematianku” (Smith, 1985: 17). Pernyataan Arthur Schopenhauer, tentu bukan tanpa studi yang mendalam. Salah satu ajaran Upanishad yang dimaksud Arthur Schopenhauer adalah tat twan asi, yaitu:

“Sa ya eso’nima aitad atmyam idam sarvam, tat satyam,  sa atma: tat twam asi, svetaketo, iti: bhuya eva ma, bhagavan, vijnapayati iti, tatha, saumya, iti hovaca” (Chandogya Upanishad, IV,8.7).
Artinya:
“Itu yang mana merupakan esensi halus seluruh jagat ini adalah untuk dirinya sendiri. Itulah kebenaran. Itulah Atman. Engkau adalah itu, oh Svetaketu. Mohon junjunganku, ajarkanlah hamba lebih jauh lagi”. “Baiklah sayangku”, kata beliau

Tat twam asi ajaran normatif yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidak seimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan prinsip dasar ajaran tat twam asi. 

Kitab-kitab suci Hindu menganggap kekerasan bertentangan dengan ahimsa. Ahimsa adalah menahan diri terhadap himsa (kekerasan), yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan bagi mahluk yang memiliki kesadaran, yaitu manusia atau binatang. Ahimsa bukan sebuah kondisi fisik, tetapi sikap mental mencintai. Non-kekerasan sebagai suatu kondisi mental berbeda dengan sikap tak melawan. Non-kekerasan tidak memiliki dendam dan kebencian. Dalam bahasa Sangsekerta Himsa, atau kekerasan, berbeda dengan danda, atau hukuman. Himsa melukai orang yang tidak bersalah; sedangkan danda adalah tindakan pengendalian sah terhadap orang yang bersalah. Kekuatan bukanlah peletak hukum, melainkan hamba hukum. Dharma, atau kebenaran, adalah prinsip yang mengatur, dan kekuatan tunduk pada ketentuan-ketentuan. 

Brahmawidya [teologi Hindu] juga mengajurkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) kepada semua makhluk, terlebih hal itu dilakukan kepada manusia. Secara struktural, setiap manusia dalam dirinya memiliki rãga (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), irsya (iri hati), dan moho (bingung) yang harus dikendalikan. Nafsu (raga) sebagai axioma dari larangan lain (lobha, kroda, mada, irsya,  dan moho) menjadi panduan untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih spesifik, yaitu: 
(1) Agnida (membakar)
(2) Raja pusuna (memfitnah, propokator)
(3) Paradaro (memperkosa)
(4) Sastraguna (menggunakan ilmu hitam)
(5) Wisada (meracuni)
(6) Himsa (menyiksa, membunuh).

Secara struktural model axioma tentang kekerasan dapat digambarkan dalam diagramatik 1. Sedangkan fungsi dari masing-masing komponen sad atatayi yang harus dihindarkan tampak pada model 2.

Model 2. : Model Fungsional

Jika asumsi itu digunakan sebagai landasan moral, maka tindakan kekerasan kapada semua makhluk jelas menjadi sesuatu hal yang tabu untuk dilakukan. Wanita sebagai fondasi rumah tangga bukan seharusnya menjadi objek kekerasan, melainkan menjadi sesuatu yang dimuliakan. Sebab, jika wanita sebagai bagian dari kehidupan rumah tangga telah mengalami kesedihan, maka diyakini bahwa keluarga itu akan mengalami kehancuran (MDS,III,57), demikian pula ketika wanita mengalami penderitaan dalam rumah tangga, dan karena itu ia kemudian memutuskan untuk mencari ‘kesenangan’ di luar rumah (kerjanya hanya jalan-jalan), maka hal itu telah menjadi indikasi kuat awal dari ketidak-haromisan rumah tangga sebagaimana dinyatakan pada sloka-sloka berikut.

Brahman sampūjyate rājā
brahman sampūjyate dvijah
bhraman sampūjyate yogi
bhramati stri vinaśyati  (C.N.S., VI,4)

Arti:
Raja yang selalu mengadakan perjalanan dipuja dan dihormati,
Para Pendeta yang mengadakan perjalanan keliling dipuji dan dihormati.
Yogi yang mengembara amat dihormati,
Tetapi kalau wanita keliling dan berjalan-jalan, pasti mengalami kehancuran.

Larangan untuk melakukan tindakan kekerasan semakin jelas dimuat dalam Sarasamuscaya (VI,153) yang menyatakan bahwa menggoda, memperkosa, dan tindakan yang dengan sengaja melakukan usaha curang dapat menyebabkan umur pendek. Naskah asli dari sloka yang menyatakan hal itu adalah sebagai berikut.
Paraadara na gantavyah sarvavarnesu karkicit,
Na hidrsamanayusyam yathanyastrinisevanam (S.S VI,153)

Arti:
Menggoda-memperkosa wanita, sengaja usaha curang
Jangan dilakukan; pun jangan melakukan segala sesuatu
Yang berakibat umur pendek.

Akibat lain dari kebiasaan melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) terhadap seseorang, maka kelak ia akan menjelma menjadi orang penuh dosa, penyakitan, penjahat, suka membunuh, dan pendek umur seperti dinyatakan dalam sloka berikut: Davskula vyadhibahula dasacarah prahasinah, Bhavantyalpayusah papa roduka kasmalodayat (SS, 148). Secara detail bentuk hukuman tentang segala perbuatan yang tidak diharapkan dapat dipahami dalam Agastya Parwa (Sura dkk., 2002: 22-35).


Epilog
Dari uraian di atas, jelas tergambar bahwa kekerasan dalam segala bentuknya adalah sesuatu yang dilarang oleh ajaran agama Hindu. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap perempuan, termasuk memperdagangkannya,  maka tindakan itu tidak saja telah melanggar Rta-hukum alam, tetapi juga telah melanggaran etika sosial dalam rumah tangga. Tindakan kekerasan termasuk di dalamnya kejahatan trafiking dapat menyebabkan kemunduran dalam kualitas reinkarnasi.













Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar