Pemimpin Berwawasan Budaya
![]() |
Sumber Foto: Tribunenews.com |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia
Pemerintah Daerah Bali telah memutuskan untuk pengembangkan Bali sebagai wilayah Pariwisata Budaya yang bersumber dari agama Hindu. Konskuensi logis dari keputusan itu, adalah Bali harus memiliki RTRW yang betul-betul memperhatikan kelestarian aset budaya Bali yang bersumber dari Agama Hindu. Disamping adalah pola yang jelas berpihak pada dimensi budaya yang terkandung dalam rancangan pola pengembangan wilayah Bali, masih diperlukan pimpinan yang memiliki wawasan budaya, yaitu pemimpin yang tidak hanya dapat mengendalikan staf, tetapi yang lebih penting memahami aspirasi mayoritas masyarakat yang dipimpin. Dalam konteks Bali, pemimpin berwawasan budaya menurut hemat saya, setidaknya harus memiliki kriteria;
(1) paham betul tentang pola dasar pembangunan daerah Bali yang sudah memutuskan 'menjual' aset kesenian yang bersumber dari agama Hindu; 'mengeksploitasi' ritus keagamaan Hindu; dan memamerkan adatistiadat masyarakat Bali yang mayoritas Hindu sebagai sesuatu yang aneh di mata wisatawan. Paham disini diartikan tidak saja tahu, akan tetapi memahami dimensi kosmologi orang Bali. Dengan demikian, setiap pemimpin senantiasa akan memperhatikan kondisi objektif daerah Bali, manakala mereka membuat kebijakan publik.
(2) memiliki visi mempertahankan dan mengembangkan budaya dan Agama. Maksudnya, walaupun telah dirumuskan pola dasar pembangunan yang jelas-jelas memperhatikan dimensi budaya, tetapi jikalau pimpinan yang ada kurang memiliki visi atau kemauan mempertahankan kebudayaan, maka dapat diduga aspek-aspek yang akan dikembangkan menjadi sangat marginal, walau diakui yang marginal sekarang menjadi aktual. "Secara ideal budaya objektif semestinya melayani yang subyektif, sehingga akan terjadi pengembangan jiwa". Subjektif tidak seharusnya diartikan sebagai hal yang negatif, melainkan adanya kreativitas. Dengan visi yang jelas, maka pimpinan senantiasa akan membangun dimensi fisik dan non-fisik meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial berdasarkan pada konsep-konsep agama Hindu. Hal ini bukan bermakna primordialisme. Sebab ada banyak konsep Hindu yang mengandung dimensi humanisme, universalisme, demokratik, dan partisipatif, sehingga sekalipun kita memperhatikan dan menerapkan konsepsi Hindu, namun itu tetap sejalan dengan tujuan dan hakikat nasional.
(3) Lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, dari kepentingan sekelompok kecil orang. Kriteria ini sangat penting untuk memberikan pengayoman dan rasa aman di kalangan masyarakat. Terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan kembali aset umum, baik yang berdimensi sosial, terlebih lagi yang berdimensi budaya dan agama.
(4) Memiliki kemauan untuk berdialog dengan semua pihak. Kriteria ini menjadi sangat penting dalam masyarakat yang berbudaya, yang dicirikan oleh kehalusan budhi, kepekaan rasa, dan menghargai tinggi kebersamaan. Pemimpin masyarakat tipe ini seharusnya mengutakan komunikasi dua arah, bukan sebaliknya menonjolkan aspek yang besifat monolog.
Berkaitan dengan banyaknya kasus-kasus adat dan agama di Bali, menurut hemat saya bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya wawasan budaya pimpinan daerah, akan tetapi lebih disebabkan oleh sangat cepatnya pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap tuntutan masyarakat. Secara individual, orang Bali telah mengalami kemajuan ekonomi, pendidikan, dan politik. Ketiga dimensi ini telah menyeret mereka ke dalam pertimbangan-pertimbangan rasional, sehingga acapkali dimensi subyektif (rasa, perasaan seni, kebersamaan) menjadi pertimbangan kedua setelah pertimbangan ekonomi, sosial, dan politik. Semakin heterogennya kepentingan masyarakat, secara objektif semakin sulitnya pimpinan masyarakat mengakomodasi seluruh kepentingan itu. Akibatnya, sekalipun pimpinan telah berusaha memuaskan kepentingan masyarakat, akan tetapi masih terdapat kepentingan yang terabaikan. Disinilah letak, persoalan adat dan agama yang belakangan ini terjadi. Solusinya, menurut saya adalah semua pihak (pimpinan dan masyarakat yang dipimpin) sepatutnya sama-sama mengendalikan diri untuk tetap memelihara kehalusan budhi, dan kebersamaan di atas kepentingan ekonomi dan politik yang bersifat rasional (Naskah dibuat Oktober 1998).