Skip to main content

Pendidikan Berbasis Spiritual


Foto: Koleksi Pribadi
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia

I Pendahuluan
Ketika Auguste Comte meluncurkan Course of Positive Philosophy (1826) ia mengagungkan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang disebutnya sebagai pengetahuan positif. Menurutnya, pengetahuan positif inilah sebagai dasar perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Karena itu, jika manusia ingin maju dan beradab, maka mereka harus mengikuti garis linier perkembangan pikiran manusia menuju berpikir ilmiah atau positif. Manusia tidak boleh berpikir abstrak apalagi berpikir mistik, karena kedua gaya berpikir tersebut hanya ada dalam fase sebelumnya, yakni fase metafisika dan teologis. Itu sebabnya Comte menyatakan bahwa agama hanyalah dasar perkembangan menuju pengetahuan positif dalam fase ilmiah.

Pandangan Comte kemudian menyebar dengan cepat, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora sehingga lahir paradigma positivisme. Paradigma ini dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dari ilmu sosial-humaniora yang masih menggunakan prinsip kerja relativisme dan atau interpretatif. Setidaknya hal itu tampak dari dikotomi istilah yang diskriminatif antara naturalistis versus animistis (Catton,1966), positivis berlawanan dengan interpretatif (Gidden,1967), antara scientifis berlawanan dengan humanistis (Martendale, 1974), dan naturalistis berhadapan skeptis (Wrong, 1976). Perselisihan filosofi itu terus menyebar ke Perguruan Tinggi, merasuki pikiran para pendidik mulai asisten ahli hingga Guru Besar, sehingga di dunia akademispun lahir partai dosen yang mengusung bendera positivisme dengan pendekatan kuantitatifnya di satu pihak, dan partai lain yang mengusung bendera kualitatif dengan subyektivitas dan interpretasinya. 

Ketika akal sehat itu tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan dan banyak ilmuwan Barat  kembali menoleh ke Timur kepada kemuliaan dunia Timur, maka mulailah dikembangkan Emosional and Spiritual Question (ESQ) lawan dari Intelegensia Question (IQ) yang dalam kurun waktu cukup lama, terutama dalam studi psikologi menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan tingkat intelektualitas seseorang. ESQ lebih memberi ruang bahwa kematangan emosional dan kualitas spiritual seseorang menjadi faktor penting dalam menentukan tingkat keberhasilan seseorang dalam memaknai dan menjalani sistem sosial. Kesadaran akan pentingnya ESQ semakin menguat dengan tumbuhnya civilization consciousness  di hampir semua belahan dunia.

Sekalipun perdebatan mengenai arti pentingnya ESQ belum juga berakhir, namun banyak Badan Usaha, lembaga pendidikan, dan pengiat sosial lainnya melaksanakan pelatihan ESQ kepada para komunitasnya sebagai salah satu aspek yang diyakini mampu menunjang prestasi dan keberhasilan.

II. Enam Pilar Pendidikan Berdasarkan Spiritualitas
Menurut pemikiran saya, ada enam hal yang harus diperhatikan ketika mengembangkan pendidikan berbasis spiritual sebagai berikuti.
Pertama, pendidikan itu disamping mampu membuat peserta didik penguasai pengetahuan sesuai kompetensinya, juga mampu memberikan landasan terbangunnya etik kerendahan hati. Kerendahan hati memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan seseorang ketika hidup dan berinteraksi dengan masyarakat.
Kedua, pendidikan yang dibangun dengan nilai spiritualitas harus mampu memberikan nilai tambah terhadap anak didiknya dalam bentuk kemahiran mengelola fluktuasi perasaan dan emosinya. Keseluruhan nilai yang diberikan kepada seorang dapat ditentukan oleh seberapa baiknya seseorang itu mampu mengelola perasaan suka dan dukanya. Ini dapat dilakukan dengan mengengbangkan latihan yoga, japa, semadi dan latihan pengendalian diri lainnya.
Ketiga, pendidikan berbasis spiritual juga seharusnya mampu memberikan penekanan betapa pentingnya melakukan sesuatu atas dasar bhakti. Pendidikan berbasis spiritualitas harus mampu menanamkan keyakinan, bahwa kerja yang dilandasi oleh nilai bhakti memiliki prospektif hasil yang lebih baik dengan kerja yang semata-mata dilandasi oleh motivasi nilai interisik.Kemampuan kita dalam menanamkan nilai itu, akan memberikan tambahan nilai bagi anak didik kita, dengan melihat pekerjaan itu sebagai bagian dari totalitas pengabdian mereka terhadap Tuhan sang Pencipta.
Keempat, anak didik yang ditempa di kampus berbasis spiritual seharusnya memiliki sikap persaudaraan dan toleransi yang baik. Sebab spiritualitas senantiasa mengajarkan tentang persaudaraan dan toleransi. Spiritualitas tidak pernah membedakan manusia satu dengan lainnya atas dasar kelahiran dan sekat-sekat lainnya. Dalam Bhagawadgita (XII:13-16) dijelaskan bahwa seorang baru dapat dikatakan memiliki cinta murni apabila memiliki karakter, pengetahuan dan prilaku sebagai yang dimaksud dalam sloka sebagai berikut. adwestasarwabhutānām, maitrahkarunaewaca, nirmamonirahamkara, sama duhkasukhaksamī [Tidak punya kebencian pada mahluk apapun, ramah dan mempunyai rasa belas kasih, bebas dari keakuan dan akupunya, sama dalam suka-duka dan penyabar].
Kelima, pendidikan berbasis spiritualitas membuka selebar-lebarnya ruang keteladanan yang dilakukan pimpinan dan atau Guru yang harus berpegang teguh pada hukum-hukum svadharma dan meletakkan tekanan keras pada pengendalian indranya (undriyajaya). Guru dan pendidiknya harus mampu berjuang mengalahkan enam musuh, yaitu: loba, sombong, pemarah, pemabuk, dan kurang ajar. Di samping itu pemimpin juga harus mampu menghin dari empat godaan, yaitu berburu, berjudi, minum, dan wanita. Dalam ajaran Niti dikatakan bahwa kebodohan dan ketiadaan disiplin merupakan sebab utama lemahnya kepemimpinan dalam organisasi. Oleh karena itu, pemimpin hendaknya dididik dan dilatih mengendalikan indrianya, agar terbebas dari kebodohan dan kemalasan. Dalam konteks orang bodoh, Hindu memiliki etika social sebagai berikut.
“Orang bodoh dapat diajari dengan mudah, orang terpelajr paham hanya dengan sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan merasa dirinya paling pandai, sehingga Dewa Brahma pun tidak dapat mengajarinya”. Lebih lanjut disebutkan “adalah masih mungkin mengambil permata dari pangkal gigi buaya, begitupun masih mungkin berenang menyebrangi lautan yang ombaknya ganas, masih mungkin mengalungi seekor ular yang marah, akan tetapi sungguh sulit mengubah orang bodoh yang memiliki kebiasaan buruk untuk menjadi baik” (Nitisataka, 2003: 1-3).
Keenam, terkait dengan pentingnya peran Guru dan atau pimpinan, maka harus ada good will di kalangan pimpinan untuk belajar: pengetahuan filsafat (anviksiki), pengetahuan veda (trayi), ekonomi (varta), dan politik (dandaniti). Pengetahuan filsafat dan veda membantu menajamkan dan menyehatkan pikiran pemimpin, sehingga mampu membuat kebijakan menyenangkan hati rakyat. Sedangkan pengetahuan ekonomi (varta), dan politik (dandaniti) memberikan landasan kesejahteraan dan berbagai metode yang relevan untuk mencapai kesejahteraan itu. Hanya dengan mengkombinasikan pengetahuan tadi, seorang pemimpin mampu melaksanakan kepemimpinan mereka dengan penuh kebijaksanaan. Dalam konteks pengetahuan dan kebijaksanaan, saya kutipkan sloka berikut.
Vidya namanarasyarupamadhikampracchannaguptamdhanam,
Vidyabhogakarayasahsukhaharividyagurunamguruh,
Vidyabandhujanovidesagamanevidya para devata,
Vidyarajasupujyatena hi dhanamvidyavihinahpasuh.
Artinya, pengetahuan adalah kecantikan manusia yang paling agung dan merupakan harta yang tersembunyi. Ia adalah sumber dari semua kesenangan, kemasyuran, dan kebahagiaan. Ia adalah guru dari semua guru dan menjadi sahabat di negeri asing. Pengetahuan bagaikan Dewa yang dapat mengabulkan setiap keinginan. Pengetahuanlah yang dihormatioleh para Raja, bukan kekayaan. Oleh karena itu, manusia tanpa pengetahuan yang benar bagaikan binatang”. Pengetahuan yang benar berarti pengetahuan yang mampu membuat diri kita, keluarga, dan lingkungan menjadi sejahtera dan bahagia. Pengetahuan yang benar juga berarti pengetahuan yang diperoleh secara benar.

III. Penutup
Tidak ada sesuatu yang dengan mudah dicapai dalam waktu singkat. Kemantapan dan kemampuan mengelola perasaan sebagai sisi lain dari kematangan kemampuan pengetahuan menjadi salah satu nilai penting yang harus dicapai dalam pengembangan pendidikan berbasis spiritual.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar