Skip to main content

Penelitian Agama dan Budaya dalam Ilmu Pengetahuan

Foto: Koleksi Pribadi

Oleh
Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia
(Makalah, 2015)

I  Pendahuluan 
Dalam tradisi akademik, aktivitas penelitian merupakan tulang punggung dinamika akademik. Kuantitas dan kualitas hasil  penelitian dapat menjadi barometer sebuah institusi hidup, setengah hidup atau mati. 

Kuantitas penelitian [dapat] ditentukan oleh seberapa banyak stimulan pembiayaan yang ada, seberapa kuat minat para akademisi tergugah melakukan penelitian, baik untuk kepentingan pribadi dan jangka pendek, maupun untuk kepentingan pengembangan kualitas diri dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, kualitas penelitian berhubungan dengan seberapa kuat penelitian mampu membangun generalisasi empiris, konsep, dan teori. Dalam dimensi lain, kualitas penelitian berkaitan dengan seberapa logik dan sistematis sebuah teori diverifikasi sebagai bentuk pengujian atas rumusan hipotesis tertentu. Kualitas penelitian juga berkaitan dengan ketepakan memilih perangkat analisis atas masalah yang diteliti. Dengan kata lain, dimensi epistimologis penelitian berkaitan dengan dimensi ontologis. Atas dasar itu naskah ini hendak membahas: bagaimana asumsi dasar penelitian Agama dan seni dilakukan ?

II  Ontologi Penelitian Agama dan Seni

Ontologi perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan budaya dapat dipahami melalui diskursus antara pandangan Hegelian dan emperisme Auguste Comte. Hegelian berpandangan bahwa sumber kebenaran dalam ilmu pengetahuan adalah kebenaran ide-ide, sementara pandangan Comte menyatakan sumber kebenaran adalah kenyataan yang dapat diuji secara nyata. Perdebatan ini kemudian mewarnai pemikiran mengenai perspektif dalam ilmu sosial dan budaya.

Ketika Auguste Comte meluncurkan Course of Positive Philosophy (1826) ia menegaskan pentingnya pengetahuan ilmiah yang disebutnya dengan pengetahuan positif. Pengetahuan ini dianggap puncak perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Karena itu, jika manusia  beserta lembaga yang dikelolanya ingin maju, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia menuju berpikir positif atau ilmiah. Manusia tidak boleh berpikir abstrak apalagi berpikir mistik, hanya ada dalam fase sebelumnya, yakni fase metafisika dan teologis. 

Pandangan Comte kemudian menyebar dengan cepat, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora, sehingga lahir paradigma positivisme, yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dari Ilmu sosial-humaniora yang masih menggunakan prinsip kerja relativisme/ interpretatif/ humanistik/ skeptis. Setidaknya hal itu tampak dari dikotomi istilah yang diskriminatif antara naturalistis versus animistis (Catton,1966), positivis berlawanan dengan interpretatif (Gidden,1967), antara scientifis berlawanan dengan humanistis (Martendale, 1974), dan naturalistis berhadapan skeptis (Wrong, 1976). 

Perselisihan filosofi itu terus menyebar ke Perguruan Tinggi, merasuki pikiran para pendidik mulai asisten ahli hingga Guru Besar, sehingga di dunia akademispun lahir ‘partai’ dosen yang mengusung bendera positivistik dengan pendekatan kuantitatifnya di satu pihak berhadapan dengan ’partai’ lain yang mengusung bendera kualitatif dengan kekuatan subyektivitas dan interpretasinya. Paradigma positivistik dianggap sebagai paradigma kastanya lebih tinggi (American standard) dibandingkan dengan paradigma humanistik-interpretatif disebut dengan “oposisi yang setia” (loyal opposition). 

Kondisi seperti ini telah banyak memakan korban mahasiswa dan kualitas lulusan. Ada mahasiswa yang harus mengikuti minat dosennya meneliti dan menulis sekrepsi/tesis/disertasi dengan paradima positivistik, walaupun ia sendiri menyadari bahwa persoalan yang dibahasnya tidak memerlukan pendekatan paradigma positivistik. Sebaliknya, ada dosen karena keterbatasannya akan pengetahuan mengenai paradigma positivistik, mengharuskan mahasiswa untuk melakukan penelitian skrepsi/tesis/disertasi dengan paradigma humanistik-interpretatif yang ia kuasai. Akibatnya, kualitas output tidak memenuhi standar mutu terbaik, disebabkan sejak awal terjadi pemahaman yang bersifat dikotomis dan masing-masing menganggap benar dan lebih baik. Situasi dikotomis di atas hingga kini masih terjadi sebagai dinamika pergulatan paradigma dalam dunia pendidikan kita.

III  Penelitian Agama dan Budaya: Memulai Dengan Data

Dikotomi diskursus di atas, memberikan gambaran bahwa penelitian agama dan budaya dibangun atas tiga hal, yaitu menerima “pandangan common-sense” mengenai hakikat sifat manusia dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya di atas pandangan itu. Kedua, penelitian agama dan budaya dimulai dari hal-hal yang kelihatan jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari, dan umum. Ketiga, penelitian agama dan budaya mengetengahkan masalah kemanusiaan ketimbang penggunaan dan preskrepsi metodologis yang bersumber pada ilmu alam untuk mempelajari dan menjelaskan masalah kemanusiaan.

Ilmu agama dan budaya lebih mengutakan memperoleh pengertian (understanding) dan penafsiran (interpretative) tentang fenomena sosial, budaya, dan agama. Pandangan ini dilandasi oleh asumsi bahwa “manusia paling tidak pada derajat tertentu, bebas membentuk dunia kehidupan pribadi mereka, malahan dunia social yang lebih luas, dimana mereka menjadi bagiannya (Giddens, 1976:155). Bagaimana mungkin dunia manusia dan keyakinan serta budaya yang demikian kompleks dijelaskan dan malahan disederhanakan ke dalam hukum-hukum ilmu alam. Oleh kerena itu, penelitian agama dan budaya seharusnya diarahkan pada upaya memahami secara holistik dan mendalam melalui penyelesaian terlatih dari manusia sebagai subjek yang aktif. Di samping itu, penelitian agama dan budaya harus ditempatkan sebagai upaya mendalami makna di atas bahasa yang bukan dipahami dan dimengerti sebagai lambing-lambang atau simbol, tetapi sebagai suatu kegiatan praktis. Bagaimana epistimologi penelitian agama dan budaya, dibahas pemakalah kedua.

IV  Penutup
Demikian penjelasan ontologis ilmu pengetahuan agama dan budaya disampaikan dengan harapan ada manfaatnya. Terima kasih kepada bapak Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan makalah ini, dan maaf atas segala keterbatasan.

Daftar Bacaan

CATTON, William,R. Jr. (1966). From Animistic to Naturalistic Sociology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.
Gidden, Anthony. (1967). Rules of Sociological Method: A Positive Craitique of Interpretative Sociologies. New York: Basic Books, Inc. 
Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.
Wrong, Dennis. (1976). Sceptical Sociology. New York: Columbia University.
Yudha,    Triguna. 2014a. “Nilai Agama: Sumber Inspirasi Penelitian dan   Karya Cipta Seni Pertunjukkan”, makalah ISI Denpasar.
------------------. 2014b. “Paradigma Pendidikan  dan Pengembangan  Pendidikan Tinggi Berbasis Agama”. Orasi Ilmiah pada STIAB Jnarakita, Lampung. 
-------------------.2014c. “Sakralisasi Dalam Budaya Nusantara”. Makalah di STHD Klaten. Jateng.
-------------------.2015a. “Membangun Budaya Kreatif Sebagai Landasan Pendidikan Cerdas dan Kompetitif”. Makalah Orientasi Guru Agama SMA se Bali. Kanwil Kemenag Bali.
-------------------.2015b. “Pembangunan Karakter dan pembangunan diri”. Makalah sosialisasi Pembangunan Karakter di kalangan Mahasiswa PTS Bali, NTB, dan NTT. Ristekdikti. 
-------------------.2015c. “Membentuk Dosen Hindu Berdaya Saing Global”. Makalah STAH Negeri Tampung Penyang. Palangkaraya

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar