Pengembangan Pendidikan Tinggi Berbasis Agama
![]() |
Foto: Koleksi Pribadi |
Oleh
Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, M.S
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
(17 Oktober 2014)
I Pendahuluan
Pada kesempatan ini, pada forum yang amat terhormat ini saya diminta Bhante Badrayana untuk berbicara mengenai “Paradigma pendidikan dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Berbasis Agama” sebuah tematik dalam rangka meningkatkan insan Indonesia yang cerdas, unggul, dan kompetitif. Tema yang dipilih menunjukkan bahwa pimpinan STIAB Jinarakkhita telah secara aktif ikut memikirkan masa depan perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Agama. Pemilihan terhadap tema ini juga dapat dipahami sebagai usaha membangun kesadaran baru bahwa di masa depan pendidikan yang cerdas, unggul, dan kompetitif menjadi salah satu syarat dasar untuk mendorong dinamika bangsa. Tanpa pendidikan dalam arti luas, semuanya akan menjadi ‘gelap’ dan tidak berarti apa-apa. Hanya saja yang perlu dicatat adalah pendidikan yang cenderung positivistik, deterministik, dan naturalistik tanpa diimbangi dengan pembangunan budaya kreatif, tidak akan pernah menghasilkan output yang balance. Sebaliknya, pendidikan yang hanya menekankan budaya kreatif tanpa mendorong tingkat kecerdasan, itu juga belum lengkap. Bagaimana sebaiknya mengembangkan insan Indonesia yang cerdas, unggul, dan kompetitif sekaligus memiliki budaya kreatif dibangun dalam Pendidikan berlatar belakang Agama ?
II Positivisme Versus Humanisme Hingga Insan Kreatif
Hadirin yang saya muliakan,
Ketika Auguste Comte meluncurkan Course of Positive Philosophy (1826) ia mengagungkan dan menegaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang disebut Comte sebagai pengetahuan positif. Menurutnya, pengetahuan positif inilah sebagai dasar perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Karena itu, jika manusia beserta lembaga yang dikelolanya ingin maju dan beradab, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia menuju berpikir ilmiah atau positif. Manusia tidak boleh berpikir abstrak apalagi berpikir mistik, karena kedua gaya berpikir tersebut (abstrak dan mistik) hanya ada dalam fase sebelumnya, yakni fase metafisika dan teologis. Itu sebabnya Auguste Comte menyatakan bahwa agama hanyalah dasar perkembangan menuju pengetahuan positif dalam fase ilmiah.
Pandangan Auguste Comte kemudian menyebar dengan cepat, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya studi-studi agama), sehingga lahir paradigma positivisme. Paradigma ini dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dari Ilmu sosial-humaniora yang masih menggunakan prinsip kerja relativisme/ interpretatif/ humanistik/ skeptis. Setidaknya hal itu tampak dari dikotomi istilah yang diskriminatif antara naturalistis versus animistis (Catton,1966), positivis berlawanan dengan interpretatif (Gidden,1967), antara scientifis berlawanan dengan humanistis (Martendale, 1974), dan naturalistis berhadapan skeptis (Wrong, 1976).
Perselisihan filosofi itu terus menyebar ke Perguruan Tinggi, merasuki pikiran para pendidik mulai asisten ahli hingga Guru Besar, sehingga di dunia akademispun lahir ‘partai’ dosen yang mengusung bendera positivistik dengan pendekatan kuantitatifnya di satu pihak berhadapan dengan ’partai’ lain yang mengusung bendera kualitatif dengan kekuatan subyektivitas dan interpretasinya. Paradigma positivistik dianggap sebagai paradigma kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan paradigma humanistik-interpretatif. Kondisi seperti ini telah banyak memakan korban mahasiswa dan kualitas lulusan. Ada mahasiswa yang harus mengikuti minat dosennya meneliti dan menulis sekrepsi/tesis/disertasi dengan paradima positivistik, walaupun ia sendiri menyadari bahwa persoalan yang dibahasnya tidak memerlukan pendekatan paradigma positivistik. Sebaliknya, ada dosen karena keterbatasannya akan pengetahuan mengenai paradigma positivistik, mengharuskan mahasiswa untuk melakukan penelitian skrepsi/tesis/disertasi dengan paradigma humanistik-interpretatif yang ia kuasai. Akibatnya, kualitas output tidak memenuhi standar mutu terbaik, disebabkan sejak awal terjadi pemahaman yang bersifat dikotomis dan masing-masing menganggap benar dan lebih baik. Situasi dikotomis seperti diuraikan di atas hingga kini masih terjadi sebagai dinamika pergulatan paradigma dalam dunia pendidikan kita.
Hadirin yang terhormat,
Morieux and Tollman (2014) dalam Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated, memprediksi bahwa kehidupan manusia di dunia, baik dalam bidang sosial, budaya, agama, dan pendidikan akan mengalami peningkatan kompleksitas sebanyak 35 kali dalam kurun waktu antara 20-30 tahun. Dengan kehidupan yang semakin kompleks, maka diperlukan model pendidikan yang mampu memberi ruang lebih luas terhadap kemampuan anak didik agar mereka kelak dapat menyiapkan diri untuk mampu menyesuaikan diri dan memecahkan berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Salah satu aspek yang dianggap memiliki peran dalam memberi bekal agar anak didik mampu menyiapkan dirinya menghadapi problem hidup yang semakin kompleks dan kompetetif adalah sikap kritis dan peningkatan keterampilan.
Berpikir kritis diyakini sebagai axioma dari evulusi pengetahuan manusia seperti dinyatakan dalam Critical Thinking. Menurutnya abad 21 akan diwarnai oleh kemampuan menguasai dan keterlatihan manusia berpikir kritis. Era agraris berganti menjadi era indrustri, dan digeser oleh era komunikasi, dan pada akhirnya abad 21 era komunikasi diganti oleh kreativitas pengetahuan. Mereka yang memiliki tanah sawah-kebun, pabrik, dan media akan digeser oleh kreativitas pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Memilki banyak uang, berbagai asset industri tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal jika tidak dibarengi dengan penguatan pada pengetahuan dan keterampilan. Dengan pernyataan singkat, pengetahuan adalah kekayaan utama dan Tertinggi (Vidya dhanam Sarvadhana Pradhanam). Malahan hasil penelitian University of Collage London yang dimuat dalam Jurnal Brain, Behavior, and Imunity menemukan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ukuran telomer dalam struktur NDA (Deoxybro Nucleic Acid) menjadi lebih panjang yang semakin besar perlindungannya terhadap berbagai efek penuaan.
Di sisi lain, ketika akal sehat (rasionalitas) tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan hidup dan banyak ilmuwan Barat kembali menoleh ke Timur kepada kemuliaan dunia Timur, maka mulailah dikembangkan Emosional and Spiritual Question (ESQ) lawan dari Intelegensia Question (IQ) yang dalam kurun waktu cukup lama, terutama dalam studi psikologi menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan tingkat intelektualitas seseorang. ESQ lebih memberi ruang bahwa kematangan emosional dan kualitas spiritual seseorang menjadi faktor penting dalam menentukan tingkat keberhasilan seseorang dalam memaknai dan menjalani sistem sosial. Kesadaran akan pentingnya ESQ semakin menguat dengan tumbuhnya civilization consciousness di hampir semua belahan dunia sebagaimana diintrodusir oleh Hutington dalam The Clash of Civilization and the Remarking of World Order (1993).
Hadirin yang saya muliakan,
III. Bagaimana Perguruan Tinggi Agama Harus Dikembangkan ?
Perdebatan dalam paradigma pendidikan sebagaimana diuraikan terdahulu, memberikan panduan kepada Pemerintah dan atau Pengelola Lembaga Pendidikan untuk lebih cermat dalam merencanakan, melaksanakan, dan pengembangkan institusi pendidikan yang dikelola melalui langkah sebagai berikut.
Pertama, lembaga pendidikan Tinggi Agama yang dikelola tidak terpaku pada salah satu positivistik-naturalistik-scientifik atau humanistik-interpretif-animistik-skeptis, melainkan harus memberi ruang seluas-luasnya kepada pengembangan kedua-duanya secara sinergis. Banyak di antara para pengelola Pendidikan Agama berargumentasi “karena bidang ilmu yang dikembangkan dalam kategori humaniora, oleh karena itu teori dan metodelogi yang diajarkan sebatas pada teori dan metodologi humanistik. Kurikulum dan silabus sama sekali tidak memberi ruang pada pengembangan teori dan motodologi paradigma positivistik. Tenaga pengajar dan mahasiswa hanya tahu satu perspektif pengetahuan, dan ini lebih berbahaya lagi kalau apa yang mereka ketahuan dan kuasai dianggap sebagai satu-satunya atau kebenaran absolut dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama, harus sebanyak mungkin memberi ruang pada penguatan keterampilan Tri Dharma. Dibandingkan dengan Pendidikan Tinggi Umum, pengalaman yang ada untuk meningkatkan mutu dan keterampilan para tenaga eduktif dalam bidang Tri Dharma harus diakui masih sangat kurang. Oleh karena itu, dosen harus dimotivasi untuk sesering mungkin bertukar pikiran-bertukar naskah akademik, dan bila perlu bertukar pengalaman mengajar di Perguruan Tinggi lain dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu semester. Dengan cara seperti ini, setiap tenaga edukatif akan termotivasi untuk menyiapkan dirinya menjadi tenaga pengajar yang terampil. Research luar negeri dengan pembiayaan short course dari Pemerintah, merupakan cara yang efektif dalam meningkatkan keterangan meneliti bagi para dosen di Perguruan Tinggi Agama. Dengan kekuatan sumber dana yang relatif baik, saya berkeyakinan para pengelola Pendidikan Tinggi Agama Buddha tidak berkeberatan untuk mengalokasikan dana untuk memberi kesempatan kepada para tenaga edukatifnya melaksanakan penelitian diluar negeri, di samping menguatkan publikasi hasil penelitian juga berguna untuk meluaskan wawasan dan jejaring sosial Lembaga Pendidikan yang dikelola. Perluasan jejaring akan memperluas pula informasi mengenai hasil penelitian-publikasi dan pengabdian yang pernah dilaksanakan oleh lembaga.
Ketiga, kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan harus didorong ke arah yang tertinggi. Disamping untuk meningkatkan kopetensi juga untuk memberi pembobotan pada kualitas lembaga. Pemerintah wajib memfasilitasi peningkatan kualifikasi pendidikan dosennya, baik negeri dan swasta secara bertahap dan berencana. Hanya dengan rencana yang sistematik dan berkelanjutan, pembinaan dan pengembangan lembaga pendidikan Tinggi Agama bisa dipacu untuk menyiapkan anak didik yang cerdas, unggul, dan kompetitif serta siap bersaing dalam dunia yang semakin kompleks.
IV. Penutup
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada forum terhormat ini, selamat Dies Natalis ke .... dan Wisuda Sarjana ke semoga lembaga ini semakin mampu menjadi media pencerdasan generasi muda Buddha dan membina moral serta budi pekerti yang unggul. Terima kasih dan mohon maaf atas segala keterbatasannya.
(Orasi Ilmiah pada Sekolah Tinggi Agama Buddha, Jinarakkhita Lampung)
Daftar Bacaan
CATTON, William,R. Jr. (1966). From Animistic to Naturalistic Sociology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.
Gidden, Anthony. (1967). Rules of Sociological Method: A Positive Craitique of Interpretative Sociologies. New York: Basic Books, Inc.
Huntington, Samuel. 1993. The Clash of Civilization and the Remarking of World Order.
Martindale (1974) Martindale, Dons. 1974. Sociological Theory and The Problem of Values. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Morieux and Tollman. 2014 Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated.
Wrong, Dennis. (1976). Sceptical Sociology. New York: Columbia University