Skip to main content

Radhakrishnan dan Beberapa Pemikirannya


Sumber Foto: History Contributions and Achievements
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna.
Universitas Hindu Indonesia
(Asram Gandhi, 2005)

Pertama-tama ijinkan saya menyampaikan terima kasih kepada sdr Agus Indra Udayana sebagai pimpinann Asram Gandhi, atas undangannya untuk berbicara mengenai Radhakrishnan dan pemikirannya. Saya akan mencoba menyampaikan sosok Radhakrishnan dan pemikirannya sebagai berikut.
I. Mengenal Radhakrisnan
Radhakrishnan adalah salah seorang pemikir Hindu yang menonjol di abad 20-an. Dia hidup sezaman dengan Tagore dan Gandhi. Jika Tagore mengekspresikan budaya religius kehinduan dengan syair-syair, prosa, dan bahkan lewat musik, Radhakrishnan lahir dari suatu disiplin akademis yang ketat sebagaimana halnya yang berkembang dalam tradisi barat. Sementara itu, Gandi adalah sosok yang telah menghasilkan karya-karya melalui perenungan mendalam tentang keyakinan agama yang dimiliki berdasarkan pengalaman dengan kehidupan sehari-hari. Di antara ketiganya terdapat persamaan, yaitu: pertama, pemikiran mereka lahir dari pergolakan tradisi Hindu dengan ragam aliran yang ada dalam Hindu itu sendiri dan dengan keyakinan-keyakinan dari Barat (Kristen). Kedua, perasaan senasib dan sepenanggungan di bawah jajahan Inggris.

Dalam dunia akademis, Radhakrishnan dikenal dengan karya-karyan Hindu yang telah diinterpretasikan dan dijelaskan dengan menggunakan idiom-ideom filsafat Barat. Itu sebabnya Radhakrishnan sering dijuluki “juru bicara dari Timur”. Beberapa buku Radhakrishnan yang terpenting adalah: 
1) Contemporary Indian Philosophy.
2) Religion and Society
3) The Hindu View of Life
4) An Idealist View of Life
5) The Bagawadgita
6) Mahatma Gandhi: Essays and Reflections on His Work
7) The Philosophy of Rabindranath Tagore
8) The Philosophy of The Upanisads.
9) Eastern Religions and Westers Thought
10) East and West in Religion

II  Pentingnya Pengalaman Spiritual
Radhakrihnan menyadari betul bahwa dalam masyarakat modern akan terjadi penonjolan ilmu pengetahuan, semangat kemanusiaan, dan pandangan hidup sekulernya. Akibatnya, terjadi kekosongan jiwa dan berbagai bentuk ketegangan. Pendidikan yang pada mulanya memberikan fokus kepada pendidikan mental, kepatuhan, afeksi, dan penghargaan, sekarang hanya menekankan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kedaulatan negara. Radhakrihnan menyatakan “kita harus menyentuh kembali jiwa umat manusia, karena jiwa membentuk dan menggerakkan raga. Oleh karena itu, kita harus menumbuhkan sikap mental, kebiasaan, dan perasaan yang memungkinkan kita untuk membangun komunitas dunia. Lebih lanjut ia menyatakan: “sepanjang seorang manusia  berada dalam penjara, Aku tidak bebas, dan sepanjang suatu komunitas diperbudah, Aku menjadi milkinya”.

Menurut Radhakrishnan, Hinduisme mengadopsi cara berpikir rasional dalam hal agama. Ia mencoba mempelajari kenyataan hidup manusia di dalam spirit ilmu pengetahuan, bukan hanya kenyataan yang tampak, melainkan kenyataan yang ada di dalam hidup. Menurut Radhakrishnan, agama Hindu dan Budha adalah agama yang menitik beratkan pada pengalaman, bukan menekankan pada objek [suatu sikap iman dan tingkah laku yang diarahkan pada suatu kekuatan tanpa pengalaman]. Oleh karena itu, agama yang benar, dapat hidup tanpa konsepsi ketuhanan tertentu, tetapi tidak dapat hidup tanpa pembedaan antara spiritual dan yang profane, antara yang sakral dan sekuler. Sebab dalam sistem kebertuhanan yang inti bukan adanya Tuhan, melainkan kekuatan untuk mengubah manusia. Hal ini dapat dipahami pada ajaran Samkya  dan Jaina yang tidak mengakui Tuhan, tetapi mengakui kesadaran spiritual. Demikian juga halnya dengan Bodhi yang telah diraih Budha dan pengikutnya adalah pengalaman. Aspek penting yang dinyatakan oleh Radhakrishnan tersebut di atas, sesungguhnya telah dikaji semenjak zaman Yunani, Philostratus mengungkapkan melalui ucapan Apllonius dari Tyana bahwa: “segala harapan hidup adalah untuk dekat dengan Tuhan, tetapi hanya Hindu yang dapat melakukannya”.

Radhakrishnan sangat menggarisbawahi pentingnya pengalaman spiritual, karena itu ia menegaskan: “mengatakan bahwa Tuhan itu ada berarti pengalaman spiritual itu dapat direngkuh, dan pengalaman diri merupakan bukti utama akan kenyataan Tuhan”.  Pandangan Radhakrishnan seperti ini sesungguhnya merupakan kritik terhadap paham rasionalisme ortodok yang memberi arti pada pentingnya akal budi. Bagi Radhakrishnan, penemuan diri bukanlah hasil analisis pemikiran intelektual, melainkan merupakan pencapaian integritas manusia secara menyeluruh dengan alam dan Kita mengelilingi semesta ini hanya untuk kembali pada diri kita, karena diri yang universal ini setiap saat dikaburkan oleh naik turun dan tidak jernihnya keadaan psikologis serta dikecoh oleh diri yang empiris [bagian dari sisi objek, kesenangan dan kesedihan, gemberi ketika dipuja, marah ketika dikritik, memuji diri sendiri]. Mundaka Upanisad menganalogkan uraian itu dengan “dua burung yang hidup dalam satu pohon. Yang satu [diri yang empiris] memakan buah manis dan yang lain [diri yang universal] hanya melihat, tidak memakannya. Radhakrishnan menyatakan: “Aku, Atman, Diri Yang Universal, yang sepenuhnya sederhana merupakan trinitas transenden, yaitu kenyataan (sat), kesadaran (cit), dan kemerdekaan (ananda), sebagai kebenaran hidup yang sekarang masih asing di dalam kesadaran biasa.

III  Idola Spiritual
Menurut Radhakrishnan hanya ada satu idola untuk manusia, yaitu menjadikan dirinya manusia yang manusiawi dan sempurna (47). Itu hanya dapat dicapai melalui pencaharian diri, pengetahuan diri, dan pemenuhan diri. Penguasaan dan kemampuan pengendalian diri, kebijaksanaan yang mendalam, sikap luhur, kesederhanaan dan kelembutan jiwa, serta kemanusiaan yang mendalam mempertegas bahwa takdir manusia adalah untuk mengenal dirinya sendiri dan selanjutnya bisa mengenal kehidupan universal lebih mendalam, yang di dalamnya manusia menjadi suatu bagian integral. Karena itu tegasnya, kesempurnaan hanya dapat dicapai melalui penaklukan diri sendiri, semangat yang kuat dan kecermatan, serta persatuan dan kesatuan persaudaraan dalam kehidupan. Dalam konteks itu, Radhakrishnan menyitir Baghawadgita yang menyatakan “bahwa dunia ini memiliki akan di atas, yaitu langit, sedangkan cabang-cabangnya menyebar kea rah bumi”. Manusia memiliki asal usul dari dunia yang tidak kasat mata meskipun kehidupannya menjadi bagian dari dunia yang nyata.
Dalam konteks krisis yang melanda dunia manusia sekarang disebabkan oleh krisis yang parah dalam kesadaran manusia, suatu ketertinggalan dari keutuhan hidup organik. Terdapat suatu tendensi mengabaikan hal spiritual dan mengagungkan intelektual. Sekalipun kejayaan dunia intelektual sangat mengagumkan, kegagalannya tidak kalah dasyatnya. Beberapa unsur kehidupan yang lebih halus telah terlepas dari jaring-jaringnya, yang sekarang hanya dimiliki oleh petani-petani sederhana yang buta huruf, yang hidup lebih alami, dan menjalani konsep kehidupan anismistik. Agama semakin mengalamai degradasi bersamaan dengan dimanfaatkannya agama sebagai ‘tunggangan’ politik dan material.
Para pemikir Hindu dan Budha tanpa menggunakan nama apapun menyatakan bahwa awidya atau ketidaktahuan merpakan sumber penderitaan, sedangkan widya atau kebijaksanaan, bodhi atau pencerahan merupakan sumber keselamatan. Yang dimaksud dengan widya adalah pengetahuan intelektual yang menghasilkan kesadaran diri dan kemauan diri.
Dalam situasi seperti sekarang, ketika manusia mengalami perpecahan di dalam kehidupan dan berbagai pelanggaran terhadap norma-norma, menurut Radhakrishnan pada dasarnya dapat dirunut pada intelektualitas manusia, yaitu cara bagaimana ia mengetahui dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain. Pertama, ia berpikir dan membayangkan suatu masa depan yang tak menentu yang membangkitkan harapan dan kecemasan, misalnya ketika manusia sadar akan kematian yang tak bisa dihindari, manusia mencoba mencari jalan agar dapat mengatasi kematian – meskipun manusia menyadari dilahirkan dari proses kosmik, ia merasakan dirinya bermusuhan dengan kosmik, dan alam yang menjadi sumber keberadaannya dipandang sebagai ancaman akan eksistensinya. Kedua, sikap naïf manusia dalam keesaan dengan semesta alam dan rasa persaudaraan yang utama telah hilang. Ia tidak mau menundukkan diri secara sukarela kepada penataan rasional masyarakat, ia menjadi sebuah jiwa yang tamak dan mengambil sikap bertahan. Ketiga,  pengetahuan tentang kematian dan pengetahuan tentang isolasi telah menumbuhkan perpecahan di dalam. Akibatnya, manusia terjatuh ke dalam fragmentasi, ia tidak lagi menjadi jiwa yang bebas. Malahan dunia ini dianggap sebagai hal yang penuh bhaya, himsa, peperangan, dan rumor tentang perang. Tragedinya bahwa kita tidak menyadari kebodohan kita, dan semakin parah kebodohan kita, semakin kurang peka kita terhadapnya” (60).
Kelepasan yang sempurna dari segala bentuk ketakutan hanya dapat dicapai melalui jnana atau kebijaksanaan, suatu kebenaran yang melenyapkan ketakutan kita, yaitu agama kebebasan, yang mampu membangkitkan keyakinan bukan ketakutan, spontanitas bukannya formalisme, kehidupan yang melimpah bukan monoton dari pikiran yang bersifat mekanis dan dogmatis. Dengan mengetahui berkah Brahman, maka akan terbebas dari rasa takut, dan dengan mengenal dirinya sendiri saja, berarti ia telah melampaui kematian. 
Menjadi religius berarti harus memahami realitas jiwa-jiwa yang lain. Hukum kasih dipatuhi bukan karena ia diketahui atau dikehendaki, melainkan karena kehidupan yang telah terungkap secara lebih penuh terletak pada kasih itu sendiri. Dengan mengutip Upanisad, Radhakrihnan menyatakan: “yasmin sarvani bhutani atmaivabhud vijanatah” yang artinya siapa yang menyadari diri secara universal tentu akan melihat semua sesama manusia sebagai anggota kerajaan abadi. Oleh karena itu, agama murni adalah abhaya   atau terbebas dari ketakutan, pengungkapan diri dalam harmoni, keseimbangan dan kesucian yang sempurna antara tubuh dan jiwa, tangan dan otak, serta ahimsa. Abhaya dan ahimsa – kesadaran dan simpati – kebebasan dan kasih merupakan dua cirri istimewa teori dan praktik dalam agama.
Hidup ini merupakan anugrah agung dan menawarkan kemungkinan kebahagiaan bagi siapapun. Tak pernah ada generasi yang mendapatkan kesempatan yang demikian besar. Namun, berkah ini menjadi sia-sia karena adanya gangguan yang merorong kita, yaitu permusuhan dan kebencian, kesombongan dan ketamakan, kebodohan dan keakuan yang besar. 
Cara menuju pertumbuhan spiritualitas yang baik adalah melalui peningkatan impersolitas dan penyatuan diri pribadi dengan sesuatu yang lebih besar daripada kedirian kita. Doa, pemujaan, meditasi, dan juga filsafat, seni ataupun sastra sesungguhnya membantu kita membangkitkan dan memurnikan keberadaan yang paling dalam dan mengarakannya agar terhubung dengan yang supreme. Secara kasar terdapat tiga tahapan yang tidak berurutan, yaitu pemurnian [via purgative], yaitu persiapan etika, konsentrasi [via contemplative], yaitu keteguhan dan konsentrasi, dan identifikasi [via unitiva].

III. Penutup
Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada forum ini, semoga kita dapat memetik inti sari pemikiran Radhakrisnan untuk mencerahkan kehidupan kita sebagai umat Hindu.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar