Skip to main content

Wanita Masa Kini di Antara Himpitan Kultural


Sumber Foto: Bali Tribune



Oleh:

Ida Bagus Gde Yudha Triguna
Universitas Hindu Indonesia


Di mana wanita dihormati
Di sanalah para Dewa-Dewi merasa senang
Tetapi di mana mereka tidak dihormati
Tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala
(Manawa Dharmacastra, III.56)


I. Pendahuluan

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, jumlah wanita Indonesia yang bekerja sebanyak 25.788.997 jiwa. Terjadi peningkatan sebesar 52 persen bila dibandingkan dengan tahun 1980 dimana jumlah wanita yang bekerja sebanyak 16.934.590 jiwa. Angka itu akan semakin besar, jikalau (wanita yang be) kerja didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan oleh seorang wanita baik untuk subsistensi; untuk dipertukarkan atau diperdagangkan; untuk menjaga kelangsungan keturunan dan kelangsungan hidup keluarga (Moore, 1988). Dengan kata lain,  data di atas semata-mata dihitung berdasarkan atas konsep kerja produksi,  dikotomi lain dari konsep kerja reproduksi.

Kenaikan jumlah wanita yang bekerja ini disamping disebabkan pertambahan penduduk, juga disebabkan karena bertambahnya kesempatan kerja, baik secara ekonomis maupun sosiologis serta meluasnya keinginan bekerja di kalangan kaum wanita (Soemarjan dalam Kebayantini, 1998: 3). Semakin sempitnya tanah pertanian ikut juga mendorong tenaga kerja wanita ke luar dari sektor pertanian, dan mereka masuk ke sektor publik seperti perdagangan, industri, dan jasa (Oey, 1984).

Bertambahnya wanita yang bekerja di luar rumah atau di sektor publik,  tidak dapat dilepaskan dari munculnya berbagai gerakan emansipasi wanita di dunia internasional. Hal itu dapat dilacak dari terbitnya karya Ester Boserup Women’s Role in Economic Development (1970) yang memberikan inspirasi sekaligus gambaran secara komprehensif tentang kedudukan dan peranan wanita di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ia menunjukkan bahwa peranan wanita pada ketiga area itu sangat beranekaragam dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Hubungan antara sistem perkawinan, tipe-tipe produksi pertanian, serta pembagian kerja seksual menjadi dasar terjadinya perbedaan kedudukan dan peranan. Dalam bagian lain tulisannya,   ia juga menunjukkan bahwa kolonialisme khususnya di Afrika telah mendorong terjadinya perubahan kedudukan dan peranan kaum wanita dari arena produksi pertanian ke arena domistik, disebabkan oleh ideologi Barat. 

Ide untuk memajukan kedudukan dan peranan wanita kemudian semakin menggelora, ketika lahir Commission on the status of Women bersama dengan Social Development Commission pada tahun 1972 untuk mengusulkan diselenggarakannya pembicaraan berbagai kasus Women-in-Development (WID) dalam setiap pertemuan internasional yang membicarakan persoalan pembangunan di dunia ketiga. Beberapa inti pandangan penganut WID dapat disebutkan antara lain: (1) proses pembangunan dan perubahan sosial yang cepat telah menyingkirkan wanita dari pusat-pusat kegiatan ekonomi; karena itu (2) setiap tahap dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan harus dipikirkan bagaimana mengintegrasikan wanita ke dalam proses pembangunan; (3) dengan cara menciptakan kegiatan dan ativitas khusus bagi wanita yang dapat membantu mereka memperoleh penghasilan sendiri; dan (4) menghilangkan berbagai rintangan yang menghambat proses integrasi wanita dalam pembangunan, yaitu dengan menghilangkan bias laki-laki yang terdapat di tingkat pengambilan keputusan ataupun pelaksanaan proyek atau kegiatan; dan jika mungkin menempatkan para wanita dala posisi kunci pada lembaga pemerintahaan dan lembaga dana internasional dan nasional (Ratna Saptari, 1997:84). Dorongan itu kemudian  melahirkan “Dasa Warsa PBB untuk Wanita” (1975-1985). 

Terdapat beberapa alasan yang mendorong wanita bekerja di sektor publik,  yaitu: pertama, bagi golongan yang tidak mampu, wanita bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya (Rahardjo, 1985; Astrid, 1975). Kedua, bagi golongan menengah ke atas, wanita bekerja adalah untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktualisasi diri (Ihromi, 1987). Apapun motif wanita bekerja, di dalamnya secara implisit senantiasa dijumpai adanya keinginan wanita akan pengakuan dan aktualisasi diri dalam lingkungan sosial dan kultural tertentu. Apa yang dimaksud warisan kultural dan bagaimana mereka mengaktualisasi diri dalam lingkungan kultural yang terwariskan itu; keduanya akan dicoba dibahas dalam forum terhormat ini.


II  Kodrat dan Warisan Kultural

Seorang ahli filsafat Barat John Stuard Mill dalam The Subjection of Women (1869) menyatakan bahwa wanita cendrung tidak suka memaparkan tentang dirinya, disebabkan status mereka umumnya ditempatkan lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Wanita cendrung ingin menyembunyikan dirinya  (mystique) sehingga laki-laki amat sulit menafsirkan, memahami dan mengerti wanita. Penelitian yang dilakukan oleh C.G. Jung maupun ahli psikoanalisa Freud tentang klasifikasi LOGOS (prinsip maskulim-animus spirit dengan ciri competence, logika berpikir, kuasa, prestasi terukur dengan orientasi ‘agentic’ atau achievement) dan EROS (prinsip feminin-anima spirit dengan ciri relatedness, receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup dengan orientasi communal atau memelihara hubungan antar manusia (Saparinah Sadli, 1988: 7) menunjukkan bahwa ada perbedaan penilaian antara wanita dan laki-laki.

Munculnya klasifikasi biner (binary opposition) sebagaimana dinyatakan Jung maupun Freud, sesungguhnya lahir dari realitas objektif tentang perbedaan antara wanita dan laki-laki secara biologis. Sejak dilahirkan, wanita berinteraksi dengan lingkungan alam, sosial, dan kultural dengan ketubuhan yang khas wanita. Di dalamnya melekat sifat-sifat lemah lembut, halus budi, dan keengganan menonjolkan diri.  Sementara itu, laki-laki disifatkan dengan manusia yang cendrung agresif, berani, mampu memimpin dan memiliki fisik yang kuat. Klasifikasi ini kemudian disosialisasikan ke dalam berbagai sistem sosial dan kultural, hingga muncul ideologi gender, yaitu segala aturan, nilai, streotip yang mengatur hubungan antara wanita dan laki-laki, melalui setting identitas feminin dan maskulin. 

Alice Schlegel, seorang antropolog menggunakan istilah gender meaning untuk menyebutkan ideologi gender dengan menyatakan “bagaimana wanita dan laki-laki masing-masing dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Ia kemudian membedakan antara pengertian umum, yaitu wanita dan laki-laki  didefinisikan dalam arti yang abstrak, berdasarkan ciri-ciri khusus yang diberikan kepada mereka atas dasar jenis kelamin. Beberapa contoh dari terapan konsep gender umum yang dapat dijumpai di berbagai wilayah Asia Tenggara, misalnya (1) adat atau tradisi pemingitan (seclusion); (2) tradisi pengucilan (exclusion) dari bidang-bidang tertentu; dan (3) tradisi feminisme wanita, seperti rendah hati dan ketaatan (modest dan submissive), yang disosialisasikan dalam bentuk keterampilan tangan (nimble fingers) yang diajarkan dalam lingkungan keluarga inti (nuclear family). Sedangkan pengertian gender dalam arti khusus diberikan kepada mereka menurut lokasi tertentu dalam struktur sosial atau dalam bidang kegiatan spesifik. Baik dalam pengertian umum maupun khusus, gender berarti keadaan di mana  individu yang lahir secara biologis, sebagai laki-laki dan wanita memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan wanita melalui maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai atau sistem simbol masyarakat bersangkutan. Jadi, perbedaan itu bukan disebabkan karena perbedaan biologis semata.

Perbedaan yang terdapat dalam paham gender tersebut di atas bersifat simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tetapi tidak selalu identik dengannya. Sebab, seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut prokreasi, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. 

Kemampuan manusia mengklasifikasi lingkungan alam, sosial, dan budaya menurut simbol yang dibakukan dalam tradisi maupun sistem budaya telah berjalan cukup lama. Karena proses simbolisasi ini sangat terkait dengan sistem budaya maupun struktur sosial setiap masyarakat, karena itu perbedaan gender tidak selalu bertumpu pada perbedaan biologis. Terdapat banyak fungsi pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga tidak selalu dikerjakan oleh wanita atau seorang ibu rumah tangga. Sebaliknya, ada banyak bukti bahwa wanita juga terlibat dalam sektor publik, misalnya Suku Kung di Afrika dengan pekerjaaan berburunya; wanita Aborijin di Australia bekerja meramu dan membunuh binatang kecil; atau sebagian wanita Bali pengangkut batu bahan bangunan.

Laki-laki yang dianggap memiliki dorongan seksual  tinggi yang  sewaktu-waktu dapat meletup, karena itu memerlukan penyaluran formal dan teratur dengan istri dan atau WIL, dan itu merupakan jalan keluar untuk menghidari frustrasi sebagai kelanjutan agresivitas laki-laki. Apabila tampaknya kaum laki-laki mempunyai dorongan seksual yang lebih besar ketimbang wanita, apakah karena inheren laki-laki demikian  atau karena masyarakat melalui berbagai institusi melembagakan streotif  tersebut ?

Menurut hemat saya masyarakat Indonesia masih memandang persoalan itu secara streotif, karena secara umum dapat dikatakan tak ada sangsi sosial berarti bagi peran laki-laki yang dominan dalam tingkah laku seksual, tetapi sebaliknya terdapat banyak sangsi sosial yang sangat ketat apabila wanita menunjukkan nafsu seksualnya secara terang-terangan. Artinya, masyarakat Indonesia masih membenarkan dan mendukung streotip itu, dan arti lainnya adalah bahwa seks itu bukanlah gejala mandiri yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

Genderisasi  wanita sebagai refleksi himpitan kultural  tidak saja tampak pada klasifikasi logos  Vs  eros; maskulim Vs feminin; produksi Vs Reproduksi maupun konsep seksualitas, tetapi juga secara sosiologis dapat dipahami dari konsep marginalisasi, domistikasi, pengiburumahtanggaan.  Marginalisasi berarti wanita dikucilkan (exclusion) dari kerja upahan atau jenis-jenis kerja upahan tertentu; atau penggeseran wanita ke pinggiran (margins), maksudnya kecendrungan bagi wanita bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki kelangsungan hidup yang tidak stabil, upah rendah, tanpa dasar keterampilan; atau sebagai proses feminisasi/segregasi.

Ketika wanita dibatasi ruang geraknya hanya pada arena domistik dalam konteks home-economics  serta  dikembangkannya konsep deprivasi kasih sayang ibu (maternal deprivation), maka kedudukan wanita sebagai ‘bengkel’ sosial pembentukan manusia telah membentuk ideologi domistikasi dan atau pengiburumahtanggaan (housewifization). Secara implisit konsepsi pengiburumahtanggaan membawa implikasi bahwa wanita secara ekonomis tergantung pada suami. Hal itu terjadi karena definisi tentang kerja  tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, melainkan juga menyangkut  kondisi yang melatarbelakangi kerja itu, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan itu (Moore, 1988: 43). 

Seorang ibu rumah tangga yang sedang menyusui anaknya, sementara di lain waktu mencuci pakaian suami, melayani kebutuhan seks suami, menghidangkan makanan kesukaan keluarga ataupun membuat anyaman kain untuk hiasan rumah tangga, acapkali tidak dianggap bekerja, karena ia tidak memperoleh upah dari jenis pekerjaan itu. Pekerjaan jenis itu adalah pekerjaan domistik dan oleh masyarakat telah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kewajiban seorang wanita atau kodrat wanita. 

Genderisasi terurai di atas semakin memberi kesan, sekalipun secara statistik jumlah wanita yang bekerja setiap tahun semakin meningkat, namun secara kualitatif mereka masih belum  terbebas dari himpitan kultural, yang menempatkan wanita sebagai subordinasi laki-laki.

Dalam posisi demikian, wanita dihadapkan pada dua kekuatan yang tarik-menarik. Di satu sisi berbagai pihak mengharapkan wanita dapat diposisikan setara dengan laki-laki dalam sebanyak mungkin aktivitas, namun di pihak lain mereka masih tetap diposisikan, dijelaskan, diperlakukan, dan diberi nilai oleh kultur di mana mereka dibesarkan secara streotif berdasarkan paham gender. Wanita setiap saat dihadapkan pada situasi konflik peran, antara keinginan untuk secara maksimal mengaktualisasikan diri dengan tatanan kultural yang belum kondusif untuk  itu.
Dalam upaya mengatasi konflik kepentingan serta konflik peran yang timbul, ada kalanya wanita mampu menciptakan modus vivendi dalam rangka meminimalkan konflik  dan sekaligus sebagai wahana interpretasi dan adaptasi dengan situasi baru sebagaimna dijumpai dalam penelitian Kebayantini (1998). Namun, tidak jarang di antara mereka kurang berhasil mengatasi konflik kepentingan itu, hingga mereka harus memilih satu di antara tarikan tadi dengan berbagai konskuensi sosial maupun kiltural. Misalnya, mereka lebih baik memilih keluar dari lingkungan keluarga luas, desa atau ikatan komunal lainnya. Dengan demikian, mereka dapat lebih leluasa memilih dan mengembangkan berbagai ideologi yang dianggap pantas dengan situasi dan tuntutan era globalisasi. Dengan keputusan mereka seperti itu, mereka secara berangsur-angsur telah mengurangi intensitas sosialisasi dan enkulturasi  dengan tatanan kultural yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya. 

III  Keluar dari Himpitan Kultural

Pandangan bahwa wanita memiliki ‘keterbatasan’ yang kemudian dilembagakan dalam beberapa aspek kehidupan, tampaknya akan masih berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Setidaknya hal itu dapat dipahami dari pendefinisian dan perlakuan berbagai institusi sosial dan kultural terhadap wanita. Menurut hemat saya fenomena itu hendaknya dipahami oleh wanita maupun laki-laki apa adanya, dalam arti masih kuatnya paham gender dalam masyarakat semata-mata  karena proses. Jikaupun proses itu ingin digerakkan dengan lebih cepat oleh kaum wanita dan atau aktivis wanita, dapat dipastikan hal itu akan menimbulkan perubahan struktur dan universum simbolis yang sangat dirasakan, tidak saja oleh wanita itu sendiri tetapi juga oleh anggota masyarakat lain. Karena paham gender yang berkembang dalam masyarakat dipandang sebagai universum simbolis yang tidak hanya dialami dalam kehidupan sehari-hari, melainkan karena sifatnya mengatasi kehidupan sehari-hari,  maka perubahan-perubahan  drastis akan menimbulkan guncangan sosial dan kultural, terlebih lagi universum tentang gender merupakan produk masyarakat, bukan produk individu.

Untuk memelihara maupun merubah  paham gender sebagai struktur sosial dan universum simbolis,  diperlukan penjelasan dan seruan secara berulang. Penjelasan dan seruan merupakan proses penyadaran bagi semua pihak untuk tetap menghargai satu sama lain, sekalipun dalam posisi yang berbeda.

Pada tingkat pertama, perlu ditanamkan asumsi dan penjelasan bahwa perkembangan wanita dan laki-laki ditentukan secara sosial berkaitan dengan hubungan-hubungan yang khas manusiawi antara organisme dan diri, yang disebut hubungan eksentris. Di satu pihak manusia (wanita dan laki-laki) adalah badan, di pihak lain manusia punya badan. Artinya, manusia mengalami dirinya sendiri sebagai suatu entitas yang tidak identik dengan badannya, tetapi sebaliknya yang memiliki badan itu yang dapat dipergunakannya.  Atas dasar asumsi dan penjelasan ini, maka kemudian dilakukan berbagai langkah yang mengarah kepada konsepsi kesetaraan.

Pada tahap kedua, asumsi yang telah disertai penjelasan tadi harus dilakukan secara berulang sehingga menjadi  pembiasaan, yaitu bahwa tindakan itu bisa dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama ekonomis. pembiasaan membawa keuntungan sosial dan psikologis, bahwa pilihan menjadi dipersempit.

Tahap ketiga, diusahakan terus menerus agar pembiasaan berkembang menjadi pelembagaan, yaitu  suatu tipifikasi  timbal balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Tipifikasi tindakan diusahakan menjadi milik bersama, dalam arti tindakan-tindakan tentang kesetaraan wanita dengan laki-laki  ditempatkan  di bawah kendali sosial.

Tahap keempat, perlu ditanamkan bahwa pengalihan dunia sosial (kesetaraan wanita dengan laki-laki) tidak berlangsung seketika, melainkan secara gradual-minimal dalam satu generasi. Lamanya proses itu, memberi kemungkinan adanya penafsiran makna melalui berbagai rumusan yang memberikan legitimasi.

Kelima, jalan tidaknya seluruh proses itu sangat tergantung pada keinginan masyarakat untuk berubah. Hal ini didasari asumsi bahwa “masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan manusia merupakan produk sosial”.

IV  Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Wanita dalam dua dasa warsa terakhir semakin menunjukkan kiprahnya dalam berbagai aspek kehidupan, tidak saja pada sektor domestik, tetapi juga di sektor publik.
2. Semakin dalam wanita masuk ke sektor publik, semakin tampak adanya pemisahan antara wanita dan laki-laki, sebagaimana ditunjukkan dalam konsep marginalisasi, domistikasi, pengiburumahtanggaan, kerja produksi dan reproduksi.
3. Pemisahan itu terjadi karena masih kentalnya paham gender dalam masyarakat, yang kemudian dikukuhkan dalam berbagai institusi sosial kultural.
4. Untuk memenuhi tuntutan globalisasi dan isu tentang kesetaraan wanita dengan laki-laki, maka perlu proses panjang mengingat perubahan itu menyangkut masalah makna dan arti dari suatu tatanan yang berlaku pada suatu masyarakat.
5. Proses itu menyangkut, usaha penjelasan terus menerus tentang makna kesetaraan, yang kemudiaan dipolakan dalam berbagai aspek kehidupan, hingga saatnya nanti terlembaga.


(Makalah disampaikan pada 10 Agustus 1998 di Polda Bali dalam rangka HUT Polwan)

Bacaan:

Anker, Richard and Hein, Catherine. 1986. Sex Inequalities in Urban Employment in The Third World. London. Mac. Millan Press.
Berger, Peter. L dan Luckman Thomas. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta. LP3ES.
Kebayantini, Ni Luh Nyoman. Upaya Wanita Bali yang Bekerja Untuk Mempertahankan Kedudukan dan Peranannya dalam Integrasi Desa Adat Dewasa ini. PPS-UNPAD Bandung. Thesis.
Overhold, Catherine et.al (ed). 1988. Gender Role in Development Projects. West Hartford. USAKumarian Press Inc.
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial. Jakarta. Grafiti. 
Saparinah Sadli. 1988. Perempuan Dimensi Manusia dalam Proses Perubahan Sosial. Depok. Universitas Indonesia.
Tinker, Irene and Bramsen, Michele Bo (ed). 1976. Women and World Development. Overseas development council.
Zollinger Giele, Jenet and Chapmen Smock, Audrey. Women Roles and Status in Eight Countries. New York. A Wiley Interscience Publication. 




Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar