Skip to main content

Air dalam Pandangan Hindu

Sumber Foto: Baligataway.co.id.
Oleh:
IBG. Yudha Triguna,
Guru Besar Universitas Hindu Indonesia Denpasar
(Saresehan PKB Bali, 2017).

Aayam gauh prsnir akramiidasadanMaataram purah, pitaram ca prayantsvahBumi ini berputar di angkasa, dengan sumber air dalam orbitnya.Ia bergerak mengelilingi ayahnya, yaitu matahari. [Yajur Veda. I.III.6]

I. Pendahuluan.
Secara sosiologis-humanistis kata  air-er-yer-yeh [evolusi morfologis dapat dipahami pada naskah Eka Guna Yasa [2017: 1-3].  merupakan pengetahuan dasar [basic  term].  Pengetahuan dasar itu, digunakan manusia memahami,  menginterpretasi, dan memberi arti  lingkungan alam serta lingkungan sosial yang dihadapinya.  Berlandaskan  pengetahuan  dasar  itu pula manusia membangun suatu  cara  (mode) hidup untuk  dirinya.  Mereka bertindak berdasarkan pengetahuan,   kepercayaan, kesadaran  tentang   dunia, dirinya sendiri, dan tindakan mereka sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam sekitarnya.  Pengetahuan, keyakinan, dan kesadaran  yang dimilikinya telah membentuk  sistem pengetahuan mengenai dunia [kosmos]. Dalam perkembangan selanjutnya, pengetahuan dasar tadi digunakan  mengungkapkan   diri  sendiri   dan menjadi  abstraksi  yang sifatnya  sangat  spesifik tentang sesuatu, misalnya air sebagai manifestasi Tuhan, kedudukannya dalam kehidupan bersama, dan tindakannya terhadap lingkungan  yang disebut domain.

Pengetahuan dan domain ini akan berkembang sesuai dengan intensitas interaksi manusia  dengan lingkungannya. Jika lingkungannya asri, pintar dan bijaksana, maka manusia akan mengakumulasi pengetahuan dan domain yang berisi pengetahuan asri, pintar dan bijaksana. Ibarat membuat minyak wangi, maka baju, rambut, badan, dan nafasmu juga akan wangi [Sarasamuccaya, Sloka-300-301]. Sebaliknya jika pengetahuan dan domain yang diperoleh bersifat materialistik, maka potensi air bisa berubah menjadi entitas yang diperebutkan, sumber konflik, dan tidak mendamaikan.

Pengetahuan dan domain kemudian dapat di-relasi-kan dengan pengetahuan dan domain lain, sehingga menjadi terminologi yang mengandung pengertian lebih luas. Di Bali dikenal istilah segara-giri, sebuah terminologi untuk menunjukkan adanya dualisme dalam satu makna. Seseorang tidak mungkin dapat memahami dan mengidentifikasi dengan jelas makna utama segara, tanpa mengaitkannya dengan kedudukan  giri.  Orang Bali percaya bahwa segara-giri itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat transenden bahwa  manusia hidup di antara alam dewata dan bhuta, antara dunia atas dan dunia bawah, antara purusa dan pradana yang oleh Pink [1993: 107] diilustrasikan sebagai “laki-laki – banci – wanita, hidup – tidur – mati”. Dalam banyak hal laut [segara] dan gunung [giri] memiliki makna spiritual yang cukup tinggi [Kulke, 1986 :8 dalam Triguna, 1997].

Dalam konteks air sebagai pengetahuan dasar, naskah ini mencoba mengurai tentang air sebagai pengetahuan dasar dan utama dalam Hindu, kemudian bagaimana air diperlakukan dalam aktivitas kebudayaan, dan terakhir akan menganalisis bagaimana tindakan pelestarian dilakukan dalam rangka menguatkan air sebagai sesuatu yang berarti.

II. Air dalam Perspektif Hindu.
Dalam Hindu, matarahari adalah sumber energi utama dengan diameter kurang lebih 1.400.000 km2 atau seratus kali diameter bumi. Massanya 333.420 kali massa bumi dan volumenya 1.300.000 kali volume bumi serta 12.000 kali luas permukaan bumi [Budi Adnyana, 2009: 2]. Matahari memiliki tujuh spektrum warna sebagaimana dinyatakan dalam Reg Weda  [I.50.8] “Sapta tvaa harito rathe, vahanti deva suurya, Socikesam vicaksano” yang diterjemahkan secara bebas ‘Wahai yang bercahaya sendiri, melalui spektrum dan tujuh hiasan kereta-Mu, menuntun seluruh manusia.

Kekuatan matahari yang maha dasyat telah menjadi penyebab siklus lainnya, termasuk perputaran air di muka bumi dan di lautan [mengalir, berubah bentuk, dan bermuara ke sumber yang terbesar]. Kekuatan matahari mengkondensasi air hingga menjadi awan, dan pada titik tertentu menjadi hujan yang kemudian mengaliri permukaan bumi, sungai, dan bermuara ke lautan. Lautan sebagai sumber air terbesar [71%] dalam susastra Hindu terbagi ke dalam tujuh samudra, yaitu Lawana, Sarpi, Jala, Iksu, Dadhi, Sura, dan Dugdha.  “Siapapun, manusia maupun hewan akan hidup selamat dan sejahtera di bumi ini kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala cara” [Atharwa Weda VIII.2.25].

Hubungan matahari dengan samudra [air], telah dinyatakan dalam Yajur Weda I.12 sebagai berikut “Disucikan oleh sinar matahari yang bersih tiada cela, sebagaimana halnya air yang bagus mengalir menuju Samudra, dan naik ke atas menuju angkasa, dan memelihara tanaman obat, dimurnikan oleh sinar-sinar matahari itu”.  Sloka itu hendak menjelaskan bahwa tiada energi apapun terjadi tanpa menyatuan dua kekuatan, bapak [matahari] dan ibu [pertiwi yang terdiri dari Dwipa dan Lautan]. Air dianggap sebagai ibu yang memiliki sifat welas asih, berkeadilan, dan memungkinkan segala makhluk hidup serta tanaman tumbuh dengan baik. Dalam Chandogya Upanisad  disebutkan air adalah bentuk dari semuanya ini, oleh karena itu semadhi-lah kepada air [dalam Suamba, 2014: 16]. Samudra [air] sebagai sesuatu yang penting, juga dapat dipahami dari familiernya dan diagungkannya nama Waruna sebagai penguasa dan pengendali samudra atau lautan. Volume samudra diperkirakan  1.230.000.000 Km2 atau setara dengan 71 persen dari luas bumi. Dalam Waisnawa tattwa, malahan air dianggap sebagai awal kehidupan. Karanodakosayi Wisnu, melalui pori-porinya mengisi bumi dengan air yang kemudian dikenal dengan nama karana ocean. Berjuta-juta Brahmanda berupa gelembung air yang tiada terhingga. Dari setiap Brahmanda, lahir kembali untuk memperbanyak air yang disebut lautan Gharba.

Pentingnya kedudukan air dalam Hindu dapat juga dipahami melalui personifikasi Waruna seperti diuraikan oleh Lal [1980, dalam Suamba 2014: 13-14] sebagai berikut.
“...Sungai-sungai mengalir karena perintah Waruna [Reg Weda.2.28.2]. Waruna yang agung dengan seribu mata mengamati aliran arus sungai-sungai [Reg Weda. 7.34.10] dan mengantarkan air-air tertelan bergerak seperti kuda betina di dalam satu pacuan [Reg Weda.7.8.1]. Beliau adalah raja dan pemimpin sungai-sungai [Reg Weda 10,75.2].....Tenggorokan Waruna dianggap sebagai sebuah samudera ke dalam mana aliran semua sungai masuk [Atharwa Weda 20.92.1]. Semua sungai mengalir ke tempat penampungan, yaitu samudera [Reg Weda 2.35.3] dan secara terus menerus mengalirikan airnya ke dalamnya, namun ajaibnya samudera tidak pernah penuh karenanya [Reg Weda 5.85.6]. Waruna dianggap sebagai kemegahan sungai-sungai. .....Dalam Gopatha Brahmana 1.2.14 mengatakan bahwa wilayah pinggir sungai adalah tempat yang cocok untuk melaksanakan kurban suci [yajna]. Persembahan juga dilakukan untuk sungai-sungai [Reg Weda 7.47.3].
Adanya terminologi saptatirtha atau saptagangga dalam Mantera Weda, [Narmada, Sindhu, Gangga, Saraswati, Airawati, Nadisrestha, dan Nadhi Tirta] serta konsepsi saptasamudra [keringat sebagai air asin, sumsum sebagai samudra susu segar, daging sebagai samudra susu asam, otak sebagai samudra minyak, darah sebagai samudra perasan tebu, air seni sebagai samudra cuka, dan ludah sebagai samudra air tawar] menunjukkan bahwa air memiliki kedudukan utama [Sura, 1998; Dharmika, 2016: 2; Suamba, 2017: 10-11]. Baik konsepsi saptatirta maupun saptasamudra, tidak saja berhubungan dengan makrokosmos [buana agung] melainkan juga berkaitan dengan konsepsi mikrokosmos [buana alit].

Dalam Adi Parwa IV.31 juga disebutkan “Berkatalah para dewa kepada Sang Hyang Waruna: “kasihanilah kami wahai Sang Hyang segara. Janganlah engkau mengabaikan sentuhan pulau ini. Jika amrta keluar dari samudra Lawana, alangkah bahagianya ketiga dunia ini atas anugrah-Mu memberikan kesejahteraan pada para dewa”. Selanjutnya dalam Bhagawad Gita [10.29] disebutkan “ di antara para makhluk yang hidup di air, aku adalah dewa Waruna”. Lebih lanjut dalam Bhagawad Gita [Mantra, 1967: 52] juga disebutkan “Makhluk berkembang karena makanan, makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan berkembang karena air hujan, air hujan muncul karena yadnya dan yadnya itu ada karena karma”.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, kedudukan air dalam Hindu memiliki sumber yang  jelas dan penting, mulai Reg Weda, Atharwa Weda, Yajur Weda, Chandogya Upanisad, Adiparwa, Bhagawad Gita, Ithiasa [Adiparwa], hingga Wrehaspati tattwa dan  Tattwa Jnana. Air tidak hanya sebagai unsur yang dibutuhkan fisik, tetapi kekuatan ilahi [divinity] yang memiliki kekuatan lebih besar dari kekuatan fisik.

III. Pelestarian Air Melalui Agama dan Kebudayaan.
Pentingnya kedudukan air sebagaimana tersurat dalam berbagai sumber, tidak berhenti di tataran kitab suci, namun di Bali kemudian diimplementasikan ke dalam berbagai aktivitas kebudayaan. Dibedakannya antara pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa sebagai elemen yang bestruktur [dari yang konkrit ke semakin abstrak] dengan segala aktivitas ikutannya menjadi bukti tentang hal itu. 

Demikian pula dibedakan antara yeh-toya-tirta memperkuat keutamaan air dalam struktur kebudayaan Bali. Yeh, secara sosiologis diletakkan sebagai sesuatu yang biasa  yang hanya berfungsi untuk hal-hal yang bersifat fisikal dan sekuler, berbeda dengan toya dan tirta yang sudah  muatan spiritual dan agama, walau ketiganya menunjuk pada entitas yang sama.  Air dalam kebudayaan Bali kemudian menjadi berbeda nilai dan maknanya melalui proses ritual yang dipayungi oleh agama, sebagaimana tertuang dalam teks-teks kitab suci. Air kemudian disakralisasi menjadi tirta [pabiokalan, pakelemigian, prayascita, pabersihan-penyucian, pangelukatan, pengurip-urip, panebusan, papegat, panembak, pangentas, dan tirta ke purwa dsb]. 

Strukturasi tidak berhenti pada pen-sakral-an air menjadi tirta, tetapi juga memastikan pentingnya memelihara wilayah sumber air [kelebutan, pancoran, danau, sungai, dan lautan] sebagai pemberi kesuburan dan kesucian.  Lahir dan dikembangkannya konsepsi nyagara-giri menempatkan segara-laut dan giri-gunung sebagai dua tempat yang saling berpengaruh, ibarat suami dan istri. Agar gunung dengan hutan bisa berfungsi dengan baik sebagai penyerap dan penyangga air dan  bermakna, maka dilaksanakan berbagai upacara seperti wana kerthi, yang bertujuan menyucikan, menghidupakan, memelihara agar hutan tetap lestari. Sementara itu, untuk menjaga pentingnya arti segara dilakukan dengan proses enkulturasi melukat, nganyut, melasti, banyu pinaruh, mapekelem, sagara kerthi dan di beberapa kawasan tertentu nyepi di laut. Semua itu, dalam rangka meneguhkan, merevitalisasi, dan melestarikan air sebagai sesuatu yang sakral, tetap memenuhi fungsi religius dengan dibalut aktivitas kebudayaan. Dalam batas tertentu sumber air dipelihara, bukan karena air ia berfungsi secara fisikal untuk mandi, minum, dan pengairan, melainkan karena di tempat itu [kelebutan, pancoran, danau, sungai, campuhan, dan laut] sering dilaksanakan upacara untuk menyucian dan pencarian air suci  serta dijadikan tempat pembuangan hal-hal yang dianggap kotor.

Aktivitas, men-sakral-kan air melalui proses ngukup tirtha, mencari tirtha penembak, dan aktivitas sejenis, dilandasi keyakinan, tirtha yang dibuat melalui rangkaian upacara memberi energi berbeda dengan keadaan air yang tidak melalui rangkaian upacara. Melalui ujaran mantera, seorang Wiku  ‘menghidupkan’ kekuatan air dan menyucikannya, walaupun air yang diambil bersumber dari lingkungan dan domain yang relatif tidak terpelihara. Keyakinan bahwa air biasa akan memiliki kekuatan dan kualitas yang semakin baik, jika diupacarai, didoakan, dan diperoleh melalui proses sulit, dan kadangkala penuh tantangan, sejalan dengan penelitian Erato [2006: 101-102] yang menyatakan bentuk air sesudah melalui doa selalu lebih indah dan anggun sebagai berikut.
 “saya punya banyak pengalaman mendoakan air bersama penduduk setempat, di tempat-tempat seperti Danau Biwa [danau terbesar di Jepang]; di Lucerne, Swiss; di pantai danau Zurich; di Bahama, dan di bagian lain dunia. Pada setiap kasus, terdapat perbedaan mencolok di dalam kristal-kristal yang berbentuk dari air yang dikumpulkan sebelum dan sesudah doa, dan kristal-kristal yang berbentuk dari air sesudah doa selalu indah serta anggun”.
IV. Perlu Penguatan yang Diperluas.
Anggapan pentingnya kedudukan air sebagaimana tertuang dalam berbagai kitab suci serta dilaksanakannya ritus-ritus untuk memperkuat pentingnya kedudukan air, tampaknya belum memiliki signifikansi optimal dengan pelestarian air secara keseluruhan, baik dalam memenuhi fungsi kehidupan dan penghidupan. Banyak air dan zone air  [kelebutan, pancoran, danau, sungai, dan lautan] tidak terpelihara, malahan hanya diperhatikan saat diperlukan. Upacara yang dilaksanakan untuk memuliakan hutan [wana kerthi] maupun memuliakan air [danu kerthi, sagara kerthi, nyepi laut]  misalnya, hanya diketahui dan dipahami oleh lingkungan terbatas dan terdekat. Jikapun banyak anggota masyarakat yang datang dengan beragam persembahan, berdoa, dan  memberikan dana punia untuk acara semacam itu, namun tetap saja yang menjadi alasan penting dari kehadiran warga pada acara dimaksud adalah sembahyang kepada Ida Sang Hyang Widhi, bukan upaya memuliakan hutan, danau dan atau hutan. Atas dasar itu, upacara wana kerthi atau danu kerthi dan sagara kerthi, hanya dianggap sebagai upacara piodalan yang diperbesar. Sedangkan basic term yang bertujuan memuliakan hutan dan maupun laut-sagara, hanya diketahui dan dimengerti oleh pemangku kebijakan [sulinggih, pemangku, pengurus majelis agama, dan pemerintah]. Dengan demikian, pengetahuan dan domain yang terbatas menyebabkan upacara yang dilaksanakan memiliki limitasi implementasi terbatas dalam praksisnya. Upacara meriah yang dilaksanakan seolah-olah berjalan sendiri, sementara pengetahuan dan domain masyarakat dalam kehidupan sehari-hari berjalan menurut pengetahuan dan domainnya sendiri.

Situasi ini terjadi dalam banyak hal disebabkan, lemahnya pengetahuan masyarakat tentang konsepsi dasar mengenai sesuatu, seperti air, api, hutan, serta betapa perlunya hidup bersih, sehat, dan sebagainya. Pengetahuan dasar tentang hidup sehat, membangun pengetahuan agar manusia Hindu memelihara lingkungan,  bukan tidak ada dalam teks-teks agama, tetapi  pengetahuan seperti itu tidak banyak dibicarakan, diajarkan, dan dijadikan sebagai pengetahuan dan domain. Malahan dalam hal-hal tertentu dianggap tidak perlu karena itu merupakan pendidikan di luar agama. Jikapun belakangan, tradisi dharma wacana, dharma tula, dan aktivitas pendalaman terus dilakukan, namun juga aktivitas itu lebih mengutamakan pengenalan, penguatan, dan mendalaman pengetahuan dan domain tentang upacara-upakara dan hal-hal yang terkait dengan kedua hal itu. Penekanan berhenti pada akumulasi pengetahuan dan domain.

Situasi ini terjadi karena cara dan mode transformasi pengetahuan agama masih meletakkan tanggungjawab pengetahuan pada kelompok terbatas [sulinggih, para penekun sastra yang tidak memiliki otoritas, dan ilmuwan yang tidak memiliki jejaring]. Sementara mayoritas masyarakat hanya bersandar pada pengetahuan, tuntunan, dan keputusan kelompok terbatas itu. Tingginya intensitas sosialisasi mengenai tema-tema terbatas, yang tidak diikuti dengan pengembangan dan interpretasi yang diperluas telah membangun domain-domain terbatas pada pegetahuan, mode, dan praktek agama. Akibatnya, praktek dilakukan dengan pengetahuan yang terbatas. Hal ini terjadi pada banyak hal, sehingga dibutuhkan mode baru untuk memahami dan menafsir pengetahuan dan domain menjadi kotekstual. Asumsinya adalah, setiap  orang  yang  telah  tersentuh  sistem pengetahuannya akan  mencoba memberi  makna  baru terhadap tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal  yang bersifat normatif. Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian silih berganti. Secara teoritis dalam proses itu terjadi proses adaptive upgrading dan adaptive modification sebagaimana dinyatakan Sahlins. Penyesuaian  itu sendiri mengandung arti ganda, bahwa manusia  berusaha untuk menyesuaikan  kehidupannya dengan   lingkungan yang senantiasa berubah. Sebaliknya, manusia berusaha  pula menata lingkungan  dengan  keinginan  dan   tujuan mereka.

Mode baru yang dibangun, yakni pertama-tama pengembangkan pengetahuan dan domain yang dibutuhan dalam hidup sehari yang kontekstuan bersumber dari pelaksanaan ritual. Asumsinya, pikiran mendasari perkataan dan perbuatan [trikaya parisuda]; perbuatan yang dilakukan konsisten akan menjadi kebiasaan; kebiasaan akan menjadi karakter, dan semua itu akan menentukan nasib [baca: kualitas diri dan lingkungan]. Kedua, semua proses itu dilembagakan, baik melalui tradisi yang berjalan maupun melalui pendidikan di sekolah. Akhirnya, penguatan inkulturasi juga tetap dilakukan melalui media yang selama ini sudah berjalan. Semua itu, didasari oleh logika bahwa adaptasi yang baik mensyaratkan (1)   perilaku  adaptif, (2)  strategi  tindakan,  dan, (3) strategi adaptif. Perilaku adaptif  merupakan bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian  cara-cara mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan, dan menolak  untuk melakukan  tindakan  atau keterlibatan dengan maksud untuk beradaptasi. Strategi tindakan adalah tindakan khusus yang diarahkan untuk  menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan yang  merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Dalam  pengertian strategi  tindakan tercakup upaya  rasionalisasi,  mekanisasi, dan orientasi pada kemajuan yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang dipilih oleh manusia dalam  proses pengambilan  keputusan, karena keberhasilannya telah  dapat diprediksinya.  

V. Simpulan.
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Air dalam pandangan agama Hindu tidak hanya penting untuk memenuhi fungsi fisikal, melainkan memiliki fungsi religius, setidaknya dibedakannya antara yeh, toya, dan tirtha.
2. Untuk memuliakan dan menguatkan kedudukan air dalam struktur kebudayaan, dibuatlah berbagai ritus yang merupakan sinergi antara agama dan tradisi lokal sebagai pengetahuan dan domain. 
3. Pengetahuan dan domain yang dibuat oleh pemangku kebijakan, belum memiliki signifikansi optimal dalam praksisnya, mengingat mode yang dikembangkan lebih kepada arti penting ritus ketimbang fungsi ritus sebagai pembentuk kebiasaan. 
4. Dibutuhkan pengembangan strategi adaptasi berupa perilaku  adaptif,   strategi  tindakan,  dan strategi adaptif dalam rangka penurunkan hal-hal yang normatif ke bentuk praksisnya.

Daftar Bacaan
Sayanacarya. 2009. Atharvaveda. Surabaya: penerbit Paramitha.
Budi Adnyana, Gede Agus. 2009. Air Menurut Veda: Bagaimana Veda Berbicara Tentang Air di Permukaan Bumi. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Dharmika, Ida Bagus. 2016. “Konservasi Air: Rekonstruksi Kearifan Lokal Bali” dalam Air, Tradisi, dan Industri [Budi Utama, ed]. Denpasar: Universitas Hindu.
Emoto, Masaru [Susi Purwako, penerjemah], 2006. The Secret Life of Water: Menguak Rahasia Air Mengapa Dapat Menyembuhkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Griffith, R.T.H. 2005. Yajurveda Samhita. Surabaya: penerbit Paramitha.
Hooykass, C. 1994. Agama Tirtha. Five Studies in Hindu Balinese Religion. Amsterdam: NV. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Inten Genitri, Ida Ayu. 2008. Makna Air. Denpasar: Yayasan Spiritual Dharma Sastra.
Mantra, Ida Bagus. 1967. Bhagawad-gita. Jakarta: Parisada Hindu Dharma.
Martha, Wayan. 2016. “Mengungkap Misteri Air” dalam Revitalisasi Agama Tirtha di Bali. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Maswinara, I Wayan. 2008. Rgveda Samhita. Surabaya: Paramitha.
Suamba, Ida Bagus Putu. 2014. “Air [Apah] dalam Kesusastraan Weda”. Makalah Kemah Sastra. Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota.
................. 2017. Air dalam Peradaban Bali. Denpasar: Makalah Remug Sastra Purnama Badrawada.
Widyalankar. P.S. The Holy Wedas. A Golden Treasure International Wedas. Delhi: Aryana Printer.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar