Bagaimana Hindu Menatap Masa Depan ?
![]() |
Foto: Kiblat, 19 September 2019 |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Disampaikan pada beberapa Dharmasanti, PT. Indonesian Power, BNI, dan BCA, 19 April 2018).
Sebelum saya memulai dharma wacana ini, ijinkan saya mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Icaka 1940 kepada keluarga besar Indonesian Power disertai harapan semoga semakin Jagadita dan Shanti. Saya kali ini ingin berbagi ceritra dialog antara seorang ayah dengan anaknya yang termuat dalam Ancient Wisdom.
“Di petang hari, seorang anak berusia sekitar tujuh tahun bertanya kepada ayahnya. “Ayah apakah politik itu ? pertanyaan ini muncul dari wacana yang ia sering dengar di Televisi. Banyak siaran yang memberitakan kehidupan politik di negeri ini. Ayahnya mencoba menjelaskan dengan takaran pengetahuan seukuran anak tujuh tahunan. Politik adalah pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ? Tanya anak itu semakin tidak mengerti, sambil bergumam kekuasaan lalu dia bertanya lagi apa itu kekuasaan ayah ? Ayahnyapun mencoba menjelaskan kembali bahwa kekuasaan itu adalah wewenang yang diberikan kepada seseorang yang menduduki suatu jabatan tertentu. Selanjutnya, ayah anak itu menjelaskan teori Tria Politika karya Montesque. Anakku, kekuasaan itu dipisahkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif adalah kekuasaan membuat Peraturan perundang-undangan, ekskutif adalah kekuasaan yang diberi wewenang melaksanakan peraturan dan kebijakan, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan peradilan. Penjelasan itu semakin membuat anak usia 7 tahunan itu semakin tidak mengerti.Melihat anaknya demikian, sang ayah kemudian mencoba memberi penjelasan dengan ilustrasi sebagai berikut. “anakku, apa yang ayah jelaskan tadi kalau dianalogikan dengan keluarga kita, Ayah adalah ‘pemimpin’ kekuasaan yang bertugas mengatur kehidupan dalam keluarga kita, ibu adalah ‘wakil rakyat’ yang bertugas menyerap aspirasi rakyat atau seluruh anggota keluarga kita dan meneruskannya kepada pimpinan pemerintahan, yaitu ayah. Penjelasan itu membuat sang anak rada mengerti, dan melanjutkannya dengan pertanyaan: lalu asisten rumah tangga [dulu istilahmya pembantu] kita mbak he itu siapa dan adikku yang baru berusia 3 tahun itu siapa ayah ? Sang ayah semakin berusaha untuk memberikan penjelasan yang rasional dan mudah ditangkap anak seusia itu. Mbak he yang sehari-hari membantu pekerjaan di rumah kita adalah ‘kaum pekerja’. Sedangkan adikmu, dapat diilustrasikan sebagai ‘masa depan kita’.
Penjelasan yang tadinya diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada sang anak, ternyata telah memberi timbunan istilah baru dan sambil mencoba memengerti sang anak terus termenung dan dalam pikirannya berkecamuk istilah baru dan ruwet ‘Pimpinan Pemerintahan’, ‘wakil rakyat’, ‘kaum pekerja’ dan ‘masa depan kita’.Melihat anaknya seperti kebingungan, sang ayah berkata, “Anakku sudahlah kamu makan dulu dan segera istirahat, besok pagi kamu kan sekolah, soal politik kita diskusikan lagi besok pagi sambil sarapan”. Setelah usai makan dan sang anak masuk ke kamar tidurnya, bukannya tidur, melainkan pikirannya menerawang jauh pada istilah-istilah politik yang dijelaskan ayahnya, kekuasaan, legislatif, ekskutif, yudikatif, pimpinan kekuasaan, wakil rakyat, kaum pekerja dan masa depan bangsa.
Saking lelahnya berfikir mengenai begitu banyak istilah, akhirnya sang anak tertidur lelap. Namun tengah malam ia terjaga, setelah mendengar suara tangisan anak kecil..semakin lama semakin keras. Ia kemudian bangun dan menuju tempat asal suara tangisan itu, tempat adiknya tidur. Ia melihat adiknya ngompol dan pup... sementara ibunya tertidur sangat pulas. Ia berpikir, ibu sangat lelah karena seharian bekerja, tidak saja di kantor tetapi juga di rumah. Si anak kemudian lari ke kamar ayahnya...ternyata ayahnya tidak ada. Iapun kemudian lari ke kamar asisten rumah tangga, mbak he. Sesampai di depan kamar mbak he, si anak mendengar suara seperti....., lalu ia mencoba mengintip apa yang terjadi. Ternyata ayahnya ada di kamar asisten rumah tangga sedang ‘bermain-main’. Karena ketakutan akhirnya ia lari kembali ke kamar tidur dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan dan argumentasi, dan berpikir mengenai politik hingga ia tertidur.
Esok paginya, sewaktu sarapan, ayahnya bertanya bagaimana dengan tidurmu, nyenyak, dan bagaimana tenang diskusi kita kemaren malam. Apakah sekarang kamu sudah mempunyai pengetahuan mengenai politik anakku ? si Anak dengan spontan menjawab “sudah ayah”, politik adalah “Suatu keadaan di mana pimpinan pemerintahan meremas, memeras, dan menunggangi kaum pekerja, sementara wakil rakyat tertidur pulas, dan karena itu masa depan penuh dengan kotoran”.
Hadirin yang saya muliakan,
Cerita di atas bukan rekayasa, bukan juga bualan belaka, melainkan nyata terjadi di sekitar kita dan kita semua terkaget-kaget dengan situasi semakin kritisnya anak dan cucu kita (Ilustrasi dialog Arjuna dengan kakyangnya dan bandingnya dengan 40 tahun lalu). Keadaan serupa akan semakin menjadi-jadi jika asumsi Moris dan Tollman dalam Six Simple Rules: How to Manage Complexity Without Getting Complecated (2014) terbukti, yakni “20-25 tahun ke depan kompleksitas kehidupan kita bergerak 35 kali dari sekarang” (Ilustrasi anak-anak jaman old, dan bandingkan dengan anak-anak jaman now !). Bagaimana Kita bisa memenangkan pertarungan masa depan di tengah-tengah kompleksitas kehidupan yang semakin menjadi-jadi ? Menurut Moris dan Tolman Ada enam cara sederhana, yaitu 1) berpengetahuan, 2) berketerampilan, 3) kreatif-inovatif, 4) disiplin, 5) jujur, dan 6) rendah hati. Beberapa cara di atas diperkuat pula Jennifer Rita Nichol [2013], bahwa dunia akan membutuhkan generasi kreatif, yang mampu membangun jejaring, dan biasa dengan perubahan, nyaman dengan perubahan, serta bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan.
Hadirin yang saya muliakan,
Apa hubungannya antara cerita jenaka, tesis Moris dan Tolman dengan pelaksanaan Hari Raya Nyepi yang kebetulan tahun ini jatuh bersamaan dengan Hari Raya Sasraswati ? Pertama, saya ingin mengatakan bahwa makna yang ada di balik pelaksanaan hari raya Nyepi adalah terjadinya akumulasi pengetahuan dan keterampilan secara sistematik. Pengetahuan dimaksud bukan semata-mata formal, melainkan juga pengetahuan yang diperoleh by learning. Dalam konteks pentingnya pengetahuan dalam Bhagawadgita disebutkan “Vidya dhanam Sarvadhana Pradhanam”. Dalam konteks orang berpengetahuan dan orang bodoh, Hindu memiliki etika sosial sebagai berikut.
“Masih mungkin mengambil permata dari pangkal gigi buaya, begitupun masih mungkin berenang menyebrangi lautan yang ombaknya ganas, masih mungkin mengalungi seekor ular yang sedang marah, akan tetapi sungguh sulit mengubah orang bodoh yang memiliki kebiasaan buruk untuk menjadi baik”. Lebih lanjut “Orang berpengetahuan dapat diajari dengan mudah, orang terpelajar paham dengan sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan merasa dirinya paling pandai, sehingga Dewa Brahma pun tidak dapat mengajarinya” (Nitisataka, 2003: 1-3).
Kedua, bahwa rangkaian upacara Nyepi menyediakan ruang kreativitas dan inovasi yang luas bagi proses transformasi dan penguatan nilai. Dalam Sarasamuccaya Sloka 300 disebutkan “Bergaullah dengan orang pintar dan bijaksana, setidaknya engkau akan menjadi pintar dan bijaksana”. Rangkaian HR Nyepi menyiapkan momentum yang memungkinkan anak-anak kita mendapatkan option berkreativitas. Ketiga, HR Nyepi sesungguhnya melatih kita menjadi insan yang disiplin dan jujur. Hanya andalah yang tahu apakah saat Nyepi kita melakukan ‘catur berata penyepian’. Kalaupun anda pura-pura upawasa di saat ada kerabat, dan makan pada saat tidak ada orang yang melihat, maka hanya anda dan Tuhan yang tahu. Oleh karena itu, Nyepi menyiapkan kendaraan bagi kita untuk disiplin dan jujur, yang dapat kita jadinya modal kecil untuk mendapatkan hal-hal yang lebih besar di kemudian hari. Hal ini relevan dengan pernyataan Albert Einstein: “Siapapun yang ceroboh dengan kebenaran dalam hal-hal kecil, tidak mungkin dipercaya dalam hal-hal yang besar”. Disiplin dan jujur kemudian menjadi pondasi penting dalam membangun kepercayaan (trush) sebagaimana dinyatakan oleh Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Marrill (2006) dalamThe Speed of Trust. Cara terbaik membangun kepercayaan dengan membuat dan memelihara komitmen [yang paling kecil sekalipun]. Mengapa penting kepercayaan itu dibangun ? Kepercayaan selalu membawa hasil akhir, yaitu Kecepatan dan Biaya. [”dunia sedang berubah dengan sangat cepat, bukan yang besar mengalahkan yang kecil, melainkan yang cepat mengalahkan yang lambat”, Rupert Murdoch, Dirut News Corporation]. Keempat, kerendahan hati: Hari Raya Nyepi momentum mawas diri, momentum melakukan otokritik terhadap diri sendiri, dan saat untuk melakukan upaya konversi dari penderitaan kepada kebahagiaan (berfikir positif), koversi dari keterikatan menuju kebebasan (berangsur-angsur belajar tidak terikat pada kama dan artha), dari sifat-sifat kejam kepada kehidupan yang penuh dengan kasih sayang (belajar mengendalikan kroddha, iri hati, dan dengki). Goenka Ji menyatakan: “Milikilah kedamaian dalam dirimu”. Kenalilah dirimu sendiri, bukan pada tingkat intelektual, emosi, bhakti, tapi pada tingkat aktual”. Negativasi menyebabkan “Sayalah yang menjadi korban pertama” dari kemarahan dan rasa permusuhan itu baru kemudian memberi vibrasi yang tidak terhadap lingkungan sosial dan alam. Oleh karena itu, marilah kita memaknai hari raya Nyepi dengan usaha nyata mengendalikan sad ripu yang ada pada diri kita, tidak berhenti pada tataran upacara melasti, ngerupuk, dan catur berata penyepian, tetapi menjadikan momentum melatih diri untuk kreatif, disiplin, jujur, rendah hati sehingga HR Nyepi memberi manfaat pada peningkatan kualitas diri dalam mengoptimalisasi pengabdian kita pada perusahaan, bangsa, dan Negara. Svaha.