Sejarah Singkat Kelembagaan Unhi
![]() |
Foto Karya: Widnyana Sudibya. |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Makalah disampaikan pada FGD YPWK, 2019).
I Pendahuluan.
Masyarakat sebagai kumpulan orang-orang yang berinteraksi satu sama lain, terikat oleh adat-istiadat tertentu dan bersifat kontinyu dalam dinamikanya selalu memiliki gagasan untuk berkembang, akan tetapi dalam perjalanannya mengalami pasang surut, kadang-kadang mengalami konflik dan anomali dari tujuan yang ingin dicapai karena berbagai alasan. Perbedaan dalam menafsirkan gagasan atau tujuan bersama mungkin terjadi karena sifat dinamis setiap individu tidak sama atau gagasan yang sama dimaknai berbeda dengan cara pandang yang berbeda pula. Oleh karena itu, setiap saat dalam masyarakat terjadi dinamika sebagai suatu cara (mode) menusia mencapai kemajuan dan adaptasi. Konflik dan anomali kadang dapat membawa sesuatu yang lebih baik, sepanjang pihak-pihak yang terlibat memiliki keinginan untuk menyesuaikan ‘frekuensi’.
Umat Hindu sebagai bagian dari masyarakat , juga tidak lepas dari dinamikanya sendiri. Dalam perjalanannya, gagasan yang dirumuskan oleh founding father (Hindu) dimaknai berbeda satu sama lain, malahan menurut kehendak dan kesukaannya sendiri. Hanya untuk memberi makna ‘Hindu Maju’ saja telah memerlukan pergulatan gagasan antara Bali Adnyana dengan Surya Kanta di era 1925 yang membias sampai sekarang. Begitu pula untuk membangun dan membesarkan Institut Hindu Dharma (IHD) yang kemudian menjadi Universitas Hindu Indonesia Denpasar juga mengalami dinamikanya sendiri. Atas dasar itu dan naskah ini dibuat sebagai bahan dan informasi penulisan penelitian tentang “Universitas Hindu Indonesia: Dinamika Pendidikan Hindu di Tingkat Lokal, Nasional, dan Global”, maka naskah ini bersifat informatif mengenai dinamika Universitas Hindu Indonesia Tahun 2000 sampai sekarang dalam konteks lokal, Nasional, dan Global.
II Perubahan Institusi.
Semua orang di tahun-tahun 1970-2002 pernah mendengar nama Institut Hindu Dharma (IHD), tempatnya orang-orang Hindu belajar agama dan atau tempat kuliahnya para calon Pemangku dan Pedanda. Kuliah di rumah-rumah Dosen, kuliah di sekolah milik Yayasan Dwijendra di Jalan Kamboja, hingga kemudian memiliki kampus sendiri hasil pinjaman Pemerintah Provinsi Bali (tanahnya asset negara) seluruh bangunan (lama) dibantu Pemerintah Provinsi Bali masa Prof. Dr Ida Bagus Mantra sebagai Gubernur dan I Gusti Putu Raka sebagai ketua DPRD Bali. Rektornya waktu adalah Prof. Ida Bagus Suanda Wesnawa, SH, seorang Perwira TNI AD berasal dari Griya Tengah desa Wanasari, Tabanan.
Institut Hindu Dharma Denpasar (yang terdiri dari FIA, FIPA, FAKMA) telah menghasilkan Sarjana Negara yang kemudian menjadi aparatur negara di lingkungan Kementerian Agama di Bali maupun di seluruh Indonesia. Banyak Sulinggih terkenal dan popular lahir dari lembaga Institut Hindu Dharma (selanjutnya disingkat IHD) yang kampusnya berlokasi di Tembau, Penatih, Denpasar Timur ini. Sebagaian besar para Wamil, baik yang bertugas di AD, AL, AU dan Kepolisian merupakan alumni IHD. Dosen dengan jabatan GB maupun dosen senior di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar alumsi IHD. Umumnya tamatan IHD memiliki dan menguasai kompetensi dalam bidangnya, sehingga IHD sebagai institusi amat popular, terlebih lagi setiap generasi IHD mengembangkan tradisi berkesenian sebagai atribut penting selain menguasai pengetahuan agama. Sebut saja generasi pertama itu, Anak Agung Raka Payadnya, Anak Agung Rai Sutadnya Ida Ayu Suabdi, Ida Bagus Gunadha (Alm.), Kadek Moleh, dan lainnya telah menambah populernya IHD di mata masyarakat Bali. Kemudian generasi kedua lahir seperti Ida Bagus Mambal, Anak Agung Kusuma (Krecak), Pasek Suratha (Balean Sakti), Wayan Mujiarna (Alm) dan Maria telah memberi implikasi riil terhadap bertambahnya jumlah mahasiswa di IHD hingga mencapai lebih dari 2.000 orang (kurun waktu 1980-1990) dan popularitas IHD dapat dikatakan mencapai puncaknya.
Setelah itu pamor IHD semakin menurun bersamaan dengan sulitnya pengangkatan alumni IHD, baik di lingkungan Pemerintah di Bali maupun Kemenag Pusat dan Daerah (pengangkatan guru agama bagi tamatan FIPA, pengadilan agama Hindu atau yang mengakomodasi ada bagian PA Hindu yang diperjuangkan sejak tahun 1970an juga tidak kunjung lahir, sehingga alumni FAKMA juga tidak tertampung). Pengangkatan besar-besaran sebagaimana Kepres 19 tidak ada lagi, sehingga secara akumulatif membuat minat tamatan SMA masuk ke IHD semakin lama semakin menurun dan akhirnya IHD mengalami titik nadir. Keadaan ini menjadi alasan untuk melakukan perubahan dari IHD menjadi Universitas. Proses peralihan ini secara teknis dilakukan oleh I Gusti Putu Raka, SH dan menugaskan I Gusti Ngurah Oka, SE yang kala itu bertugas di Biro Umum Depdikbud dan belakangan pernah menjadi Bendahara YPWK (saat Ybs menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali) hingga keluar SK Mendikbud no 7/D/O/1993 tertanggal 19 Mei 1993 tentang perubahan Institut Hindu Dharma Denpasar menjadi Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Perubahan status dari Institut menjadi Universitas memunculkan gagasan baru untuk meminta bantuan seorang Intelektual Hindu sederhana, seorang dokter juga yang mendalami Usadha untuk memimpin Unhi, yaitu Prof. dr. IGN Nala, M.PH sebagai Rektor Unhi. Selama dua periode (1993-1997; 1998-2002) beliau memimpin Unhi dengan dinamikanya. Semasa beliau penerbitan buku, khususnya tentang usadha berhasil dengan baik, kerjasama dengan Pemerintah daerah sangat baik, malahan sebagian besar kegiatan Biro Bina Sosial dan Mental (Binsos Mental) diselenggarakan di Unhi, baik semasa IGA Tista, IGN Rai Handayana (pernah menjadi Ketua YPWK) maupun IGA Janawati. Hubungan baik itu tetap berlanjut tatkala Binsos Mental berubah menjadi Biro Kesra saat IGA Sunendra, TIA Kusuma Wardani, bu Nanik, Ida Bagus Sedawa, AA Yudi maupun Dewa Beratha sebagai Kepala Biro. Keberhasilan pada hubungun kerjasama dengan pihak pemerintah tidak disertai dengan keberhasilan dalam meningkatkan jumlah mahasiswa (sebagai sumber utama penghasilan dan pembiayaan). Jumlah mahasiswa angkatan 1996 mahasiswa Unhi hanya 6 orang di antaranya I Wayan Artana-PNS Kemenag (adiknya Pandita Dukuh Acharya Daksa, Semaga); angkatan 1998, meningkat menjadi 37 orang di antaranya: Ida Bagus Rai Dwija, Ida Bagus Wika Krisnha, I Nyoman Dayuh, Ida Ayu Alit Ardani, IGA Yuni Indrayani, Ida Bagus Surya Manuaba. Angkatan Tahun 2000 berjumlah 52 orang diantara Edy Purwanto, Ni Komang Rosmawati, I Made Wina, Ni Kadek Artawati, Ida Ayu Puspita Dewi, Ni Made Ariani, dan I Made Sadawijaya. Sedangkan angkatan 2001 jumlah mahasiswa 54 orang di antaranya Nanang Sutresno, Ida Ayu Manik Astuti, I Gde Sudharma, Wayan Dariana, I Ketut Ketjap, Ida Bagus Pada Kusuma dan I Nyoman Legiawan. Dengan jumlah mahasiswa sangat minim, biaya operasional sepenuhnya dibantu Yayasan Hindu Dharma yang ketuanya saat itu I Gusti Putu Raka, SH yang juga ketua YPWK dan Ketua DPRD Bali). Walaupun Unhi kala itu sudah memiliki Yayasan (Kelahiran YPWK belakang setelah IHD ada), namun fungsi yayasan sebagai penyelenggara tidak optimal, karena Yayasan tidak mampu menghasilkan uang selain dari sumber penghasilan mahasiswa. Keterbatasan yang ada menyebabkan sebagian kampus Unhi disewakan kepada Pemda Badung karena pusat Pemerintahannya di Lumintang dibakar massa. Ikon Unhi sebagai institusi Pendidikan Agama memudar, di bawah bayang-bayang Pemda Badung.
Good Will I Gusti Bagus Alit Putra sebagai Bupati Badung dengan Ida Bagus Yudara Pidada (Alm.) sebagai Sekda Badung kala itu memiliki peranan penting dalam memperbaiki asset Unhi yang serba tidak terpelihara, serba kumuh, dan terabaikan untuk menjadi bangunan yang layak digunakan sebagai kantor dan kampus. Beberapa puluh karyawan Pemda Badung dikuliahkan di Unhi, demikian pula karyawan Kota Madya Denpasar dan Provinsi Bali mulai menjadi mahasiswa Unhi. Dengan langkah strategik seperti itu, membuat jumlah mahasiswa semakin banyak, namun tidak lebih dari 200 orang pada Tahun 2001.
Dua periode masa pemerintahan Prof. IGN Nala, MPH telah berakhir pada Desember 2001, dan ditetapkanlah Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, MM, MSi sebagai Rektor Unhi periode berikutnya TMT 06 Januari 2002. Beliau adalah seorang ilmuwan idealis, sangat berpengalaman memimpin Perguruan Tinggi Swasta (Undiknas), dan memiliki jejaring kuat baik pada tingkat lokal maupun Nasional (Ditjen Dikti). Setelah dua tahun memimpin beliau mengundurkan diri dengan alasan sakit. Beliau pernah menyatakan kepada saya pribadi “bahwa semestinya yang memikirkan uang bukan Rektor, tetapi Yayasan. Rektor hanya memikirkan urusan akademik untuk menjadikan Unhi maju” sebagaimana pengalaman beliau sebagai Ketua Yayasan Undiknas maupun Rektor Undiknas. Sekalipun masa pemerintahan beliau relatif pendek (dua tahun), tetapi hasilnya nyata berupa: pendirian program studi S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan (Dikti), menata sistem keuangan lebih baik, walau nominalnya kecil; dan mengukuhkan Ida Bagus Gde Yudha Triguna pada Oktober 2002 sebagai Guru Besar Unhi yang pertama dan memberi tugas sebagai Direktur Pascasarjana.
III Membangun Kembali Unhi dari Pascasarjana.
Dengan bermodalkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.: 3191/D/T/2002 tertanggal 23 Oktober 2002 Tentang Ijin Penyelenggaraan Strata Dua Ilmu Agama dan Kebudayaan, maka kami yang diberi tugas resmi oleh Rektor saat itu (Saya Direktur, Dr. Ida Bagus Gunadha-Sekretaris, Wayan Paramartha, SH-Bendahara dan Wayan Drs. Budi Utama, mulai menyiapkan ruangan di bawah perpusataan Unhi yang sekarang menjadi FT Unhi. Dengan dua ruang kelas, satu di bagian barat kelas besar, satu di bagian Timur kelas kecil, dan di sebelahnya dijadikan ruang Direktur cukup satu meja. Sementara administrasi dibuatkan sekat di pojok Utara-Barat lantai dua Perpustakaan Unhi. Kami beli cat sendiri, kursi merah yang menjadi kursi Direktur adalah kursi di rumah saya (kursi itu masih ada di ruangan Ketua Prodi Ilmu Agama dan Kebudayaan serta Prodi Doktor Pendidikan Agama).
Cara yang digunakan merekrut mahasiswa pun konvensional dengan mengandalkan hubungan kekerabatan dan hubungan patronase. Secara sosiometri dapat ditebak siapa yang menjadi aktor perekat garis-garis penghubung itu 74 orang mahasiswa S2 angkatan pertama. Sebut saja Ida Bagus Wijaya Kusuma (Alm.), I Gusti Goda, Ida Bagus Nada, Ida Bagus Anom Widya, Ida Bagus Indraprasta, Ida Bagus Rai Dharma Wijaya M. Ida Bagus Lodra, Ida Ayu Ratna, Dewa Ayu Sri Wigunawati, AA. Anie Asmoro, Wayan Budi Utama, Wayan Suka Yasa, Wayan Sukarma, Jaya Serata Berana, Jaya Suhartama, Putu Gede Suata, Ida Bagus Agastia, dan I Gede Sura. Yang menarik ketika menghubungi Ida Bagus Agastia dan I Gede Sura, ada hal yang dinyatakan: “Bli tolong ikut kuliah karena kami memerlukan tenaga bli. Ini hanya formal saja, karena aturan mensyaratkan pengajar S2 harus sekurang-kurang S2. Nanti kalau kuliah jangan bertanya kepada dosen, karena pengetahuan Dosen yang akan mengajar tentu kualitasnya di bawah bli”. Artinya, kebangkitan dan pengembangan institusi dapat dilandasi mesuaka, terlebih berstatus institusi swasta.
Sebagian dari mereka dicarikan cara agar tidak membayar SPP sampai tamat. Tidak hanya berhenti di situ, jabatan Direktur sekaligus teman punya tugas untuk memberi motivasi bahkan mencarikan jalan untuk dapat melanjutkan pendidikan sampai strata tiga atau Doktor, sesuatu yang barangkali tidak terpikirkan olehnya sebelumnya karena alasan ekonomi. Semua itu dilakukan untuk sebuah cita-cita agar Unhi maju secara akademik, memiliki jejaring sosial yang luas, dan kuat akarnya pada masyarakat Hindu di Bali. Beasiswa dan sponsorsip diambilkan dari 80% anggaran Pascasarjana setelah dipotong setoran kepada Rektor sebesar 20 %.
Banyaknya tokoh-tokoh Agama, Pemerintahan, dan Politik yang kuliah di S2 Unhi (Periode 2003-2010) telah mendorong masyarakat untuk mengikuti langkah-langkah para pemimpinnya (budaya faternalistik). Di Amlapura dipelopori oleh Putu Arnawa dan Madri (Sekda) bertempat di STKIP Agama Hindu,. Di Singaraja bekerjasama dengan Ibu Putu Karmadi, di Klaten bekerjasama dengan STHD Klaten, Jakarta dengan STAH DN, Lampung bekerjasama dengan STAH Lampung, Surabaya bekerjasama dengan Pengempon Pura Jala Siddhi, Juanda, dan Palangka Raya dengan STAH Tampung Penyang. Kehadiran para Ilmuwan dari UI, UNPAD, UGM, UNUD, dan UNDIKSA untuk memberi kuliah dan menjadi pembicara dalam seminar bulanan membuat Pascasarjana Unhi semakin dianggap sebagai kompetitor. Seluruh aktivitas Pascasarjana semakin epektif dan semakin mengangkat harkat dan martabat Unhi pada tataran lokal dan nasional berkat bantuan dan kerjasama dengan berbagai media, baik cetak maupun elektronik.
Ketika yudisium Pascasarjana yang pertama tahun 2005 dilaksanakan, terkumpullah dana sumbangan spontan sebesar Rp 37 juta untuk sumbangan pembangunan gedung Pascasarjana yang digagas oleh Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, M.S saat itu, dengan konsep pembangunan Ipil-Ipil. Jumlah itu amat kecil jika dibandingkan dengan besaran uang yang habiskan membangun fasilitas gedung itu yakni 2,7 Milyar saat gedung itu diresmikan oleh Dewa Made Beratha, Gubernur Bali pada 2 April 2007. Sejak awal pembangunan (2005), peranan umat tampak dominan. Katakanlah, Dewa Made Beratha memberikan sumbangan 1.000 sak semen dengan sistem DO dan mengambil barangnya di jalan Gunung Agung Denpasar. Wayan Gredeg; Bupati Karangasem membantu puluhan truk batu kali untuk menata jurang di sebelah Timur; Nyoman Sudiana kepala Dinas PU Provinsi Bali, asli Bukit membantu puluhan truk batu karang putih untuk nimbun tembok batu kali. Anak Agung Jater Sudarsana pemilik Art Shop Garuda juga membantu beberapa ratus batu merah; melalui CSR PLN Ngurah Adnyana membantu 50 jt; Alit Antara Direktur BRI membantu 50 jt, Pak Mandra Dirut BTDC melalui arahan Dewan Komisaris bapak Erata membantu 50 Jt, Anak Agung Gde Agung, Bupati Badung membantu biaya pembuatan Pintu Kori ruang Direktur sebagainya. Malahan dalam perjalanan pembangunan gedung ini, sertifikat rumah pribadi Ida Bagus Gde Yudha Triguna yang terletak di Jalan Ratna Gang Melati no 7 pernah dijadikan wala untuk meminjam uang di BPD Canang Kreneng karena dalam kurun waktu lama sumbangan tidak diperoleh. Saat itu, kelapa BPD Kreneng, Ida Bagus Wedaagama pernah menyatakan “Bli bani sajan, dados tanah pribadi dijaminkan untuk institusi entah milik siapa. Kalau tidak bisa bayar sapunapi ? Jawab saya ini resiko saya, dan diesel sedang panas. Membangun membutuhkan kesungguhan, keberanian, dan keiklasan”.
Di sela-sela pembangunan gedung Pascasarjana, pada Nopember-Desember 2005 terjadilah pemilihan Rektor baru. Sebagai Rektor (PAW) atas pengunduran diri Prof. Dr. IGN Gorda saat itu adalah Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha. Saya dicari oleh beliau Prof. Dr. Gunadha dan beliau agar dapat melanjutkan satu periode lagi, sehingga dapat melanjutkan pembangunan Laboratorium Bahasa (bantuan Mangku Pastika) dan Gedung Rektorat. Saya katakan durusang bli, biarkan tiang memegang Pascasarjana saja”. Hentah apa yang menyebabkan, saya tidak melamar jadi Rektor, saya tidak membuat tim sukses, dan saya tidak ikut saat pemilihan berlangsung, tetapi memenangkan pemilihan jabatan Rektor periode 2006-20010 dengan suara mayoritas TMT 06 Januari 2006, dengan tidak melalui pelantikan (atas permintaan saya sendiri), langsung kerja !
Setelah enam bulan menjadi Rektor Unhi, saya dilantik sebagai Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI tanggal 21 Juni 2006. Dalam kurun waktu bersamaan saya harus mengerjakan dua tugas pokok, yaitu memajukan dan mengembangkan Unhi sebagai bagian dari swardarma dan komitmen memajukan institusi Hindu serta melaksanakan tugas Pemerintah mengatur strategi pembinaan umat di Indonesia. Berlakunya UU Guru dan Dosen, mengharuskan Guru Agama Hindu memiliki strata pendidikan minimal D4 atau S1 serta untuk tenaga Dosen minimal berpendidikan S2. Momentum ini kemudian memberikan peluang bagi Unhi untuk lebih memantapkan peran dalam membina tenaga kependidikan dan Dosen Perguruan Tinggi Hindu di Indonesia. Status akreditasi A pada Prodi Filsafat Agama saat itu, menjadi dasar pemberian kewenangan kepada Unhi bersama Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar untuk menjadi mitra Pemerintah (Ditjen Bimas Hindu) dalam melaksanakan program peningkatkan kualifikasi tenaga kependidikan dengan jumlah 2.700 orang di seluruh Indonesia. Para Dosen Unhi menyebar ke seluruh Indonesia sebagai mentor dalam proses tutorial. Wawasan dan pengalaman Dosen Unhi semakin terbuka dan meluas, selain mereka memperoleh penghasilan yang semakin baik. Unhi menjadi “Guru” bagi para guru agama Hindu, dosen pada Perguruan Tinggi Agama Hindu, dan komponen masyarakat Hindu di seluruh Indonesia.
Sementara Unhi mengembangkan dirinya menjadi agent of Change dinamika umat Hindu di Indonesia melalui program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh (PTJJ), Unhi terus mengembangkan prodi baru, dengan merubah prodi Usadha (lokalitas dan cenderung dianggap sebagai sekolah Balean) menjadi Fakultas Ayurvedik (lebih akademik dan berorientasi ke Kesehatan Timur ). SK Menteri Agama RI saat itu M. Maftuh Basyuni No 56 Tahun 2008, tertanggal 2 Juli 2008 menjadi tongggak kelahiran Ayurveda sekaligus sebagai momentum dimungkinkannya Fakultas ini memperoleh dibantu Pemerintah, baik sarana-prasarana maupun kegiatan untuk meningkatkan mutu dosennya. Pembangunan sarana gedung Ayurveda diresmikan tanggal 8 Oktober 2009 oleh Menteri Agama RI , yaitu M. Maftuh Basyuni. Sementara peningkatan SDM dilakukan dengan Short Chourse 3 bulan ke Dev Sanskreet University di Utara Parades untuk sejumlah dosen Ayurveda, filsafat, dan bahasa Sanskerta. Berbagai fasilitas lab sederhana juga diberikan bantuan Pemerintah agar Fakultas Ayurveda dapat menjadi semacam ikon Unhi baru yang tidak saja memiliki ciri lokalitas, tetapi juga Internasional. Setidaknya kerjasama itu diwujudkan dengan kehadiran Prof. Sharma, Dr. Abhisek Joshi di Universitas Hindu Indonesia dan bantuan ICCS untuk (RS) Ayurveda.
Bersamaan dengan pembangunan gedung Ayurveda juga direnovasi Pura Maha Widya Mandira Unhi (2009-20010). Pura yang tadinya sangat rendah cendrung berada di bawah, oleh Ida Peranda Telabah (dr. Ida Bagus Narendra, M.PH sewaktu Walaka) diingatkan agar Pura semestinya dibuat lebih tinggi agar sesuai dengan bangunan Pascasarjana dan Ayurveda yang kala itu sudah selesai, serta bangunan Rektorat yang kala juga sedang dalam proses penyelesaian. Kebun di lingkungan kampuspun ditata oleh Ida Bagus Astika dan seluruh tiang listrik, baik halaman kampus maupun dilapangan tenis disumbangkan oleh Ngurah Adnyana dan Agung Mastika (PLN). Setelah pura selesai dipugar, diselenggarakan upacara ngenteg linggih, dan momentum ini dimanfaatkan untuk melaksanakan Utswa Bali Sani yang pertama.
Pembangunan fisik Universitas Hindu Indonesia terus berlanjut dengan rehab Fakultas Teknik, Gedung Fakultas Pendidikan Agama dan Seni, dan MiPa. Terakhir adalah pembangunan Auditorium Widya Sabha yang menggunakan anggaran Kemenag, Kemenpora, dan Dikti (semua dokumen ada pada ruang WR II kala itu Ibu Indiani dan AAN Sadiartha). Konsentrasi pada pembangunan fisik, tidak menyurutkan pengembangan prodi baru dan Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga pengajar. Pada Tahun 2006 dihidupkan kembali ijin Prodi Sipil FT dan Ekonomi Manajemen, selanjutnya pada tahun 2008 diusulkan pembuatan ijin prodi Planologi atas dorongan IG Anindya Putra. Bersamaa dengan itu dihidupkan lagi prodi Akutansi pada Fakultas Ekonomi dan berikut adalah penerbitan empat prodi empat prodi baru di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni serta satu prodi di FIA, yaitu prodi hukum agama Hindu. Pada tahun 2009 atas nama Menteri Agama, Dirjen Bimas Hindu (Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, M.S) mengeluarkan ijin No. DJ.V/145/SK/2009 tertanggal 5 November 2009 tentang ijin penyelenggaraan program Doktor Ilmu Agama dan Kebudayaan serta program Doktor Ilmu Pendidikan Agama di Universitas Hindu Indonesia.
Peningkatan mutu tenaga pengajar dilakukan dengan menyekolahkan tenaga dosen berpendidikan S2 menjadi S3 dan mendorong temen-temen yang sdh S3 untuk mendapatkan jabatan akademik Guru Besar. Dalam kurun waktu 11 tahun (2003 sampai 2014) lebih dari 35 orang dosen Unhi dicarikan beasiswa pendidikan strata tiga, lebih dari 40 orang dicarikan sumber beasiswa dan bantuan penyelesaian studi, serta lebih dari 30 orang tenaga dosen Unhi mendapatkan kesempatan mengikuti Short Chourse, ke Leiden, Belanda maupun ke India. Begitu juga beberapa dosen Unhi mendapatkan hibah penelitian di Kementerian Agama, tidak terlepas dari kemampuan dosen Unhi dibandingkan kompetitor lain, dan juga faktor kebijakan yang berpihak pada dosen Unhi bersifat subyektif.
Popularitas Unhi tidak berhenti karena bangunannya atau sarana dan prasarananya semakin baik, dosennya lebih berkualifikasi, dan aktivitas pengabdiannya semakin bermanfaat, baik pada tatanan lokal, nasional dan global, tetapi juga peranan nya dalam pembinanan kesenian sebagai penyangga PIP Agama dan Kebudayaan. Kunjungan 60 orang tim kesenian Unhi ke New Delhi dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI; Kunjungan ke Belgia dan Belanda 01; Kunjungan ke Belanda ke 02, dan keikutsertaan Unhi dalam upacara pemelaspasan pura di Berlin Jerman yang didahului dengan pentas budaya di Lether Musium di Frankfurt maupun pentas Budaya di Musium Etnologi Berlin telah meletakkan dasar hubungan menginternasional. Tidak hanya itu, pentas Cak Unhi di Theater terkenal Belgia (April 2014) telah menempatkan posisi tawar Unhi semakin kuat. Belum lagi pelaksanaan Utsawa Bali Sani sejak tahun 2010 (5-30 September) hingga kini telah menjadi catatan khusus di kalangan masyarakat seni, masyarakat Hindu, dan masyarakat Bali.
Kerjasama dengan Neuseruan University dan Dramatic Art University di Thailand, Dav Sansret University di India, dan Frankfurt University di German adalah contoh bagaimana Unhi berusaha membangun jejaring agar lebih dikenal secara akademik dan seni budaya.
IV Membangun dan Memelihara Jejaring.
Berdasarkan data-data di atas, dapat diabstraksinya bahwa Unhi menjadi maju dan berkembang seperti sekarang ini karena kemampuannya membangun jejajring dengan berbagai komponen masyarakat. Keberhasilan membangun jejaring ditentukan oleh seberapa mampu mengetuk rasa memiliki bersama dan dipercaya (The Speed of Trust) bahwa lembaga ini ada dan berkembang karena dukungan dan peran masyarakat Hindu di luar kampus. Pintar saja tidak cukup, karena mengelola institusi memerlukan kekuatan membangun dan memelihara jejaring sebagaimana diperintahkan Sarasamuccaya Sloka 302 sebagai berikut: “Gunawatsu gunalpo’pi yati, wistaratam nrnam, patitah swadulimale, tailabinduriwambhasi”, yang artinya mesti hanya sedikit kepandaian, tetapi kalau terus menerus bersahabat dengan orang pandai, kepandaian itu akan meluas seperti setetes minyak yang jatuh dalam air, meluaslah minyak itu dalam air”.
Pintar saja, tanpa jejaring dan kemampuan berkomunikasi, maka peranan institusi akan terbatas. Oleh sebab itu, maka peran Unhi (umat Hindu) mampu membangun jejaring serta seni berkomunikasi. Keberhasilan membangun Unhi dalam periode 2002-2012 ditentukan oleh keberhasilan berkomunikasi atas-bawah, kanan-kiri, dan dengan berbagai kalangan. Betul “Dunia kampus adalah dunia akademik”, tetapi dunia akademik akan berkembang dengan baik, jika mampu memelihara dan mengembangkan komunikasi dengan baik, baik dengan pemerintah lokal maupun nasional, berkomunikasi dengan para pengusaha, dan politisi. Lihatlah betapa orang belajar public speaking skill dengan biaya mahal, sebagai media untuk mampu meyakinkan orang lain. Jikau kemampuan berbicaranya kurang, umat Hindu dapat menggunakan media seni untuk menyampaikan maksud, tujuan, dan hal-hal baik yang ingin disampaikan.
Unhi dan umat Hindu sesungguhnya telah memeliki jejaring yang luas tersebar di seluruh nasantara, baik sebagai ASN, TNI-Polri, Karyawan BUMN, Wiraswasta, dan Politisi. Alumni itu semestinya dijaga komitmennya dengan tetap berkomunikasi dan ‘menghargai’ meraka. Oleh karena diperlukan langkah sistematik dan strategik untuk tetap menjadikan mereka agen pengembangkan Universitas Hindu Indonesia di seluruh penjuru tanah air.
V Simpulan
Peranan umat Hindu (Unhi) dalam konteks lokal, nasional dan global sangat nyata. Pada tatanan lokal Unhi telah mampu menjadi peletak dasar pendidikan agama bagi umat dan kelembagaan Hindu lainnya. Tidak saja menjadi ikon pendidikan para pemimpin agama, tetapi juga memberi identitas kultural bahwa Hindu di Bali melalui komitmennya menjadi Hindu Bali yang menekankan pentingnya menyeimbangkan tattwa, tata sulia, dan upacara. Pada tataran nasional, Unhi menjadi barometer standarisasi mutu dan kualifikasi pendidikan bagi guru dan dosen agama serta ASN yang bertugas di lingkungan pemerintahaan. Sedangkan pada tataran global, Unhi melebarkan jejaringnya melalui pengembangan Ayurvedik, Seni, dan budaya akademik.