Doa Seorang Istri
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Surabaya, 17 April 2013).
Perjalanan saya ke Bangka-Belitung tahun 2012 telah memperkenalkan saya dengan seseorang transmigran asal Bali, bapak Made Suta. Banyak cerita yang saya peroleh dari pertemuan itu, baik mengenai suka-dukanya sebagai petani kepala sawit, sebagai tokoh umat yang harus memperjuangkan ‘persamaan’ hak dan fasilitas kepada pemerintah daerah. Ada satu cerita menarik yang saya dapatkan tatkala diajak makan lawar dan minum kelapa muda di rumahnya bersama-sama anggota masyarakat Hindu lainnya. Cerita itu kurang lebih sebagai berikut.
“Seperti biasa pak Suta pergi ke kebun kelapa sawit untuk melihat, merawat, dan memetik kelapa sawit yang telah bisa dipanen. Di tengah perjalanan, pak Suta melihat di sekitarnya sedang datang segerombolan tawon menuju ke arahnya. Saat seperti itu, ia teringat dengan nasehat orang tuanya di kampung agar ia melindungi kepalanya. Iapun segera melindungi kepalanya dengan mengangkat sarung yang dipakainya [kebiasaan Pak Suta ke kebun menggunakan sarung].
Melihat sasarannya tertutup rapat, rupanya tawonpun merubah arah sasaran dan mencari ruang terbuka yang ada...dan akhirnya gerombolan towon menyerang bagian vital pak Suta. Seketika ia merasakan kesemutan dan badannya meriang. Tidak tahan dengan keadaan itu, pak Suta pun balik pulang lebih awal dari biasanya. Sesampai di rumah, istrinya bertanya “kenapa bli pulang lebih awal, biasanya kan pulang menjelang sandyakala”? Karena badannya mulai semakin terasa demam..iapun langsung ngeloyor masuk kamar serta menyatakan bahwa dirinya demam, tanpa sempat memberikan penjelasan lebih detail.
Lewat sadyakala, pak Suta belum juga bangun. Istrinyapun masuk kamar dan mencoba membangunkannya. Istrinyap amat terkejut karena badan suaminya panas. Ia segera ke dapur mengambil dan mengiris tipis bawang merah, mengambil minyak kelapa, dan diisi sedikit garam, kemudian mengoleskannya di badan yang terasa panas. Sentuhan lembut dan penuh kasih sayang sang istri membangkitkan libido Pak Suta dan terjadilah apa seharusnya terjadi sebagai suami-istri.
Besok paginya, istrinya bangun lebih awal dari biasanya. Ayam peliharaan yang biasanya selalu dijual..pagi itu dipotong dan digunakan santapan. Istri pak Suta memasak sayur yang enak. Yang paling mengagetkan pagi itu kata pak Suta, istrinya melayani dan mendampinginya makan [susuatu yang jarang terjadi sebelumnya]. Bahagianya pak Suta hari itu. Sambil duduk mendekat, istri pak Suta berbisik “bli yang kemaren itu luar biasa, tidak seperti biasanya, bli semakin hebat”. Pak Suta merasa bangga dan tersenyum [baru kali ini ia memperoleh sikap manja dan pujian dari istrinya]. Akhirnya, pak Suta baru bercerita tentang kejadian kemaren, tentang dirinya diserang dan disengat gerombolan tawon, gara-gara ia mau melindungi kepalanya, tapi justru yang diserang kepala bawah...yang menyebabkan adeknya bengkak. Hoooow begitu bli, gumam sang istri sambil melayani makan pak Suta makan pagi sebelum kembali pergi ke kebon kelapa sawitnya yang hampir 100 hektar.
Sesaat setelah pak Suta pergi ke kebon kelapa sawit, istrinyapun setelah mandi dan berbusa bersih, ia menghaturkan canang ke sanggahnya disertai doa. Apakah doa penting yang dipanjatkan istri pak Suta ? Banyak yang berseloroh agar disengat tawon lagi. Saya kira tidak ada seorang istripun yang mendoakan agar suaminya celaka, sekalipun suaminya pernah membuat hatinya tidak nyaman. Istri pak Sutapun melakukan trikaya parisuda dengan berfikir dan berdoa positif sebagai berikut. “Ya Sang Hyang Widi Wasa, saya mohon agar suami hamba selamat di perjalanan dan kembali ke rumah juga dengan selamat. Ya Bhatara-Bhetari, saya mohon agar hasil panen kebon kelapa sawit hamba hasilnya berlimpah. Ya, Dewa-Dewi, hilangkanlah rasa sakit yang diderita suami hamba. Tuhan, melalui yadnya ini saya memohon dengan sangat jangan hilangkan bengkaknya Tuhan, semoga dikalu mengabilkan permintaan hambamu ini”
Apa yang dapat disimak dari cerita jenaka tersebut di atas ? Pertama, bahwa hidup kita senantiasa berisi sisi terang dan sisi gelap. Hidup kita ada kalanya senang, sebaliknya ada kalanya sedih. Dalam pandangan agama Hindu, hidup kita senantiasa akan mengalir antara ritus Rwa-bineda. Karena itu, kita senantiasa harus siap tatkala diberi situasi menyenangkan maupun siap ketika diberikan cobaan, sebagaimana dinyatakan dalam sloka Sarasamuccaya sloka 306 yang menyatakan “Na prahryanti sammane nindito natutapyate, na kruddhah parusanyaha tamahuh sadhulaksanam” yang artinya tidak sombong waktu dipuji, tak kecil hati saat dicela.
Kedua, dalam cerita itu ditunjukkan bahwa betapa sang istri memberikan pelayanan dan kasih sayangnya kepada suaminya. Pelayanan dan kasih sayang yang dilakukan semestinya bukan karena diberi terlebih dahulu, melainkan pelayanan dan kasih sayang seharusnya menjadi tindakan dan perilaku kita sehari-hari yang dibiasakan. Sayangilah orang lain seperti menyayangi dirimu sendiri, niscaya engkau akan berbahagia. Tentang hal ini, hasil penelitian Julia Heiman dari Universitas Indiana Amerika Serikat, terhadap 1.009 keluarga menyimpulkan “kaum pria juga membutuhkan pelukan, rabaan, ciuman dn tanda-tanda kasih sayang secara fisik dari keluarganya”.
Ketiga, kita diajarkan untuk senantiasa berusaha berpikir positif, karena jauh lebih bermanfaat bagi kesehatan fisik, emosi, dan spiritual kita. Istri pak Made Suta tidak berpikir dan berdoa agar suaminya disengat tawon lagi, melainkan ia berdoa agar selamat, berhasil, rasa sakitnya hilang, dan bengkaknya jangan dihilangkan....., Svaha.