Skip to main content

Etik Sewaka Dharma dan Layanan Prima.

Lantera: Paroki-Seragen.0r.Id

Sumber Foto: www.martin.com
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Bank Sinar, Denpasar, 16 Mei 2014).

Om Swastiastu,
Upaya meningkatan kualitas pelayanan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja merupakan isu menarik di tahun-tahun terakhir. Persoalan ini tidak saja telah menjadi persoalan penting dalam pemerintahaan, tetapi juga hal sama menjadi modal dasar bagi institusi swasta, terlebih yang bergerak dalam bidang jasa. Sebagai sebuah institusi yang bergerak dalam bidang jasa, institusi perbankan sudah sepatutnya menyadari bahwa meningkatkan pelayanan prima merupakan salah satu sumber dasar agar tercapainya produktivitas kerja. Pelayanan prima dalam istilah Hindu dapat disetarakan dengan sewaka, yang berasal dari bahasa Sanskerta ‘memuja’, ‘abdi’, ‘pelayan’, ‘pengikut’, dan ‘pemuja’. Dalam kaitan ini, sewaka berarti pelayan dharma.

Landasan Etik Sewaka Dharma
Kisah Sang Utangka, Sang Jaratkaru, dan Sang Garuda dalam Adi Parwa dapat dijadikan referensi etik yang berhubungan dengan sewaka dharma. Demikian pula halnya dengan etika aguron-guron yang harus dilaksanakan oleh seorang sisya terhadap gurunya. Dialog antara Sang Suyasa dengan Gurunya Rsi Dharmakerti  berisi tuntunan agar hidup tentram dan damai. Misalnya dalam konteks Sasana Kawikon disebutkan bahwa Sisya dalam kedudukan dan peranannya sebagai siswa kerohanian harus memperhatikan dan mentaati hal berikut :
“…, (1) Sisya ateguhing tuhu, panikel aken tuduhing sang Guru, yang sang Guru anaseraken papa guru yang mangkana (artinya, Pendeta kang anak hendaknya mentaati hukum aguron-guron, tidak pernah lali atau menolak perintah Guru. Jikalau Nabe menyalahgunakan kesetiaan kang anak, maka nerakalah Nabe);  (2) Guru awarah yukti, sisya tan ateguhing tuhum anikelaken tuduh, tang sipisipapa ning sisya yang mangkana (artinya , Pendeta Nabe mengajarkan kebenaran kepada kang anak, tetapi pendeta kang anak jika tidak memegang kesetiannya kepada Pendeta Nabe, melalaikan atau menolak melaksanakan perintahnya, tiada terhitung neraka bagi Pendeta kang anak”); (3) Apan tunggal amet kalawan pimet, muang pada rupakira, mwang swarganya (artinya, hubungan Nabe dengan Pedeta kang anak merupakan kesatuan, sebab satu aturan yang diikuti dan sorganyapun sama (1975:6).
Sisya dalam kedudukan sebagai siswa kerohanian memiliki tugas sepatutnya: 
(1) Memiliki hubungan dekat dengan nabe, terutama untuk memperoleh petunjuk dan penjelasan tentang pelaksanaan sasana kawikon, agar terhindar dari perbuatan terlarang, terutama berkaitan dengan ajaran dasa sila; (2) Senantiasa hormat kepada Nabe. Seorang Sisya kerohanian hanya tunduk kepada perintah Nabe. Bagaimanapun keadaannya, jikalau perintah itu berasal dari Nabe, maka hal itu harus dilaksanakan (3) Secara simbolik penghormatan kepada Nabe itu dapat dipahami dari aturan; (a) tidak boleh mencela Nabe; (b) pantang menginjak bayangan nabe; (c) ketika makan bersama Nabe, seorang Sisya sepatutnya mengakhiri makan sesudah Nabe selesai melakukannya; (4) Sisya harus menyembah Nabe sekalipun hal itu harus dilakukan di depan orang banyak, dan jika ada sisya yang tidak melakukan hal itu, maka disebit Wiku Angurusuk. Tata cara menyebahpun diatur secara jelas, misalnya Sisya tidak boleh menyembah manakala bertemu di jalan, di gang, ditempat permandian. Sisya hanya hormat dengan cara menundukkan kepada dan tersenyum. Jikalau Nabe sedang menggendong bayi ; (cucu atau cicitnya), pantang untuk disembah; dan (5) Sisya harus berlaku jujur kepada Nabe. 
Kutipan sloka di atas, pada hakikatnya ingin menunjukkan bahwa dalam agama Hindu etik yang berkaitan dengan pelayanan bukan sesuatu yang baru, malahan telah terwujud dalam bentuk yang sangat  spesifik. Namun ada satu hal yang dapat ditarik dari semua itu adalah pentingnya tanggung jawab, kerendahan hati, dan kejujuran ketika kita hendak melaksanakan sewaka dharma.

Etik Sewaka Dharma dalam Lembaga Perbankan
Pertama, dalam kaitan dengan tanggungjawab agama Hindu menekankan pentingnya pekerjaan dipandang sebagai bagian dari yadnya. Tuhan (Prajapati) telah melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia, yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaanNya itu yang disebut Rta (Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1). Tuhan sendiri juga harus bekerja untuk mempertahankan eksistensi alam semesta (Bhagawad Gita, III 10, 22, 23, 24). Oleh karena itu manusia harus bekerja atau berkarma  sebagaimana halnya Tuhan telah memberikan Kamadhuk melalui yadnya Nya. Dengan kata lain kerja adalah sebuah yadnya. Dalam Atharva Veda (III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu juga mengajarkan umatnya untuk bekerja keras dengan penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15).

Dengan landasan bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap umat Hindu untuk tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab. Menjadi Dosen, menjadi tukang cuci mobil, membersihkan rumah, dan mejadi karyawan Bank Sinar semua itu adalah sarana untuk melaksanakan yadnya, dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Substansi ini adanya seruan kepada kita bahwa setiap pekerjaan memiliki kemuliaannya sendiri, yang mampu memberikan citra diri dan kemuliaan hidup kepada setiap orang yang memandang pekerjaan itu sebagai yadnya.

Kedua, kerendahan hati menjadi etik yang tidak kalah pentingnya dengan kerja sebagai yadnya. Kerendahan hati seperti ini bersumber dari mahawakya Tat Twam Asi adalah ajaran normatif, yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan ajaran Tat Twam Asi

Dalam Athavaveda (7.54.1) disebutkan hal sebagai berikut. “Samjňănam nah svebhih samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, artinya: Kami menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam) dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarilah kami tentang kesatuan (samjnanam). 

Kerendahan hati dan persaudaraan juga dapat dipahami pada sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut. ‘Busana’ kekayaan adalah keramahan, ‘busana’ orang kuat adalah ucapan halus, ‘busana’ pengetahuan adalah kedamaian, ‘busana’ orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ‘busana’ tapa tidak lekas marah, ‘busana’ orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain. 

Tat Twam Asi tidak bisa dilaksanakan jika di dalam diri kita masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, fitnah, dan seterusnya kepada pihak lain. Karena sifat-sifat tersebut mempersempit atau menghalangi kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Karena itu, ajaran ini baru menjadi dasar sewaka dharma, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri. Salah satu cara untuk melatih disiplin berdasarkan kerendahan hati dengan menyadari lima kelemahan manusia, yaitu: (1) Avidya yaitu kesadaran akan realitas yang cendrung melemah; (2) Asmita, yaitu keakuan yang cendrung meningkat; (3) Ràga, yaitu keterikatan akan objek pesona semakin menjadi-jadi; (4) Dveûa, yaitu kebencian kepada yang tidak menyenangkan; dan (5) Abhinivesà, yaitu ketakutan menghadapi kematian.

Sebagai karyawan yang menjual jasa, menjadi kewajiban setiap karyawan untuk  selalu menilai yang datang itu utusan Tuhan, dan jangan sekali-kali menganggap mereka sebagai ‘pesakitan’. Sebagai utusan Tuhan kedatangan seseorang pasti membawa pahala bagi diri sendiri, keluarga, dan perusahaan. Oleh karena itu, sambutlah mereka dengan tegur sapa dan senyum yang tulus. Bukankah secara fisikal dan energi pekerjaan senyum jauh lebih ringan dari cemberut?

Ketiga, kerja keras dan kerendahan harus disertai dengan kejujuran. Sebagai sebuah lembaga keuangan, maka kepercayaan dan kejujuran sangat memegang peranan penting. Hal ini sangat ditekankan dalam etos kerja Hindu, sebagaimana tersirat dalam Sarasamuccaya  (157, 76, 20, 75, 74).
Ketiga substansi tersebut di atas harus lebih dioperasionalkan ke dalam etik profesional, seperti misalnya: 1) ketepatan dan semangat pelayanan, 2) akurasi, 3) kesopanan, 4) kemudahan, 5) kenyamanan dan fasilitas pendukung. 

Perlunya Kerjasama
Kualitas pelayanan yang prima hanya mungkin dicapai jika ada kerjasama antara pemilik modal, managemen, karyawan, dan nasabah.  Pimpinan harus memiliki kemauan dan kemampuan melaksanakan etik tadi. Oleh karena itu, pemimpin harus memiliki pengetahuan anviksaki (filsafat), trayi (wedatrayi), vartta (ekonomi), dan dandaniti (ilmu politik). Karyawan harus mampu membangun semangat sewaka dharma dalam pekerjaan. Namun karyawanpun memiliki hak-hak yang tidak boleh begitu saja diabaikan oleh pihak managemen. Distribusi penghasilan hendaknya dinikmati secara proporsional dan seimbang antara pemilik, karyawan, dan masyarakat luas yang telah bersedia turut serta membesarkan lembaga itu. Oleh karena itu, ketiga kelompok ini hendaknya memiliki perwakilan untuk saling mengontrol pihak lain. Dalam bahasa etika agama masing-masing pihak bertugas mengingatkan pihak lain untuk tetap berlajan di atas landasan dharma. Karena bank yang dilandasi oleh spirit Hindu cenderung tidak akan menelantarkan para pekerjanya, maka prinsip dasar yang harus dilaksanakan adalah “bekerja sebagai kurban untuk memelihara hidup”

Setelah memperoleh sewaka dharma, maka menjadi kewajiban setiap anggota masyarakat yang memanfaatkan jasa bank untuk mentaati segala kewajiban mereka. Sebab jelas dinyatakan dalam kakawin Bomantaka, seseorang yang ingkar terhadap kewajiban (mirat dana, candela karma) dianggap letehing laksana, sehingga sedapat mungkin hindari hal-hal seperti itu.

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga ada manfaatnya. Akhirnya, saya mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Yakinlah hal itu semata-mata karena keterbatasan saya sebagai manusia (Ksirarnawa, Art Centre, 16 Mei 20014).







Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar