Skip to main content

Etika Bisnis dalam Hindu, Apa Itu ?

Sumber Foto: Tribun Bali- Tribunnews.com.
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Jakarta, 2011)

Om Swastiastu, 
Pertama-tama ijinkan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak/ibu sukaduka karyawan Bank Indonesia yang telah mengundang saya untuk memberikan dharmatula dan Dharmawacana pada ‘Jumatan’ yang diselenggarakan siang ini. Tema yang diberikan kepada saya adalah Etika Bisnis dalam Teologi Hindu, sebuah tema besar, aktual, dan menarik.

Seorang ilmuwan Barat (Max Weber) pernah menyatakan bahwa agama Hindu tidak memiliki etika bisnis yang mampu menghasilkan para pekerja dan interpreneur yang hamdal, karena agama Hindu lebih mementingkan kehidupan sesudah mati, ketimbang kehidupan di alam ini.  Agama-agama tradisional [istilah yang digunakan untuk menyebutkan agama Hindu] “menekankan pentingnya  dunia transenden, nonmaterial, dan harapan hidup sesudah mati. Cita-cita agama tradisional membalikkan prioritas alamiah dengan menyatakan “penderitaan dan kesulitan memiliki nilai rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu memperoleh pahala di alam baka”. 

Dalam kurun waktu yang amat lama, pernyataan ini seolah-olah benar, disebabkan tidak banyak orang Hindu yang mau melakukan kajian terhadap Brahma Vidya (Teologi) Hindu untuk membuat bantahan terhadap pernyataan itu. Baru kemudian penelitian Geertz (1960an dan Bagus (1980-an) dan penelitian lainnya telah  menghasilkan kajian empiris mengenai etika Hindu dalam bisnis. Pertanyaan selanjutnya, apakah penelitian mengenai etika bisnis itu memiliki sumber dalam agama dan susastra Hindu sehingga dapat dijadikan acuan dan referensi teologis?

Umat Sedharma dan Berbahagia,
Hindu jelas bukanlah agama yang semata-mata mementingkan kehidupan sesudah mati, melainkan secara tegas menekankan pada hal-hal yang terjadi saat ini, pada kehidupan sekarang. Dalam konteks kerja, Hindu jelas menekankan bahwa “kerja yang dilakukan bukanlah semata-mata untuk hidup, melainkan untuk menghasilkan kerja dan malahan sebagai representasi yadnya untuk.mencapai kemuliaan hidup”. Untuk menguatkan akan hal itu, dalam Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1 dengan tegas dinyatakan bahwa Tuhan (Prajapati) telah melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia, yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang disebut Rta. Tuhan sendiri juga harus bekerja untuk mempertahankan eksistensi alam semesta (Bhagawad Gita, III 10, 22, 23, 24). Oleh karena itu, manusia harus bekerja atau berkarma  sebagaimana halnya Tuhan telah memberikan kamadhuk melalui yadnya Nya. Dalam Atharva Veda (III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu juga mengajarkan umatnya untuk bekerja keras dengan penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15).

Umat Sedharma yang Berbahagia, 
Dengan landasan bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap umat Hindu untuk tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab. Menjadi Dosen, menjadi tukang cuci piring,  membersihkan rumah, dan mejadi karyawan restaurant semua itu adalah sarana untuk melaksanakan yadnya, dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Substansi dari itu semua adanya agama Hindu memandang bahwa setiap pekerjaan memiliki kemuliaannya sendiri, yang mampu memberikan citra diri dan kemuliaan hidup kepada setiap orang yang memandang pekerjaan itu sebagai yadnya. 

Dalam konteks kerja itu, Hindu menekankan sebuah etik “kerendahan hati”. Kerendahan hati seperti ini dapat dikembalikan kepada sumbernya, yaitu mahawakya tat twam asi sebuah ajaran normatif, yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan ajaran Hindu. Dalam Athavaveda (7.54.1) disebutkan hal sebagai berikut. “Samjňănam nah svebhih samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, artinya: Kami menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam) dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarilah kami tentang kesatuan (samjnanam). 

Umat Sedharma yang Berbahagia,
Etika kerendahan hati juga dapat dipahami melalui sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut. ‘Busana’ kekayaan iklas beramal, ‘busana orang kuat adalah ucapan halus, ‘busana’ orang yang belajar buku-buku suci adalah kedamaian, ‘busana’ tapa tidak lekas marah, ‘busana’ orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain. 

Aspek lain yang juga dianggap penting dalam kerja adalah sifat jujur. Sebagai penjual jasa, maka kepercayaan dan kejujuran sangat memegang peranan penting. Hal ini sangat ditekankan dalam etos kerja Hindu, sebagaimana tersirat dalam Sarasamuccaya  (157, 76, 20, 75, 74). Semua itu (jujur) hanya dapat dibangun melalui usaha sungguh-sungguh mulai dari diri sendiri. Tidak akan pernah ada orang lain yang mampu membangkitkan potensi diri kecuali oleh diri kita sendiri.

Kerjasama dan perluasan kerjasama dalam suatu bisnis itu tidak akan pernah terwujud dengan baik jika di dalam diri kita masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, fitnah, dan seterusnya kepada pihak lain. Karena sifat-sifat tersebut mempersempit atau menghalangi kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Karena itu, ajaran ini baru menjadi dasar sewaka dharma, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri. 

Dalam Hindu jelas disarankan, misalnya sebagai karyawan yang menjual jasa, menjadi kewajiban setiap karyawan untuk  selalu menilai yang datang itu utusan Tuhan, dan tidak dibenarkan menganggap mereka sebagai ‘pesakitan’. Sebagai utusan Tuhan kedatangan seseorang pasti membawa pahala bagi diri sendiri, keluarga, dan perusahaan. Oleh karena itu, Hindu mengajurkan sambutlah mereka dengan tegur sapa dan senyum yang tulus. Etik ini dikenal dalam ajaran sewaka dharma anjuran untuk melakukan pelayanan dengan penuh iklas dan total. Sloka berikut dalam banyak hal acapkali menjadi acuan etika kerja dalam aktivitas bisnis sebagai berikut.
Pratena diksam apnoti
Diksaya apnoti daksinam
Daksina sraddham apnoti
Sraddhaya satyam apyate
(Yajur Weda.19.30)
Artinya:
Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian,
Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan
Dan dengan kehormatan kita peroleh kebenaran
Umat Sedharma yang Berbudi,
Secara implisit kerendahan hati, kerjakeras, dan jujur merupakan etika kerja yang paling dasar. Tidak ada bisnis yang akan berjalan dengan baik, jika tidak dilandasi dengan sifat rendah hati, kerjakeras, dan jujur. Semua bentuk persahabatan akan hilang kalau jika kita tidak pernah jujur. Penegasan itu sesungguhnya menjadi axioma etika Hindu dengan menyatakan bahwa segala tindakan manusia [termasuk bisnis] harus didasarkan dengan Dharma sebagaimana tersirat dalam sloka berikut. 
Apan ikang artha, yan dharma lwiring karjananya, ya ika labha ngaranya, paramartha ning amanggih sukha sang tumemwaken ika, kuneng yan adharma lwirning karjananya, kacmala ika, sininggahing de sang sajjana, matangnyan haywa anasar sangkeng dharma, ya tangarjana. Sarasamuccaya 26.
Artinya:
Sebab uang itu, jika dharma landasan memperolehnya, laba atau untung namanya; sungguh mengalami kesenangan orang yang beroleh uang itu; akan tetapi jika uang itu diperoleh dengan jalan a-dharma, merupakan noda uang itu, dihindari oleh orang yang berbudi utama; oleh karena itu janganlah bertindak menyalahi dharma, jika anda berusaha menuntut sesuatu.
Hana pwa mangke kramanya, mangga makasadhanang adharma, an pangarjanartha, an sadhana ring dharmaprayojananikang artha denya, ikang wwang mangkana kramanya, leheng juga yang tan pangarjana, apan yukti temen ikang maninggahi latek sangka ring mangambah, yadyapin, wasehana awasananya. Sarasamuccaya 264
Artinya:
Jika ada orang yang begini perilakunya; mau ia dengan adharma (menyalahi dharma) berusaha mendapatkan uang , kemudian uang itu dipakai membiayai usaha-usaha yang bersifat dharma; orang yang demikian perilakunya, lebih baik ia tidak berusaha secara demikian ; sebab lebih benar orang menghindari lumpur dari pada menginjaknya, walaupun akhirnya akan dapat dibasuhnya.
Sebab di antara banyak macam pembersihan  yaitu penghilangan kotoran dengan daun-daunan, penghilangan kotoran dengan  cara berlutut, penghilangan kotoran dengan air, penghilangan kotoran dengan abu dan lain sebagainya; maka penghilangan kotoran dengan uang yang lebih utama; artinya: yang disebut penghilangan dengan uang, menjauhkan uang yang tidak patut; itulah disebut pembersihan yang utama, adapun pembersihan dengan air dan sejenisnya bukanlah pembersihan yang utama itu.  Artinya, "uang yang diperoleh dengan jalan jahat, uang yang diperoleh dengan jalan melanggar hukum ataupun uang persembahan musuh; uang yang demikian halnya jangan hendaknya diingin-inginkan".

Umat Sedharma yang Berbahgia,
Sloka di atas memeberikan dasar etika bisnis bahwa uang itu penting, tetapi tidak segalanya. Uang itu harus dicari dengan cara-cara yang dibenarkan agama. Pebisnis Sangat dilarang untuk melakukan miratdana, yaitu tindakan menipu, misalnya tidak membayar kewajiban, tidak memenuhi janji yang pernah diucapkan, dan tidak melaksanakan kewajiban yang sepatutnya dilakukan. Seorang pebisnis tidak dilarang berbohong untuk mendapatkan sari dari swadharmanya. Setidaknya hal itu tersirat dari isi sloka berikut.

Ada lima macam 'kebohongan' yang dapat dilakukan dengan tidak ada hukumannya, yaitu 1] di waktu sedang berpesta, 2] di waktu pertemuan pengantin, 3] guna menjaga harta benda, 4]  guna melindungi nyawa, dan 5] di waktu bersenda gurau. Di luar kelima macam ini, engkau akan dibawa ke kawah (Niti Sastra).

Jadi, seorang pebisnis sejati jelas tidak dibenarkan untuk miratdana, tetapi demi untuk mendapatkan sari atas pekerjaannya ia dapat berbohong tanpa harus menanggung dosa atas perbuatannya. Perbuatan itu semata-mata hanya untuk memelihara dan menjaga kelangsungan harta benda yang dimilikinya.

Hadirin Sedharma yang Berbahagia,
Setiap orang yang telah melaksanakan kewajibannnya atas dasar etika kerja seperti disebutkan di atas, patut memperoleh hak-hak yang tidak boleh begitu saja diabaikan oleh pihak managemen. Distribusi penghasilan hendaknya dinikmati secara proporsional dan seimbang antara pemilik, karyawan, dan masyarakat luas yang telah bersedia turut serta membesarkan lembaga itu. Oleh karena itu, ketiga kelompok ini hendaknya memiliki perwakilan untuk saling mengontrol pihak lain. Dalam bahasa etika agama masing-masing pihak bertugas mengingatkan pihak lain untuk tetap berjalan di atas landasan dharma. Karena spirit Hindu cenderung tidak akan menelantarkan para pekerjanya, maka prinsip dasar yang harus dilaksanakan adalah “bekerja sebagai yadnya untuk memelihara hidup”. Agar suasana harmonis dapat terwujud dalam suasana persaudaraan, maka pembagian hasil usaha hendaknya dapat dibagi tiga, dengan perincian sepertiga untuk mencapai dharma, sepertiga yang kedua untuk memperoleh kesenangan, dan sepertiga lainnya digunakan kembali untuk mengembangkan usaha atau diusahakan kembali untuk dapat menghasilkan (Saracamuscaya, 262). Pembagian secara seimbang ini bertujuan agar usaha yang dikembangkan tidak dilakukan atas dasar nafsu yang berlebihan, melainkan senantiasa atas dasar keseimbangan sebagaimana dinyatakan dalam sloka berikut.
Nihan kramaniyan pinatelu, ikang sabhaga,
sadhana ri kasiddhaning dharma, ikang kaping rwaning bhaga, sadhana ri kasiddhaning kama ika ikang kaping tiga,
sadhana ri kasiddhaning artha ika, wrddhyakena muwah, mangkana kramanyan pinatiga, denika sang mahyun manggihakenang hayu
Sarasamuccaya 262
Artinya:
Demikianlah duduknya maka dibagi tiga (hasil usaha itu),
yang satu bagian  guna biaya mencapai dharma, bagian yang kedua adalah untuk biaya memenuhi kama, bagian yang ketiga digunakan untuk melakukan kegiatan usaha dalam bidang artha, ekonomi, agar berkembang kembali, demikian duduknya maka dibagi tiga oleh orang yang ingin memperoleh kebahagiaan.
Apan ikang artha, yan dharma lwiring karjananya, ya ika labha ngaranya, paramartha ning amanggih sukha sang tumemwaken ika, kuneng yan adharma lwirning karjananya, kacmala ika, sininggahing de sang sajjana, matangnyan haywa anasar sangkeng dharma, ya tangarjana
Artinya:
Sebab uang itu, jika dharma landasan memperolehnya, laba atau untung namanya; sungguh mengalami kesenangan orang yang beroleh uang itu; akan tetapi jika uang itu diperoleh dengan jalan a-dharma, merupakan noda uang itu, dihindari oleh orang yang berbudi utama; oleh karena itu janganlah bertindak menyalahi dharma, jika anda berusaha menuntut sesuatu.
Umat Sedharma yang Berbahagia,
Demikianlah beberapa sumber etika bisnis dalam teologi Hindu bisnis yang dapat saya sampaikan pada acara dharmatula siang hari ini, semoga bermanfaat. Mohon maaf jika dalam penyampaiannya ada hal-hal yang kurang berkenan. Terima kasih. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.




Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar