Fungsi Komunikasi dalam Mewujudkan Keluarga Sukinah.
![]() |
Sumber Foto: Pop Mama. |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
(Batam, 12 Februari 2010).
I Pendahuluan
Modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Karena itu, anggota komunitas pendukung suatu tradisi senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi.
Dalam pengalihan itu, terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan, cara itu akan diganti dengan yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran dan sosialisasi.
Perubahan dalam tatanan nilai, perilaku, dan hasil perilaku akan berpengaruh terhadap juga terhadap pola-pola komunikasi dalam masyarakat, termasuk di dalam pola komunikasi dalam keluarga. Bagaimana mewujudkan komunikasi efektif dalam keluarga sehingga terwujud keluarga Sukinah ?
II. Keluarga Sukinah
Dalam Manavadharmasastra bab VI Sloka 89 disebutkan bahwa kehidupan berkeluarga [Grshasta Asrama] merupakan masa yang penting dan utama. Dalam kaitan dengan pembahasan tema ini, karena masa Grshasta adalah masa-masa di mana para anggota keluarga membangun diri dan jiwanya agar satu sama lain saling mendukung, saling memberi arti, dan memiliki etika sehingga di antara mereka terjalin komunikasi dan interaksi yang harmoni. Dikatakan saling mendukung dan memberi arti, karena setiap individu dalam keluarga tidak pernah sama, satu sama lain memiliki kelemahannya sendiri yang harus ditutup oleh kelebihan lainnya.
Dalam membentuk keluarga sukhinah, harus dipahami tiga hal penting, yaitu: 1) semua memiliki persepsi dan pengertian yang sama mengenai keluarga sukhinah, 2) kemauan bersama untuk mewujudkannya dengan tindakan-tindakan nyata, dan 3) dan semua anggota keluarga memiliki kemauan untuk memeliharanya.
Keluarga sukhinah secara umum dapat diartikan dengan keluarga bahagia dan sejahtera. Kata sejahtera lebih berhubungan dengan material, sedangkan kata bahagia lebih berhubungan dengan aspek psikologis. Oleh karena itu, tugas kita sebagai ibu rumah tangga [bersama suami] wajib untuk ikut mewujudkan dua aspek tadi, yaitu berkecukupan dalam aspek material dan bahagia dalam perasaan. Dalam percakapan antara Dewi Sakuntala dengan raja Dushwanta [dalam kisah Mahabharata] disebutkan bahwa ”kewajiban kita sebagai istri yang baik harus pandai mengatur Rumah tangga, istri yang sejati seluruh jiwa raganya diabdikan kepada suaminya yang merupakan teman bersama di antara semua teman. Istri adalah dasar agama, istri adalah ayah pada waktu upacara keagamaan dan ia adalah ibu pada waktu sakit dan duka, oleh karenanya istri adalah milik yang paling berharga”.
Kutipan dialog Dewi Sakuntala di atas menyiratkan pula bahwa wanita tidak boleh melupakan fungsi utamanya sebagai pendidik anak dan pengatur rumah tangga atas dasar cinta kasih dan kesetiaan. Sebagai pendidik anak, wanita harus tetap mampu memerankan fungsi ibu sejak mulai pengandung, melahirkan, menyusui, mengawinkan anak-anaknya yang telah dewasa hingga penyemai benih-benih kasih sayang terhadap seluruh anggota keluarga. Wanita juga harus tetap mampu menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan rumah tangga hingga detail. Wanitapun dituntut tidak boleh mengeluh atas tugas-tugas itu, dan yang lebih penting dari itu, wanita dituntut setia sebagai nilai kewanitaan yang paling dasar. Hal ini dipertegas dalam kitab Manawa Dharmasastra Bab IX, Sloka 101 dan sloka 102 sebagai berikut:
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini dianggap hukum yang tertinggi bagi suami dan istri”
“ Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jenunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.”
Dalam kedua sloka di atas secara eksplisit menganjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Diharapkan semua itu diupayakan dengan sekuat tenaga dan secara terus menerus. Suami istri hendaknya menempatkan ketentuan itu sebagai hukum yang tertinggi. Dalam Yayurveda dijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan ia sendiri melaksanakan aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan sebagaimana tertera pada sloka berikut.
Murdha-asi rad dhuva-asi
Dharuna dhartri-asi dharani
Ayuse tva varcase tva krsyai tva ksemaya tva (Yajurveda, XIV,21).
Arti:
Oh Perempuan, Engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung
yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan, seperti bumi.
Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang,
kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.
Keluarga sukhinah tidak hanya ditentukan hanya oleh suami dan istri. Sebuah keluarga sukhinah juga ditentukan oleh sikap bhakti anak-anak terhadap kedua orang tuanya. Dalam keluarga Hindu, anak adalah orang yang menjadi pelindung bagi orang yang memerlukan pertolongan serta menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan, untuk disedekahkan hasil usahanya untuk ia memasak, menyediakan makanan untuk orang miskin, orang demikian itu putra sejati namanya” [Sarasamucaya Sloka 228].
III Fungsi Komunikasi Dalam Keluarga
Komunikasi dapat terjadi jika sebelumnya terjadi kontak, tidak saja melalui face to face, melainkan dapat pula melalui bantuan sarana. Oleh karena itu, betapapun sibuknya peran bapak/ibu dalam melaksanakan tugas kantor dan tugas lainnya dalam masyarakat, maka kontak dengan keluarga itu harus tetap dipelihara dengan baik. Dengan bertanya sedang apa, sudah makan, bagaimana hasil ujiannya, dan apakah masih ada uang sakunya, adalah komunikasi dasar yang seharusnya tetap dipelihara dan diintensipkan.
Disamping komunikasi dasar seperti itu, setiap anggota keluarga hendaknya juga mengenal sifat dan watak masing-masing anggota keluarga inti dan keluarga lainnya. Mengenal sifat dan watak anggota keluarga menjadi penting agar komunikasi dalam keluarga menjadi efektip. Ada anak yang sifatnya lebih terbuka, sementara lainnya cenderung tertutup. Ada anggota keluarga yang hidupnya lebih boros, sementara yang lainnya cenderung irit, malahan pelit. Semua itu harus mampu kita identifikasi agar pola komunikasi yang dikembangkan dengan masing-masing sifat dan karakter anak, suami, atau istri tidak sama. Sebab, pola untuk berkomunikasi dengan anak yang tertutup tentu berbeda dengan anak yang terbuka.
Untuk memahami mengenai watak anggota keluarga kita dalam Ayurweda khususnya dalam Jyotisa dan Samudrika Sastra dimuat berbagai karakter manusia yang secara kasar dapat dilihat dari tipe jasmaninya, seperti tipe satwika, rajasika dan tamasika, pun yang tergolong Vata, Pita dan Kapa. Di Bali ilmu ini dapat ditemukan dalam lontar Carcan Janma dan kekawin Widu Laksana. Keduanya memiliki kemiripan dalam menentukan wujud fisik dan pengaruh yang akan di timbulkan oleh orang yang memiliki ciri-ciri tertentu. namun dalam Kekawin Widu Laksana hanya berbicara tentang wanita saja dan tidak selengkap kalau di banding dengan Carcan Janma. Dalam carcan Janma (Putra Manik Ariana, 2010) menyebut hal-hal sebagai berikut.
“Dang – dang hangelak : cirinya jika berjalan, bahunya ikut bergerak keras maju mundur / kekiri dan kekanan seirama dengan langkah kakinya, serta kepalanya agak mendongak (dang – dang hangelak = cubluk / dang-dang dengan lobang yang menganga), boros dan tidak bisa lama menyimpan uang.
Naga Pulir : jalannya agak miring, kepala agak mendongak (Naga Pulir = naga yang berputar), menyebabkan pasanganya sakit-sakitan dan bisa berakhir pada kematian.
Gandawong Hasisiwo : jalanya seperti bebek atau angsa (mangentrog), (Ganda Wong Hasisiwo = manusia harum bermain-main), kalau ia seorang wanita, dalam berumah tangga akan selau mendominasi laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Lilingan kanda : jalanya seperti orang menendang ( Lilingan Kanda = lilitan sejata tajam ), tanpa dirasakan akan membunuh pasanganya secara perlahan.
Geni Halalaku : saat berjalan lututnya saling silang, bagaikan mau bertabrakan ( Geni Halalaku = api yang berkobar-kobar), menyebabkan panas dan kemelaratan.
Laweyan Hangalad : Jika ada orang yang memiliki lesung pipit di bahu ( Laweyan Hangalad = dihirup / disedot oleh tubuh tanpa kepala) , berbahaya tanpa sadar tenaga kehidupan dari pasanganya terserap sedikit demi sedikit, hingga berujung kematian.
Butha Hari – hari : Jika memiliki lesung pipit didaerah bahu dan dipantat ( Buta Hari-hari = setan bernama hari-hari ) , selalu dalam keadaan gelap ( kapetengan ).
Disebutkan juga tentang tempat tumbuhnya cowek yang mempengaruhi keadaan orang tersebut, apakah ia panas (mapanes ), menengah (madya) atau sejuk (nora mapanes), coek sama dengan andeng-andeng hitam yang menonjol dan kadang-kadang di tumbuhi bulu. Ia lebih kecil dari tompel dan lebih besar dari andeng-andeng biasa. Adapun orang yang di sebutkan memiliki coek di bawah ini, semuanya bersifat panas.
Butha Kabranan : coek tumbuh di daerah jakun. (Butha Kabranan = setan yang terluka), selalu hidup dalam kesedihan.
Gapura Gempar : coek ada didaerah alis mata. (Gapura Gempar = gerbang yang hancur), penghacur tatanan kehidupan keluarga, serta sering membuat ricuh dalam keluarga besar, hidup melarat, pasangannya sering sakit tanpa sebaba yang jelas.
Prana Kabranan : coek ada didaerah dada. ( prana kabranan = roh manusia yang terluka), menyebabkan melarat, hidup susah dan sakit - sakitan.
Durga mangsa : coek ada didaerah dagu. (Durga Mangsa = dimakan Dewi Durga / ilmu hitam), berujung kematian bagi pasangannya, hidup dalam kesengsaraan, susah, bertengkar tiada habis - habisnya.
Bumi Lindu : coek ada di daerah kaki, dibawah lutut. (Bumi Lindu = gempa bumi), tanpa sadar jiwa pasanganya selalu terguncang hingga bisa menyebabkan kegilaan, rumah tangga diwarnai dengan percekcokan lantaran masalah sepele.
Bajra Nembah : coek ada didaerah mata kaki (Braja Nembah = api yang berkobar-kobar menyembah), panas dan bisa menyebabkan kematian, rumah bagai neraka saja.
Detya Mangsa : coek ada didaerah mulut. (Detya Mangsa = raksasa memakan), menyebabkan kematian pada pasanganya, orang ini sangat rakus dan keras hati.
Butha Agra : coek ada didaerah hidung. (Buta Agra = raja setan), menyebabkan timbul hal yang sangat buruk.
Bulan Kapangan : coek ada didaerah kepala. (Bulan Kepangan = gerhana bulan) hidup dalam kegelapan dan kesedihan (kepetengan).
Jika tumbuhnya coek tidak pada tempat yang disebutkan di atas, orang tersebut dikatakan menengah atau madya. Seandainya ada tumbuh andeng-andeng (bukan coek) di daerah cekung tenggorokan dan di pertengahan antara kedua susu dikatakan sejuk atau utama.
Dalam Lontar Carcan Janma juga di sebutkan tentang ciri-ciri fisik manusia yang memiliki pengaruh baik atau kurang baik serta sifat-sifanya. Adapun ciri-ciri orang yang memiliki pegaruh baik dapat kita lihat dibawah ini:
Mas Sinagling : bertubuh agak kurus, kulitnya kemerah-merahan suaranya agak besar dan berat. Mas Sinangling ( mas yang bercahaya ). Mudah rejeki, dan bisa menjadi pejabat.
Watu Gumulung : berkulit putih agak kehijauan, bergigi putih rata dan rapi / gigi wuwusu (wusu=penggaru kapas). (watu gumulung = batu bergelinding ), amat berpengaruh, memiliki wibawa yang besar, mudah rejeki, disayang Dewa (kasihang Dewa).
Sardula : berbahu bidang, matanya berserat merah. (Sardula = harimau), amat di segani, bisa menjadi orang besar dikemudian hari.
Celeng pinagkurah : bertubuh agak pendek dengan leher yang tegap dan pendek. (Celeng Pinangku Rah = babi yang memangku darah), disegani oleh masyarakat sekitarnya.
Gong Bentar : bertubuh pendek perut agak besar, suara serak, (Gong Bentar = gong pecah), cepat kaya dan darmawan.
Gunung Gunting : Tubuhnya agak tipis, bergigi putih rata dan rapi (wuwusu) jakunnya agak menonjol, (Gunung Gunting = gunung yang tergunting), cepat kaya, darmawan, disegani orang, suka mempelajari agama.
Penyu Hagendong : ciri orang ini memiliki tubuh tinggi besar, kepalanya agak kecil. (Penyu Hagendong = kura-kura yang menggendong), memiliki pengaruh besar pintar menyimpan hartanya, cepat kaya.
Arda Candra : Tubuhnya gilik, matanya seperti mata wayang (garis mata agak melengkung), (arda candra = bulan sabit) berpengaruh dan pemberani, namun doyan wanita.
Sedangkan yang disebutkan memiliki pengaruh yang kurang bagus adalah : Jika ada orang dengan anggota badannya panjag - panjang, kepalanya kecil, berkaki kecil. Mereka yang seperti ini akan sering sakit-sakitan. Cenderung tinggi tubuhnya, kulit kemerah-merahan berambut tebal, bila berbicara kepalanya bergoyang-goyang, matanya berserat merah, suaranya selalu merendah, penakut dan suka berselingkuh. Bertubuh panjang-panjang namun kakinya pendek (bolang) kurang bagus. Bertubuh jangkung dan bermata wayang, kurang bagus, pikiranya selalu dikacaukan oleh wanita. Kutipan karya Putra Manik Ariyana di atas pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa komunikasi yang mendalam dengan anggota keluarga sangat ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan kita terhadap potensi dan kelemahan masing-masing berdasarkan ciri-ciri tubuhnya.
IV. Penutup
Demikian naskah kecil ini dibuat, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua, terutama dalam meningkatkan komitmen mewujudkan keluarga sukinah.