Kawin Lagi ?
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Bandar Lampung, 7 September 2017)
Pertemuan saya dengan bapak Ngakan Putra, Nengah Dhana, dan IB Subali pagi itu sangat singkat, terkesan terburu-buru, karena segera harus sarapan sebelum berangkat melaksanakan tirtayatra bersama seluruh peserta Temu Karya Ilmiah (TKI), tanggal 7 September 2017, di Bandar Lampung. Sambil sarapan, sebagaimana biasa diisi obrolan ringan, guyon, dan membuat kita semua yang semeja tersenyum, dan malahan ada yang tertawa lepas. Salah satu sumber kegembiraan itu adalah cerita Ngakan Putra mengenai seorang mahasiswa yang bosan kuliah dan meminta kepada orang tuanya untuk menikah. Cerita itu (dengan sedikit modifikasi) sebagai berikut.
"..Suatu pagi seorang pemuda yang masih kuliah menemui bapaknya untuk menyampaikan maksud yang selama ini dipendamnya. Sambil mencoba menenangkan diri dari rasa takut bercampur rasa malu, pemuda itu berkata: "Bapak, bapak, pak, apakah boleh saya bicara untuk menyampaikan sesuatu yang menurut hemat saya sangat penting ? Sang Bapak sambil tersenyum berkata, mengenai apa anakku sayang ? Begini bapak, sambil terdiam sejenak, lalu si pemuda melanjutkan, maksud saya, Hemmmm, maksud saya pak, saya mau berhenti saja kuliah, dan saya akan mencoba bekerja. Rasanya saya mulai bosan dan tidak fokus lagi untuk melanjutkan kuliah. Lo…lo….lo, ada apa anakku, kok baru semester V sudah mau berhenti kuliah, kan sedikit lagi, hanya tinggal satu setengah tahun lagi engkau dapat gelar Sarjana, pendidikan dasar untuk menjalani hidup di kemudian hari. Lagi pula, bukankah kamu tinggal belajar dan belajar saja, sementara kedua orang tuamu tetap melakukan kewajiban untuk menjadikan anak-anak sarjana yang sujana. Oleh karena itu, ananda tidak usah berhenti kuliah, lanjut saja. Lagi pula, apa kata saudara kita nanti, juga para tetangga, "Bapaknya Prof. Dr..anaknya Sarjana saja tidak tamat". Malu bapak dan ibumu yang juga dosen ! Si anak, diam sejenak, lalu kembali mengulangi permintaannya, sambil sedikit merayu Sang Bapak "Pak boleh kan saya berhenti kuliah sementara, lalu saya nikah dan sambil bekerja". Apa ??? berhenti sementara kuliah untuk nikah ? Kembali Sang Bapak terkejut, sambil menahan rasa prihatin, Sang Bapak kembali berusaha menasehati: "Anakku sayang, bapak minta teruskan kuliahmu agar kamu selesai strata satu, setelah itu baru bekerja dan menikah". Jangan buru-buru menikah, berhenti kuliah untuk bekerja. Ini demi kebaikanmu, istri serta anak-anakmu kelak. Sekalipun berulang-ulang Ayahnya mengulangi nasehati si anak, namun si anak tetap saja merengek untuk berhenti kuliah, nikah, dan bekerja. Baik anakku, jika keinginanmu mengelora seperti itu, kamu ngomong dulu dengan ibu, nanti bapak ngikut apa jawaban ibumu.
Kemudian si anak bertanya:dimana ibu, ayah ? Ibumu di dapur, sedang memasak, sana cari ibu di dapur ! Secara perlahan-lahan si anak mendekati ibunya sambil memuji bahwa ibunya rajin, masakkannya enak, dan cantik. Setelah ibunya tersenyum, lalu si anak dengan perlahan-lahan menyampaikan maksudnya: "Ibu, bolehkah aku menyampaikan sesuatu pada ibu ? Tentang apa nak, Tanya Sang ibu. Begini bu, saya bermaksud berhenti kuliah untuk menikah bu, boleh kan ? Tanpa menunggu argumentasi si anak, Sang ibu langsung nyeroscos disertai nada tinggi: apa ? nikah ? Apa kata orang nanti, anak seorang profesor tidak tamat Sarjana; nanti kamu kasi makan apa anak orang di sini, bukankah kamu akan menjadi pembimbing istri dan anak-anakmu. Bagaimana kamu akan membimbing dan memberi jalan terang kepada keluargamu, jika kamu tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup yang memadai. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan kebahagiaan kepada keluargamu, jika lantera itu tidak dapat memberikan cahaya kehidupan. Dengan nada agak kesal, Sang ibu menyatakan, prinsip ibu ingin kamu tetap kuliah sampai selesai, baru bekerja, dan dengan suka-cita ibu dan ayah akan menikahkanmu dengan calon pilihanmu. Sana ngomong sama bapakmu! Si anak, tanpa berkata lagi kembali menemui Bapaknya di ruang tengah, yang dengan seriusnya sedang membaca koran. Sambil memperlihatkan wajah merenggut, si anak mendekati Sang ayah yang sedang serius, lalu berkata dengan perlahan.."pak, pak…… Sambil menoleh Sang ayah bertanya: bagaimana tanggapan ibumu ? Apakah ibumu setuju kamu berhenti kuliah ? Apakah ibumu setuju kamu menikah ? Apakah ibumu juga setuju kamu bekerja ? Sambil terdiam si anak menggelengkan kepalanya, kemudian dengan suara lirih si anak berkata perlahan: "ibu tidak setuju saya kawin pak". Mendengar jawaban anaknya seperti itu, sambil ketawa Sang ayah berkata: "Bapak sudah duga jawaban ibumu, pasti tidak setuju". Tiga hari lalu bapak meminta ijin untuk kawin lagi juga ibumu tidak setuju, padahal ayah sudah bekerja, sudah selesai kuliah hingga doktor, malahan juga mencapai derajat Profesor, dan memiliki penghasilan cukup untuk menghidupi istri, ibumu juga nggak setuju, apalagi kamu belum tamat sekolah, belum bekerja, dan belum berpenghasilan, mmikirrrrr !
Bukankah dengan amat jelas dinyatakan bahwa "pengetahuan adalah kekayaan tertinggi, dia melebihi nilai artha lainnya. Pengetahuan memungkinkan kita semua mengarungi samudra luas dengan mudah, atau berbekal pengetahuan masih mungkin mengambil permata di pangkal lidah buaya". Dengan demikian, tugas kita semua pada tahap brahmacarya adalah menimba pengetahuan, baik melalui jalur formal maupun melalui proses learning, melalui pengalaman hidup. Svaha.
Bukankah dengan amat jelas dinyatakan bahwa "pengetahuan adalah kekayaan tertinggi, dia melebihi nilai artha lainnya. Pengetahuan memungkinkan kita semua mengarungi samudra luas dengan mudah, atau berbekal pengetahuan masih mungkin mengambil permata di pangkal lidah buaya". Dengan demikian, tugas kita semua pada tahap brahmacarya adalah menimba pengetahuan, baik melalui jalur formal maupun melalui proses learning, melalui pengalaman hidup. Svaha.