Skip to main content

Kearifan Lokal dalam Membangun Keberagaman


Foto: Ida Bagus Santi
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Guru Besar Sosiologi Agama UNHI Denpasar,
(Yogyakarta, 7 Maret 2014).
Sepintas bagaimana mungkin kearifan lokal [lokalitas] dan Nasionalisme digabungkan ? Sebab secara teoritis keduanya berada pada kontinuum yang berbeda, kearifan lokal berisi nilai-nilai yang paling berharga dalam kehidupan masyarakat tertentu, terbatas, dan subjektif. Kearifan lokal yang bernilai dalam daerah tertentu, belum tentu dipahami, diperlakukan, dan diberi makna yang sama oleh komunitas setempat lainnya, walaupun mereka hidup dalam wilayah berdampingan. Hal ini disebabkan karena masing-masing komunitas menganut paham relativisme dan kebenaran relatif,  bahwa milik mereka saja yang paling baik, paling benar, dan pantas menjadi acuan lainnya. Sementara itu, nasionalisme adalah paham yang menekankan kebersamaan, mengakuan akan potensi lainnya yang dalam teori disebut paham universalisme. Dualisme itu dengan mudah dapat dicarikan faktanya, bahwa kearifan lokal tidak mudah dijadikan nasionalisme, kecuali diabstraksi dan dikonstruksi pada tataran nilai dan tipe ideal.

Jika Nasionalisme dianggap sebagai tujuan, maka setiap komunitas [termasuk orang Bali] harus mampu mengendalikan diri akan relativisme-kebenaran menurut nilai setempat. Nilai-nilai yang baik bagi semua orang hendaknya ditonjolkan, sementara yang tidak menciptakan perasaan bersama disembunyikan. Menonjolkan hal-hal baik dan menyembunyikan hal-hal yang kurang relevan adalah strategi kebudayaan yang dimiliki oleh setiap komunitas. Persoalannya maukah setiap komunitas itu berbuat yang sama: menonjolkan kebersamaan dan terbuka ?

Kesulitan utama membangun kebersamaan, karena belakangan ini orang lebih suka memberi respon negatif terhadap orang atau kelompok lain. Malahan, orang yang kritis terhadap perbedaan dianggap baik, berkemampuan, dan malahan dianggap Pahlawan. Saya akan berikan ilustrasi bagaimana cara berfikir orang Bali belakangan ini. Akibat perubahan fisikal [rata-rata kepadatan penduduk Bali semakin meningkat, terjadi ketimpangan pertumbuhan penduduk pedesaan [minus] dan perkotaan [surflus] karena migrasi. Existing land use semakin meningkat, sehingga implikasi sosiologis dari perubahan fisikal tersebut adalah hilangnya pesona dunia. Lingkungan lahiriah dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekaligus mempesona tidak lagi mempengaruhi dan membentuk pikiran manusianya. Lingkungan  dihadapi dan diberi arti sebagai dunia material atau objek semata [komodifikasi]. Konsekuensi dari peristiwa itu adalah terjadi otonomi dan kebebasan subjek dalam menafsirkan realitas objektif. Akibatnya, Karakter orang Bali telah mengalami perubahan secara signifikan. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Baterson. Demikian pula orang Bali tidak dapat lagi dikategorikan sebagai komunitas yang inklusif, melainkan orang Bali telah dipersepsikan sebagai orang yang tempramental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus [paper saya dipresentasikan di Unud, 2004 berjudul “Perubahan Karakter Orang Bali”]. Fenomena ini tentu amat menyedihkan, bagaimana kita bisa mem-praksis-kan nilai adiluhung jika sikap kita sudah subjektif dan apriori, malahan memperkuat  polarisasi negatif dan menjauhkan satu sama lain ? Padahal dalam kondisi ideal,  budaya objektif seharusnya  melayani  yang  subjektif,  sehingga terwujud sebuah “pengembangan jiwa”. Ironisnya, dalam dunia modern orang Bali justru mengalami hal yang sebaliknya, budaya subjektif meliputi kemampuan untuk menerima, menghargai, dan mengontrol budaya objektif tidak lagi tampak dan menonjol, sehingga telah terjadi reifikasi budaya. Ini adalah puncak krisis budaya moderen yang diistilahkan Simmel sebagai “tragedi kebudayaan moderen (Weinstein dan Weinstein, 1990).

Menurut hemat saya, diperlukan strategi kebudayaan dengan menonjolkan nilai-nilai lokal baik yang bermafaat bagi semua orang. Grepyak [aktif kreatif] sebagai lokal genius, menginspirasi kita untuk senantiasa kreatif dan aktif agar kita bisa bersaing dengan tuntutan global. Dengan kreatifitas, kita bisa menjadi ‘punya’, karena nilai yang terkandung dalam terminologi ipil-ipil [mengumpulkan harta, sedikit-demi sedikit] memiliki relevansi dengan sikap hidup grepyak. Ipil-ipil membutuhkan hidup hemat, tekun, dan gigih. Dengan hidup grepyak dan semangat ipil-ipil  kemudian kita ‘punya’, maka diperlukan pengembangan jiwa nehter [stabil]. Orang yang grepyak, memiliki semangat ipil-ipil dan jiwanya nehter, maka dia patut disebut manusia utama [paradnyan dan purusotama]. Tentu tidak ada orang yang menolak manusia: kreatif [grepyak], memiliki semangat hidup hemat, gigih [ipil-ipil], dan memiliki jiwa berbudi luhur, rendah hati, serta sabar [nehter]. Orang Jawa, Sunda, Ambo, Minang, semuanya sepakat dengan nilai-nilai yang maknanya relevan dengan tuntutan kehidupan masa kini. Memberi tauladan adalah cara terbaik untuk membangun semangat nasionalisme dan keberagaman. Tauladan berfikir positif, berkata-kata yang terukur dan santun, serta bertindak konsisten dengan yang diucapkan adalah faktor yang memiliki kekuatan membangun jiwa nasionalis dan mengakui perbedaan. Bertindak konsisten akan menjadi kebiasaan, kebiasaan akan menjadi karakter, dan akan menjadi dasar kehidupan. Svaha, semoga bermanfaat. 


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar