Kesetaraan Gender dan Daya Siang SDM Hindu.
![]() |
Sumber Foto: Light Community |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Disampaikan di STAH Lampung, di Bandar Lampung, 5 Februari 2017).
I Pendahuluan
Conventioan on the Elimination of Discrimination Against [CEDAW] menjadi tonggak perlawanan terhadap dikriminasi gender di seluruh dunia. Indonesia adalah satu satu anggota dari 188 negara lainnya. CEDAW seakan-akan menjadi peluru bagi penggiat kesetaraan gender di dunia untuk melawan fragmentasi hukum internasional [tentu berimplikasi nasional dan lokal] terhadap perempuan. Selanjutnya, Ban Ki-moon memiliki komitmen kuat untuk senantiasa memperjuangkan persoalan kesetaraan gender ke dalam SDGs [Sustainable Develompent Goals].
Setelah Konferensi Dunia Perempuan September 1995 di Beijing yang bertujuan memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan secara global, maka pada tahun 2014 kembali mereka berkumpula dalam Platform Beijing+20. Terdapat dua belas perioritas yang menjadi perhatian, yaitu 1] perempuan dan lingkungan, 2] perempuan dalam kekuasaan dan Pengambilan Keputusan, 3] Anak Perempuan, 4] Perempuan dan Ekonomi, 5] Perempuan dan Kemiskinan, 6] Kekerasan terhadap Perempuan, 7] HAM dari Prempuan, 8] Pendidikan dan Training Perempuan, 8] Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan, 10] Perempuan dan Kesehatan, 11] Perempuan dan Media, dan 12] Perempuan dan dearah konflik [Women Reports, Beijing+20 dalam JP No 85, 2015: 4-5].
Dalam pengertian umum, gender berarti keadaan di mana individu yang lahir secara biologis, sebagai laki-laki dan wanita memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan wanita melalui maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai atau sistem simbol masyarakat bersangkutan. Alice Schlegel, menggunakan istilah gender meaning untuk menyebutkan ideologi gender dengan menyatakan “wanita dan laki-laki masing-masing dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Beberapa contoh terapan konsep gender umum yang dapat dijumpai di berbagai wilayah Asia Tenggara, misalnya (1) adat atau tradisi pemingitan (seclusion); (2) tradisi pengucilan (exclusion) dari bidang-bidang tertentu; dan (3) tradisi feminisme wanita, seperti rendah hati dan ketaatan (modest dan submissive), yang disosialisasikan dalam bentuk keterampilan tangan (nimble fingers) yang diajarkan dalam lingkungan keluarga inti [Triguna, 2016: 1]. Atas dasar pengertian gender itu, maka dalam naskah ini akan dibahas, bagaimana konsepsi penyetaraan gender dalam Veda [agama Hindu] menuju daya saing SDM Hindu ?
II Perempuan Dalam Teologi Hindu
Dalam Siwatatwa dikenal konsep Ardanariswari, yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa, sedangkan pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin, sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada sesuatu apapun akan tercipta, jika kekuatan purusa dan predana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini telah memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada. Makna simbolis dari konsep Ardanariswari itu, kedudukan dan peranan wanita satara dan saling melengkapi dengan laki-laki, malahan dimuliakan. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan wanita di antara laki-laki. Dalam sloka Manawa Darma Sastra disebutkan:
Yatra naryastumpujyante,Ramante tatra dewatah,Yatraitastu na pujyante,Sarwastalah kriyah (MDS, III,56)Arti:
Dimana wanita dihormati,
Di sanalah para dewa-dewa merasa senang,
Tetapi dimana mereka tidak dihormati,
Tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.
Jamayo yani gehani,Capantya patri pujitah,Tani krtyahatanewa,Winacyanti samantarah (MDS, III,58)Arti:
Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya,
Mengucapkan kata-kata kutukan
Keluarga itu akan hancur seluruhnya
Seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib
Kutipan sloka di atas menunjukkan bahwa wanita dalam teologi Hindu bukanlah tanpa arti. Malahan ia dianggap sangat berarti dan mulia, sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga. Dalam Yayurveda dijelaskan bahwa wanita adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan ia sendiri melaksanakan aturan itu. Wanita adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan sebagaimana tertera pada sloka berikut.
Murdha-asi rad dhuva-asi
Dharuna dhartri-asi dharaniAyuse tva varcase tva krsyai tva ksemaya tva (Yajurveda, XIV,21).
Arti:
Oh Wanita, Engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung
yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan, seperti bumi.
Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang,
kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.
Swami Vevikananda juga menyatakan “Negara dan bangsa yang tidak menghormati perempuan, tidak akan pernah menjadi besar, baik saat ini maupun di masa depan...juga dapat diartikan tidak memiliki rasa hormat kepada perempuan sebagai Shakti (istri). Sloka-sloka di atas jelas menunjukkan betapa pentingnya peranan wanita dalam Hindu Dharma. Wanita, sebagaimana telah dinyatakan adalah ciptaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pradana. Ia juga disimbolkan dengan yoni, simbol kesuburan dan kearifan. Laki-laki ciptaan Tuhan dalam fungsi purusa yang disimbolkan dengan lingga. Karena wanita, berbagai bentuk persembahan akan terlaksana, karena wanita pula ketenangan dan ketenteraman akan terwujud. Oleh sebab itu, orang yang ingin sejahtera hendaknya senantiasa menghormati wanita, terlebih pada hari raya dengan memberi hadiah berupa perhiasan, pakaian, dan makanan sebagaimana tersurat dalam kutipan sloka Manawa Darma Sastra berikut.
Tasmādetāh sada pūjyabhūsānaccha danā sanaihbhūti kāmair narair mityamsatkāresūtsa vesu ca (MDS,III,59)
Substansi dari sloka-sloka di atas menunjukkan wanita adalah makhluk Tuhan yang memiliki kompleksitas peran, baik religius, estetis, ekonomi, maupun sosial dan politis, sebagaimana diharapkan dalam Konferensi Beijing+20 maupun dalan SDGs.
III. Kesetaraan Gender dan Upaya Memajukannya
Walau ada banyak nilai mulia mengenai kesetaraan gender, tetapi saat ini kita menyaksikan kenyataan tragis, jauh dari kenyataan membahagiakan, dan yang paling memilukan menimpa kehidupan kaum perempuan, dari kedudukan yang setara, menjadi lebih rendah (tersubordinasi) daripada pria, menjadi tempat yang bisa digunakan saat diperlukan. Kenyataan memilukan itu, terlihat pada masih tingginya tingkat diskriminasi, kekerasan, dan perdagangan terhadap perempuan.
Menyadari dan membangun kekuatan pada diri sendiri (melupakan bahwa dirinya adalah jenis kelamin lebih rendah) bukan semata-mata melalui baca-tulis (leterasi). Gandhi menyebutkan “kaum perempuan dan pria statusnya setara, tetapi mereka tidak identik. Kaum perempuan dan pria adalah pasangan yang tiada bandingannya, tetapi saling melengkapi antarkeduanya. Oleh karena itu, tanpa eksistensi salah satunya, eksistensi yang lain tidak terbayangkan” [Senada dengan itu konsep kesetaraan juga dapat disimak dari dialog Yaksa tatkala menguji Yudistira di tepian danau hutan Kniaka]. Jadi kebiasaan saling menghargai harus dibangun dari sejak awal dalam lingkungan paling kecil, yaitu keluarga.
Kedudukan perempuan sebagai wanita karier mau tidak mau telah menyita sebagian waktu yang tadinya diperuntukkan bagi urusan domestik. Dengan kompetisi yang demikian ketat dalam dunia ekonomi, politik, dan juga pemerintahaan, perempuan jika ingin tetap mampu berkompetisi dengan laki-laki, maka ia harus dapat bersikap seperti para kompetiter lain [yang kebanyakan laki-laki]. Kondisi ini menyebabkan sebagian perempuan karier menyerahkan urusan domestik kepada pihak ketiga, yang sesungguhnya hanya bertugas ‘membantu’.
Perempuan karier dengan kulturnya kemudian acapkali mulai mengabaikan hal-hal kecil dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dengan kesibukkan luar biasa di luar rumah, seolah-olah hal-hal kecil itu dapat digantikan oleh orang lain. Tidak terbatas pada hal itu saja, dalam beberapa kasus, perempuan karir dengan kemampuan ekonomi dan politiknya, berangsur-angsur telah mengubah kultur keluarga menjadikan parempuan sebagai penguasa keluarga. Urusan domistik dipertukarkan dengan urusan publik, sesuatu yang asing bagi kaum laki-laki yang terlanjur telah menikmati dan dibesarkan dalam kultur berkuasa. Kedudukan laki-laki seolah-olah terancam oleh pengaruh dan kekuasaan baru yang diperoleh para perempuan karier. Kondisi ini telah merongrong ketidakpuasan bawah sadar kebanyakan laki-laki.
Ini adalah pangkal dari apa yang disebut ‘ketidakberumahan’ suatu kondisi ketika laki-laki mulai merasa tidak nyaman secara sosial dan psikologis. Secara sosial banyak laki-laki merasa bahwa kondisi ini telah menimbulkan ‘persaingan’ social dan kenyataan ini tersimpan dalam alam bawah sadar laki-laki yang kemudian dapat menjadi dasar perbuatan yang tidak diinginkan oleh para perempuan karier.
Kemajuan yang dicapai perempuan karir juga telah membawa perbaikan pada kualitas pemeliharaan diri, disamping karena tuntutan lingkungan karier juga karena kemampuan ekonomi memungkinkan untuk melakukan hal itu. Akibatnya, dengan kondisi [tubuh] perempuan yang diiklaskan untuk dijadikan etalase kapitalis, maka daya tarik perempuan akan menjadi sedemikian cantik dan menarik di mata laki-laki. Melihat kenyataan seperti itu, maka laki-laki dengan berbagai cara akan berusaha menggoda kemolekan perempuan. Akibatnya, dapat dipastikan bahwa peluang perempuan tergoda semakin besar. Karena itu, seorang perempuan ketika ia telah memasuki dunia publik dengan berbagai sifat modernisnya, maka ia juga bersaing dengan kaumnya sendiri agar suaminya tidak masuk perangkap kecantikkan kaum perempuan yang mulai dipertontonkan dalam banyak kesempatan.
Dalam konteks bagaimana seorang perempuan [karier] seharusnya menjaga agar suaminya tetap menjadi miliknya dan tidak berpaling pada kemolekkan tubuh perempuan lain, barangkali dialog singkat antara Rukmini dan Dewi Saci dalam Rukmini Tattwa sebagai berikut.
“Sang Rukmini bertanya kepada Dewi Saci sebabnya beliau disayangi oleh Dewa Indra. Dewi Saci menyatakan munculnya permasalahan dalam hubungan suami-istri adalah ketidaktahuan [istri] dalam merawat diri, karena itu inilah caranya merawat kecantikan diri ………..”.
Selanjutnya barangkali kita semua dapat belajar dari bagaimana Drupati ‘menundukkan’ suaminya yang dituturkannya kepada Dewi Satyabhama-istri Sri Kresna. Drupati berkata sebagai berikut.
“Agar suamimu senantiasa sayang, Dinda jangan sekali-kali menyakiti hati suami, mengesampingkan perasaan suka berlagak dan dipuji, menjaga kemarahan, melayani dengan kesungguhan hati, mengekang cemburu, takut mengatakan yang palsu dan jahat, tidak menghayal dan termenung, tidak mandi sebelum suami mandi, tidak makan sebelum suami makan, dan tidak tidur sebelum suami tidur”. Jika suami datang, dinda bangkit dan menyambutnya dengan hormat, menyediakan air dan tempat duduk, menyiapkan makanannya yang bersih dan sehat. Dinda jangan meniru perbuatan wanita durjana, tidak pernah tertawa di luar senda gurau, tidak pernah berlama-lama berada di luar rumah. Apa yang tidak diminum suami, yang tidak dimakannya, dan apa yang tidak disukai suami tidak dinda perbuat. Tidak pernah mengadukan keburukkan mertua dan melayani mereka dengan bakti yang sama persis seperti kepada orang tua sendiri. Dinda tidur paling belakang, keesokaannya bangun paling pagi….”.
IV. Simpulan
Walaupun secara eksplisit kedudukan laki-laki dan perempuan dalam teologi Hindu itu tidak menunjukkan jarak yang amat tajam, namun dalam kenyataannya terjadi perlakuan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Penyetaraan gender hanya dapat dilakukan dengan membangun komunikasi saling menyadari akan kehadiran satu di antara lainnya dalam rangka melengkapi kekurangan masing-masing. Cara ini merupakan langkah awal bagaimana kesetaraan gender itu bisa diupayakan. Perlu langkah nyata dan praksis.
Daftar Bacaan.
Anker, Richard and Hein, Catherine. 1986. Sex Inequalities in Urban Employment in The Third World. London. Mac. Millan Press.
Berger, Peter. L dan Luckman Thomas. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta. LP3ES.
Candraningrum, Dewi. 2015. “Apa Kabar Hak Azasi Manusia Perempuan?” Dalam Jurnal Perempuan Vol 20 No 2. Jakarta.
Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogya: Pustaka Pelajar, Yogya.
Jurnal Perempuan. No 68.84.85.86.88. Jakarta.
Jurnal Perempuan. 2016. Kami, Jurnal Perempuan [Setelah 20 Tahun]. Jakarta.
Overhold, Catherine et.al (ed). 1988. Gender Role in Development Projects. West Hartford. USA: Kumarian Press Inc.
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial. Jakarta: Grafiti.
Saparinah Sadli. 1988. Perempuan Dimensi Manusia dalam Proses Perubahan Sosial. Depok. Universitas Indonesia.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia.
Tinker, Irene and Bramsen, Michele Bo (ed). 1976. Women and World Development. Overseas development council.
Wegig, R. Wahana.1989. Dimensi Etis Ajaran Gandhi. Yogya: Kanisius.
Zollinger Giele, Jenet and Chapmen Smock, Audrey. Women Roles and Status in Eight Countries. New York: A Wiley Interscience Publication.