Kroddha itu Manusiawi, Harus Diapakan ?
![]() |
Sumber Foto: Viva |
![]() |
Sumber Foto: Viva |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia.
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali idep. Dengan idep dan buddhinya diharapkan manusia mampu melakukan tindakan beradab. Namun dalam kenyataannya, kita menemukan tidak sedikit manusia menjadi pemarah dan bahkan kalap-buasnya melebihi binatang. Jika manusia dikuasi amarah (Kroddha), maka akibat negatifnya adalah 1) sepanjang hidup tidak henti-hentinya memiliki seteru; 2) selalu mendapat kesusahan, di manapun berada dan apapun yang diperbuatnya-di tempat tidur sekalipun takkan tenang hatinya, seolah-olah tidur di rumah penuh ular; 3) segala sedekah, persembahan, tapa, upacara yang dilakukan tidak optimal karena phahalanya akan diambil Dewa Yama dan ia hanya menerima kelelahan ; 4) selain dianggap sebagai maut, kehausan, dan kelekatan pada dunia, amarah juga ibarat sebagai sungai Waitarini yang kejam dan membahayakan; 5) orang yang dikuasai kemarahan pasti berbuat jahat, seperti membunuh Guru, mencela orang Saleh dan berkata kasar; 6) tidak sadar akan kekeliruan dan tidak mau mengerti akan tindakan terlarang-selalu melakukan hal-hal adharma dan mengatakan yang tidak perlu diucapkan.Oleh karena itu, manusia harus mengekang kroddha itu, terutama kemarahan kepada Hyang Widhi, pada Negara, Pendeta, Anak-Anak, Wanita hamil, ibu-bapak, Lansia, dan orang bijak, dengan cara mengarahkan amarah kepada tindakan sabar dan memberi ampun (ibarat ular membuang kulit tuanya)-sebagai tindakan berbudi luhur-sebagai ciri manusia sejati yang berbekal idep-sehingga atas dasar itu kita mampu mencapai kebahagiaan sejati dan mencapai kemuliaan.
Kemampuan mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan memberi maaf adalah fondasi kerendahaan hati. “Tidak semua orang mampu menerima sesuatu yang pahit, misalnya kalah dalam suatu kompetisi. Padahal, penyahir kenamaan asal Inggris Alfred Tennyson pernah berkata, "Kerendahan hati adalah Kebajikan Tertinggi, ibu dari segala hal".
Sebuah studi baru juga menekankan bahwa rendah hati dapat membantu kita meningkatkan kualitas kehidupan. Peneliti itu adalah seorang Psikolog Pelin Kesebir dari London Business School menjelaskan "Kerendahan hati melibatkan kesediaan untuk menerima batas diri dan cakupannya dalam skema yang lebih besar. Menurut Kesebir, orang yang rendah hati lebih mampu mengatasi kecemasan tentang kematian mereka. Bagi seorang pemimpin, sikap rendah hati akan membuatnya disukai sehingga membuatnya lebih efektif dalam bekerja”
Kemampuan mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan memberi maaf adalah fondasi kerendahaan hati. “Tidak semua orang mampu menerima sesuatu yang pahit, misalnya kalah dalam suatu kompetisi. Padahal, penyahir kenamaan asal Inggris Alfred Tennyson pernah berkata, "Kerendahan hati adalah Kebajikan Tertinggi, ibu dari segala hal".
Sebuah studi baru juga menekankan bahwa rendah hati dapat membantu kita meningkatkan kualitas kehidupan. Peneliti itu adalah seorang Psikolog Pelin Kesebir dari London Business School menjelaskan "Kerendahan hati melibatkan kesediaan untuk menerima batas diri dan cakupannya dalam skema yang lebih besar. Menurut Kesebir, orang yang rendah hati lebih mampu mengatasi kecemasan tentang kematian mereka. Bagi seorang pemimpin, sikap rendah hati akan membuatnya disukai sehingga membuatnya lebih efektif dalam bekerja”