Lascarya Vs Mebudi
![]() |
Sumber Foto: Agrinak. |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Gatot Subroto, Minggu, 22 September 2019).
Dikisahkan tiga sahabat sama-sama tamat dari sekolah dasar (SD) yang sama. Ketiganya juga diajar oleh oleh guru yang sama, namanya Guru Merta. Guru yang satu ini sangat kebapaan dan penuh perhatian kepada setiap murid. Cara mendidiknyapun disenangi oleh setiap siswa.
Suatu hari, si Budi entah karena apa, tiba-tiba ingat dengan gurunya ini, terbayang cara mengajarnya, senyumnya, dan cara menasehati anak-anak saat berada di kelas maupun di luar kelas. Tanpa berfikir panjang, ia kemudian memetik ketela yang ada di kebun belakang rumahnya sebagai buah tangan untuk menengok Sang guru. "Om Swastiatu guru", saya Budi murid guru 10 tahun yang lalu", semoga saja masih ingat". Sang guru kemudian menyambut kedatangan Budi, dengan mencoba mengingat-ngingat, ohhh, Budi yang dulu pendiam, yang bapakmu pelukis, dan sekarang kamu kuliah atau sudah kerja ? Budi kemudian menjawab: betul guru, saya adalah Budi yang dulu pendiam, ayah saya dulu pelukis, dan saat ini saya sedang menyelesaikan tugas akhir kuliah di Universitas Hindu Indonesia. Astungkara, semoga saja kamu dapat menyelesaikan kuliahmu dengan baik, bapak bangga mendengar kamu kuliah, di kampus yang belajar agama, filsafat, dan belajar etika. Semoga saja apa yang kamu pelajari bermanfaat, minimal untuk dirimu sendiri, kata Sang guru.
Sang guru kemudian bertanya, apa yang bapak dapat lakukan untukmu nak Budi ? Tidak pak guru, saya hanya datang menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak atas jasa-jasa bapak mendidik kami, khususnya saya. Saya datang untuk menjeguk bapak, semoga senantiasa diberikan perlindungan dan kesehatan, sehingga saya senantiasa memiliki tempat untuk bertanya. Sambil tersenyum, Sang guru bertanya: "itu kamu bawa apa, kok repot sekali, kalau mau menengok bapak dan bertanya, kamu tidak perlu membawa macam-macam, datang saja dan doakan bapak dan keluarga agar sehat". Tidak bapak, saya memetik ketela dibelakang rumah yang kebetulan tumbuh, saya juga tidak membelinya. Mohon maaf, hanya ini yang dapat saya haturkan kepada guru sebagai bentuk bhakti saya kepada guru. Maafkan saya guru.
Sang guru kemudian masuk ke dalam kamar menemui istrinya dan berdiskusi tentang kedatangan si Budi dengan membawa ketela yang dipetik dari halaman belakang rumahnya, dan kemudian istri pak Budi setuju untuk membalas bawaan si Budi berupa ketela dengan seekor anak sapi (godel) yang dimilikinya. "Pak kasihan si Budi, dari sejak anak-anak hingga dewasa, orangnya perhatian kepada kita, ingat kepada kita, dan bhakti dengan gurunya sepenuh hati. Oleh karena itu, kasi saja godel yang kita miliki untuknya, siapa tahu di tangannya akan lahir anak-anak sapi yang bagus, sehingga dapat menghidupi dirinya.
Sang guru kemudian masuk ke dalam kamar menemui istrinya dan berdiskusi tentang kedatangan si Budi dengan membawa ketela yang dipetik dari halaman belakang rumahnya, dan kemudian istri pak Budi setuju untuk membalas bawaan si Budi berupa ketela dengan seekor anak sapi (godel) yang dimilikinya. "Pak kasihan si Budi, dari sejak anak-anak hingga dewasa, orangnya perhatian kepada kita, ingat kepada kita, dan bhakti dengan gurunya sepenuh hati. Oleh karena itu, kasi saja godel yang kita miliki untuknya, siapa tahu di tangannya akan lahir anak-anak sapi yang bagus, sehingga dapat menghidupi dirinya.
"Nak Budi, terima kasih atas perhatian serta rasa hormat kamu kepada Bapak dan keluarga, sebagai penghargaan terhadap apa yang kamu lakukan, kami sepakat memberimu seekor anak sapi, untuk kamu pelihara dan dapat kamu jadinya modal kegiatan kamu yang lain. Semoga saja apa yang bapak berikan membuka peluang rejeki lainnya", kata pak guru. Jika itu pemberian guru, saya tidak bisa menolaknya, saya akan pegang petuah dan harapan bapak dengan sungguh-sungguh. Terima kasih Bapak, selanjutnya saya pamit.
Dalam perjalanan pulang ke rumah si Budi dengan seekor anak sapinya, bertemulah dengan dua sahabat lainnya, yaitu sebut saja Alit dan Anom, kedunya heran melihat si Budi membawa seekor anak sapi. Kemudian keduanya bertanya: Budi kamu dapat anak sapi dimana ? Si Budi kemudian mengatakan jika pak guru Mertalah yang memberinya seekor anak sapi. Lalu Alit dan Anom kembali bertanya, kamu membawa apa ke rumah pak guru, sehingga kamu diberikan seekor anak sapi ? Dengan jujurnya Budi mengatakan bahwa dia hanya membawa ketela hasil kebun di belakang rumahnya.
Setelah pertemuan itu, si Alit dan Anom berfikir, si Budi yang hanya membawa ketela saja diberikan seekor anak sapi, apalagi membawa sesuatu yang lebih mahal dan banyak, tentu balasannya akan lebih banyak pula. Akhirnya, si Alit dan Anom, membeli durian mounting kesukaan pak guru, membeli minyak kelapa, sabun, gula, dan kopi. Dengan yakinnya mereka mengucapkan Om swastiastu pak guru Merta ? "Kami Alit dan Anom datang menengokmu, karena kami ingin mengetahui kondisimu". Kemudian pak guru Merta keluar dan menemui Alit dan Anom seraya bertanya: "Kalian siapa, dan ada keperluan apa" ? Alit dan Anom sepontan menjawab: "Kami anak-anak bapak sewaktu di Sekolah Dasar dulu, kami datang untuk menengokmu sebagai bentuk bhakti kepadamu. Kami membawa durian kesukaan bapak, juga ada gula dan kopi. Setelah mengucapkan terima kasih, Sang guru kemudian masuk kamar untuk menemui istrinya, seraya berdiskusi, apa yang diberikan sebagai balasan untuk pemberian anak-anak ini. Si istri berkata, apa yang kita berikan, anak sapi satu-satunya sudah kita berikan kepada si Budi, barang lain tidak ada lagi kecuali ketela pemberian si Budi tadi. Sudahlah bapak kasi saja ketela yang dibawa Budi untuk mereka, semoga juga berpahala". Akhirnya, Sang guru memberikan ketela pemberian si Budi yang masih terbungkus rapi kepada Alit dan Anom. Nak Alit dan Anom, terima kasih atas kedatanganmu menengok bapak, terima kasih atas doamu untuk kami, ini sekedar untuk kalian berdua, terimalah. Alit dan Anom saling lirik, seraya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Sang guru menerima kedatangannya serta terima kasih pula atas pemberian Sang guru kepada mereka.
Apa yang dapat ditarik dari kisah itu tiada lain adalah perbuatan yang sama belum tentu menghasilkan pahala yang sama, tergantung motifnya. Jika perbuatan yang dilakukan oleh si Budi adalah perbuatan yang lahir dari kesadaran pikiran (nekeng tuwas, lascarya), maka pahala yang diterima seluas bumi. Sebaliknya, jika perbuatan yang sama dilakukan Alit dan Anom dengan pamrih, motivasi untuk mendapatkan sesuatu yang berlebih (mereka sudah mengkalkulasi terlebih dahulu antara pemberian dan harapan akan hasil yang diperoleh), maka perbuatan itu adalah perbuatan nista, perbuatan yang yang secara moralitas tidak dianjurkan. Oleh karena itu, perintahnya belajarlah memberi, membantu orang lain, memikirkan orang lain selain diri sendiri dengan lascarya, dan soal hasilnya biarkan Tuhan yang menentukannya. Jangan pernah diingat apakah orang yang pernah dibantu itu ingat atau tidak, karena tugas kita adalah membantu, memberi, dan mengempati orang lain, bukan mengingat-ngingat apa yang mereka yang pernah dibantu berikan. "Walaupun ada atau tidak pahala, berikanlah sebagaimana mestinya. Mempersembahkan atau memberi pastilah berpahala, itulah yang harus diperbuat pertama-tama" (Sarasamuccaya dalam gambar, sloka 197) sebagai berikut.
Pradadyad deyamitrewaSemoga kita bisa melaksanakan perintah Bhagawan Wararuci, untuk memuliakan hidup kita yang sangat singkat. Svaha.
yajed yastawyamityapi,
astu wastra phalam ma
ca kartawyam purusena hi.