Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan
![]() |
Sumber Foto Sunda Wiwitan: Lima Waktu |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Uiversitas Hindu Indonesia,
(FGD Metro TV Jakarta, 24 November 2017 dilaksanakan oleh Research Center Media Group).
Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan dalam nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 atas pasal 61 ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23/2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24/2013 tentang Perubahan atas UU no 23/2016.
Dampak dari putusan MK tersebut Penghayat Kepercayaan dipastikan akan masuk dalam kolom agama administrasi kependudukan (adminduk), yakni kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP). Sejajar dengan enam agama yang sudah diakui sebelumnya: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Problematik dan pencatuman tersebut adalah tafsir, terkait dengan kesejajaran Penghayat Kepercayaan dengan enam agama yang sebelumnya sudah masuk dalam kolom isian di KK dan KTP. Selain itu juga berdampak pada tafsir perlakuan birokrasi atas Penghayat Kepercayaan.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1078 tentang GBHN ditegaskan bahwa aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.
Mencantumkan Penghayat Kepercayaan dalam kolom agama secara de jure dan semiotika memberikan legitimasi dan jurisprodensi bahwa mereka sejajar sebangun dengan enam agama yang sebelumnya dapat dicantumkan untuk mengisi kolom tersebut.
Pengejajaran secara administratif sebagai dampak dari putusan MK tersebut, dapat ditafsirkan juga telah memberikan atribusi bahwa Penghayat Kepercayaan memiliki dan sudah memenuhi dasar teologis sehingga dalam padanya cukup untuk dikategorikan sebagai agama yang selanjutnya secara legislasi sejajar dengan enam agama sebelumnya.
Secara birokrasi, saat ini Penghayat Kepercayaan diurus oleh sebuah Direktorat (Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Kepres 27/1979) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Putusan MK tersebut memberi ruang untuk sebuah discursus ide bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejajar dengan enam agama sebelumnya, karenanya secara birokrasi perlu diurus oleh sebuah lembaga setingkat Direktorat Jenderal (Dirjen) yang berada di Kementerian Agama.
Tujuan FGD adalah menemukan rumusan hukum, teologis, dan sosial atas Penghayat Kepercayaan sehingga didapatkan pengertian tunggal. Juga merumuskan rekomendasi terkait dengan legislasi dan birokrasi atas Penghayat Kepercayaan pasca putusan MK.
Pembahasan
Menurut hemat saya, Kepercayaan tidak sama dengan Agama, oleh karena itu kolom kepercayaan semestinya tidak disamakan dan disetarakan dengan agama, walau aliran Kepercayaan dimungkinkan dicantumkan dalam identitas bagian adminduk dan bagian dari tanggungjawab Pemerintah dan Negara menjamin hak-hak paling dasar bagi setiap Warga Negara.
Dalam agama Hindu aliran Kepercayaan dianggap sebagai bagian dari agama Hindu jika ia mengakui Weda (Sruti. Sebagai otoritas tertinggi), disusul Dharma Sastra (Smrti). Dalam agama Hindu (di India) terdapat istilah ‘Sekte’ (sect) dan ‘Sampradaya’. Yang pertama kategorisasi sosiologis dan yang kedua terkesan spiritual. Kelompok Sampradaya tidak suka disebut sekte (karena kesannya sempit, kaku, hanya memuja Dewa tertentu). Sampradaya umumnya mengakui ajaran Universal berdasarkan Weda, seperti Ahimsa, Tat Twam Asi, dan Wasudewa Kutumbakam. Sampradaya menggagas ‘Universal Religion’ dimana unsur penyekat seperti adat, budaya, ritual lokal dihilangkan. Sampradaya sering dikaitkan dengan Parampara (tradisi meneruskan ajaran Guru kepada murid-muridnya) dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi perkumpulan untuk berdiskusi mengenai ajaran Guru dan ajaran lain yang sejalan dengan ajaran Guru.
Sampradaya muncul sejak adanya gerakan menafsirkan kitab-kitab Weda (mulai abad ke-7 dan seterusnya hingga abad 13 dan 14 Masehi) yang dikenal dengan gerakan Pranastraya (Upanisad, Brahmana, Sutra, dan Bhagawadgita), baik dari kalangan Adwaita Wedanta (salah satu tokohnya Sankaracharya) maupun dari kalangan Waisnawa yang dikenal dengan Bhakti Wedanta) dengan tokohnya antara lain: Ramanujacharya, Madhwacharya, Nirmbarka, Wallabha, Caitanya. Gerakan ini sebagai bentuk reaksi atas agama Weda yang ritualistik (dikenal dengan istilah Karma Kanda) sebagaimana dapat dipahami dalam bagian Mantra dan Brahmana.
Beberapa Sampradaya yang sampai ke Indonesia, antara lain ISCON/Hare Krisnha, Brahma Kumaris, Sai Baba, Ananda Marga dan belum lagi yang mengusung nama Yoga. Kelompok Sampradaya ini ada yang masih mau berada di bawah Hindu ada yang tidak, sekalipun dalam diskusi dan prakteknya menggunakan salah satu kitab suci dan atau tradisi Hindu.
Di Indonesia sebelum kata sekte luas digunakan, dalam teks-teks kuno digunakan kata ‘Paksa’ misalnya Budha Paksa, Siwa Paksa, Wisnu Paksa, Sogata Paksa, yang maknanya ‘sekte’. Di dalam Bali Kuno sebagaimana dinyatakan Dr. R. Goris dalam bukunya Sekte-Sekte di Bali (1956) sedikitnya ada 9 sekte antara lain sekte: Sora/Surya, Ganapati, Rsi, Wesnawa, Saiwa, Brahmana, Sogata dsbnya dan oleh Mpu Kuturan disatukan ke dalam konsep Tri Murti (Brahman, Wisnu, dan Siwa) dilandasi asumsi bahwa “terlalu banyak aliran akan memperluas peluang benturan, oleh karena itu sekte-sekte yang mendekati persamaan diasosiasi dan di merger ke dalam satu sekte besar”. Itu hanya dapat dilakukan oleh yang memiliki otoritas, pemerintah, Negara, dan Majelis Agama.
Di Bali ada yang masuk ke salah satu Sampradaya dan memutuskan tidak lagi melaksanakan dan berhubungan dengan tradisi leluhurnya. Sebagian lagi dari mereka (Sampradaya) melaksanakan kedua-duanya walau kadang-kadang bertentangan. Namun ada pula yang setelah sekian lama mengikuti Sampradaya kembali ke ajaran Weda dan tradisi leluhurnya. Yang jelas telah terjadi pragmentasi sosial dan menurut hemat saya akan terjadi semakin besar dengan ditafsirkan samanya Kepercayaan dengan Agama. Jika tafsir akan persamaan dan kesetaraan antara Agama dan Kepercayaan berkembang, apalagi dilegitimasi secara hukum, maka dampak sosiologinya menjadi tantangan bagi agama-agama besar dan formal (terlalu banyak bukti yang dapat digunakan memperkuat argumentasi ini). Oleh karena itu, Pemerintah dan Negara cukup memberikan perlindungan hukum dan pembinaan kepada mereka, bukan menyamakan kedudukan Kepercayaan yang dianut, dengan Agama-Agama formal dan yang telah diakui oleh Pemerintah.
Agama Hindu tidak pernah homogen dan selalu heterogen dalam berbagai hal. Demikian pula kebudayaan Hindu tidak pernah monolitik, ia selalu membuka ruang pluralism. Akan tetapi semua itu diikat dan dikontrol oleh Tattwa yang bersumber dari ajaran Weda (Sruti dan Smrti). Svaha