Skip to main content

Pradnyan dan Purusotama ?

Sumber Foto: Ruangguru.Co.Id
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Jakarta, 28 Mei 2011).

Om Swastiastu,
Sebelum saya memulai Dharma wacana ini, ijinkan saya mengucapkan selamat hari raya Nyepi tahun baru saka 1939 kepada seluruh umat Hindu, khususnya yang hadir pada acara dharmasanti petang ini, disertai harapan semoga kita senantiasa diberi kerahayuan, santa santosa, ambek sadu medasar antuk pikayun suci nirmala, sekadi sane keaptiang olih panitia.

Hadirin yang berbahagia, 
Pada bulan Juli 2016 Price Water house Coopers (PwC) merilis hasil survei yang telah dilakukan terhadap 2.106 ekskutif senior di dunia. Hasilnya, “sofistikasi (kompleksitas) persoalan akan semakin meningkat sejalan dengan waktu, dan waktu untuk menyelesaikannya harus semakin cepat. Dalam konteks itu Rupert Murdoch, Dirut News Corporation menyatakan: “dunia sedang berubah dengan sangat cepat, bukan yang besar mengalahkan yang kecil, melainkan yang cepat mengalahkan yang lambat”. 

Kompleksitas kehidupan dibahas  juga oleh Moreux dan Tollman (2014) dalam Six Simple Rules, How to Manage Complexity without Getting Complecated. Dalam buku itu disebutkan bahwa dalam 20-30 mendatang masyarakat dan kebudayaan manusia akan mengalami kompleksitas 35 kali dari saat ini. Oleh karena itu, disiapkan enam langkap penting agar kita semua bisa survive, yaitu berpengetahuan, berketerampilan, kreatif, disiplin, jujur, dan rendah hati. Studi Ian Goldin (2016) dalam Age of Discovery  menyatakan kompleksitas persoalan sosial (social complexity) lebih cepat dibanding dengan kemampuan pemahaman (cognitive capacity), akibatnya semakin banyak kehidupan yang masih gelap (blind zone). Agar umat Hindu Siddhi (berhasil), maka harus pandai (Sadhu) atas dasar Suddha (suci). Apakah Hindu memiliki landasan membangun manusia yang Siddhi berdasarkan konsepsi Sadhu (pandai) dan  suddha (suci)?

Hadirin yang berbahagia,
Suatu saat terjadi dialog antara Rsi Waisampayana dengan Maharaja Janamejaya, mengenai pokok-pokok Mahabharata yang terhimpun dalam buku Sarasamuccaya karya Bhagawan Wararuci. Dialog intensip ini terjadi, disamping untuk memahami substansi salah satu kitab Ithiasa, juga sebagai bentuk penghormatan kepada Maharsi Wyasa. Dialog yang akan saya bahas pada kesempatan yang baik ini, terbatas pada bagian 17, Sloka 299-313 pada Sarasamuccaya dalam gambar mengenai “orang berilmu dan berbudi”.

Agar manusia Hindu siap menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan dinamis, maka mereka harus mampu memenuhi dua syarat utama, yaitu pradnyan dan purusotama. Pradnyan dinyatakan sebagai kemampuan menguasai kompetensi dengan baik. Menjadi seniman, menjadi guru, menjadi petani jika disertai dengan penguasaan yang baik, maka dia akan mendapatkan kemuliaan. Kepradnyan, tidak semata-mata diperoleh melalui pendidikan formal (by education), melainkan dapat pula diperoleh melalui pengalaman (by learning). Bagaimana pradnyan itu dapat dicapai ? 

Dalam sloka 301-302 diperintahkan, bergaulah ! Bergaul memberi ruang berkembangnya pengetahuan kita semakin luas, semakin beragam, dan open mainded, ibarat setetes minyak dalam air, akan menyebar semakin luas. Tinggal dalam sebuah asrama dan pasraman dalam jangka waktu tertentu, tidak saja akan memberi pengalaman hidup baru, temen baru, pengetahuan baru, tetapi melalui belajar bergaul itu, kita bisa saling menakar kesukaan-ketidaksukaan, saling melatih mengempati satu sama lain, sehingga semuanya memiliki tambahan pengetahuan dan pada akhirnya memiliki ke-siddhi-an.

Pada sloka 303 dan 305 dengan jelas dinyatakan agar menjadi Manusia Hindu yang utama, maka kita harus mampu membangun jejaring (304) dan berdiskusilah (305). Manusia yang mampu membangun jejaringnya semakin luas berpotensi memiliki peluang maju yang lebih besar. Jejaring setiap saat harus dibangun di atas prinsip saling membutuhkan dan menghormati. Sementara itu, jejaring yang telah ada, tetap dipelihara dengan cinta kasih. Jejaring tidak boleh dihidupkan hanya pada saat memerlukan saja atau pada saat perlu saja.  Maharaja Janamejaya, “kerajaanmu akan besar, berkembang, dan kuat jika engkau memelihara dan mengembangkan jejaring ini” ujar Rsi Waisampayana.

Rsi Waisampayana kemudian melanjutkan, satu hal yang tidak kalah penting yang perlu engkau ingat adalah “agar kamu menjadi manusia Hindu yang pradnyan, maka sering-seringlah berdharmatula, berdiskusilah !” [305]. Perintah ini menegaskan bahwa belajar apapun, harus melalui proses diskusi panjang terlebih megenai kebenaran agama. Syarat diskusi dimaksud, harus ada kemauan saling bertukar pikiran, saling menerima pendapat orang lain. Tidak boleh mengembangkan sifat menang sendiri dan atau hanya mau didengarkan, sementara ia sendiri tidak mau mendengarkan.

Hadirin yang berbahagia, 
Paduka Bhagawan Waisampayana yang Agung, apakah dengan bekal pengetahuan yang hebat (Pradnyan), pendidikan tinggi Manusia Hindu sudah bisa mencapai Siddhi (berhasil), tanya Maharaja Janamejaya. Bhagawan Waisampayana kemudian menjawab: “untuk memenangkan perang di masa depan, manusia utama tidak cukup hanya dengan memiliki pengetahuan dan atau kompetensi yang baik. Manusia Hindu harus mampu melengkapinya dengan syarat lainnya, yaitu purusotama atau berbudi luhur. Ciri manusia Hindu berbudi luhur itu adalah “tidak pernah bangga tatkala dipuji dan tidak pernah merasa hina tatkala dicaci maki” [306]. Sloka ini jelas memberikan pandangan akan pentingnya seorang Manusia Hindu mampu melatih dirinya menjadi manusia yang memiliki stabilitas emosional. Dapat rejeki berucap astungkara, belum dapat rejeki, tetap astungkara-belum jalannya. Diberi kedudukan tinggi, astungkara, diberhentikan dan atau diganti tetap berujar astungkara. Mengapa sloka ini menekankan pentingnya menjaga emosi agar nehter, karena dengan kedamaian kita akan mendapatkan sorga dalam diri yang disebut kebahagiaan. Anda bisa bayangkan, kalau kita tidak mampu menjaga stabilitas emosional, maka ketika kita memperoleh rejeki dan atau kedudukan baik kita senang berlebihan, maka saatnya mengalami penderitaan kita akan terpuruk luar biasa pula. Hal ini disebabkan kita sendiri  membuat jarak antara senang-sedih, suka-duka, bahagia-sengsara terlalu lebar. Berkacalah anakku Maharaja Janamejaya, “Raksasa Niwatakwaca tewas karena ia terlalu senang, ketawa terbahak-bahak. Andaikata Niwatakwaca pernah membaca Sloka Sarassamuccaya 306 ini, mungkin ia tidak akan tertawa terbahak-bahak, sehingga terhindar dari kematiannya”. 

Hadirin yang saya hormati,
Selain mampu mengendalikan fluktuasi rasa, Manusia Hindu harus belajar terus menerus mengendalikan kroddha [SS, 307-309]. Bhagawan Waisampayana   menegaskan kepada Maharaja Janamejaya “walaupun seseorang bisa mengalahkan dan membunuh puluhan bahkan ratusan musuhnya, semua yang dibencinya bisa musnah, namun jika ia selalu menuruti nafsu amarah, sepanjang hidupnya tak henti-hentinya mempunyai seteru” [Na catrawah ksayam yanti yawajjiwamapi ghanatah, krodham niyantum yo weda tasya dwesta na widyate, 96]. Manusia Hindu yang tidak mampu mengendalikan kroddha, sering bertengkar, selalu mendapat kesusahan di manapun berada dan apapun yang diperbuatnya. Di tempat tidur sekalipun, tidak akan pernah tenang hatinya, seolah-olah tidur di rumah yang penuh ular [Jatawairastu puruso duhkham swapiti sarwada, anirwrtena manasa sa sarpa iwa wecamani, 99]. Anakku Janawejaya, kemarahan juga membawa akibat “segala persembahan, tapa, yoga, semadi dan segala upacara yang dilakukan oleh Manusia Hindu yang dikuasi kroddha, pahalanya akan diambil oleh Dewa Yama, ia tidak akan menerima pahala apapun kecuali lelah [yat krodhano yajati yaddadati yadwwa tapastapati yajjuhito, waiwaswatastaddharatyasya sarwam wrtha croma bhawati krodhanasya, 102]. Westa menyatakannya: “musuh terbesar dari perjalanan sunyi itu, entah dia pendeta, sadhaka, yogini, adalah kemarahan. Kemarahan dan ketamakan membuat semua kompetensi runtuh. Upacara, mudra, mantra, dan kuta mantra menjadi tumpul”.  Karena itu, wahai Maharaja teruskan usahamu dalam mengendalikan kroddha membara pada dirimu, tetap tenang sekalipun engkau mendapatkan celaan dan cemohan.

Umat sedharma yang berbahagia,
Bhagawan Waisampayana kemudian melanjutkan nasehatnya: “Manusia Hindu harus tetap rendah hati” [Artham mahantamasadya widyamaicvarymewa ca, wicaredasamunnaddham yah sa pandita ucyate. SS, 310]. Dalam sejarahnya, banyak Manusia pintar, sadhu tidak mencapai prestasi puncaknya karena ia mengabaikan aspek budhi ini. Ia merasa pintar, paling tahu, malahan serba tahu, sehingga tanpa sadar menganggap orang lain tidak tahu apa-apa, malahan bodoh. Sifat-sifat seperti ini adalah musuh dalam diri, yang hanya bisa dikalahkan oleh kesadaran murni untuk tetap rendah hati.

Hadirin yang berbahagia,
Akhirnya Bhagawan Waisampayana berkata, dan menyimpulkan: “Wahai Maharaja Janamejaya, kalau engkau mau berhasil memenangkan perang masa depan [Siddhi], maka engkau harus menegaskan pada dirimu sendiri untuk menjadikan dirimu pradnyan dan purusotama sekaligus. Oleh karena itu, “bergaulah dengan orang-orang pintar dan bijaksana, setidaknya engkau akan menjadi pintar dan bijaksana. Ibarat membuat minyak wangi, maka bau wangi itu akan meresap pada baju, rambut, dan bahkan nafasmu [Wastramambhastilan bhumim gadho wasayate yatha, puspanamadhiwasena tatha samsargaja gunah, SS,300]. Ini adalah teori determinisme lingkungan, dengan siapa kita bergaul, di mana kita bergaul, saat seperti apa kita bergaul, dan karena apa kita bergaul, semuanya akan menentukan hasilnya. Sebagai orang tua, kita wajib memperhatikan lingkungan dan sekitaran anak-anak kita belajar, bergaul, dan berkomunikasi. Anak-anak yang bergaul dengan orang yang suka berbicara, tidak mengenal unggah-ungguh, maka cepat atau lambat akan menjadi anak yang berkecendrungan bicara kasar. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan kehidupan keras, maka ia akan cenderung menjadi keras. Pergaulan akan membawa serta kosa kata, pilihan kata, intonasi bicara dan psikologi bahasanya. Coba saja intens bergaul dengan orang suci, maka akumulasi pengetahuan kalian berisi tentang, dupa, bunga, tirta, trisandya, daksina, dan tentu yang terakhir sesari. Pendek kata, pergaulan dan atau lingkungan akan memberi warna terhadap perkembangan anak-anak.

Demikianlah beberapa nasehat penting yang diambil dari dialog Bhagawan Waisampayana dengan Maharaja Janamejaya, semoga kita semua memperoleh pencerahan dan berikhtiar mewujudkannya dalam tindakan sehari-hari. Om Sidirastu tat astu svaha. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Svaha.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar