Pratima Sebagai Simbol Konstruktif
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia
(Bandung, 2001)
Manusia sebagai animal symbolicum
“The symbol-making function is one of man’s primary activities” tulis S.K. Langer dalam bukunya yang terkenal Philosophy in a New Key (1942). Setiap orang memakai lambang dan simbol tanpa banyak berpikir. Dengan spontan disebar dalam hubungan dengan orang lain: dan arti serta maksudnya langsung ditangkap. Seorang pengantin mengenakan cincin pada jari teman-hidupnya sebagai tanda kesetiaan. Pada hari ulang tahun ibu, anak-anak menampilkan cintanya dengan membelikan hadiah. Sekitar kelahiran anak bermacam macam upacara dan tindakan simbolis dibuat untuk menyatakan pentingnya peristiwa itu serta untuk menjamin kesehatan dan keselamatan anak itu. Dalam pengungkapkan isi hati, orang memakai lambang dan kata simbolis. Singkat kata, kebutuhan dasar manusia yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan adalah kebutuhan akan simbol seperti halnya makanan, melihat atau berpindah tempat. Bagi manusia membuat simbol adalah aktivitas primer.
Dalam perspektif kebudayaan, penciptaan simboll merupakan suatu respons manusia terhadap challenge, yaitu situasi alam yang melingkupinya. Ernst Cassier dalam bukunya An Essay On Man menyebutkan manusia sebagai animal symbolicum. Dengan demikian, simbol senantiasa berada dalam hidup keseharian manusia sebagai referensi dalam pembudayaan-diri. Melalui simbol terbuka kemungkinan ragam ekspresi kreatif manusia. Di samping itu, manusia juga dapat menggunakan simbol sebagai jaringan peristiwa (network of evens) lampau, kini, dan akan datang serta menempatkan diri di dalamnya. Namun, menerangkan simbolisme itu soal lain. Walaupun dipakai orang dengan spontan, hanya sedikit ahli dapat menerangkan sesuatu yang sebenarnya terjadi dalam pemakaian simbol. Pada titik inilah urgensi kerangka konseptual dan kajian teoretis tentang simbolisme perlu dikemukakan.
Secara ontologi , pengertian simbol dan simbolisasi bersifat dikotomis. Perspektif pertama, simbol dan simbolisasi berkaitan dengan yang imanen, dalam arti yang disatukan adalah yang ada dalam manusia saja. Simbol dan simbolisasi terbatas pada dimensi horizontal saja. Perpektif kedua, beranggapan simbol merujuk kepada hal yang transenden (yang mengatasi objektivikasi) bahwa jikalau berbicara tentang simbol dan simbolisasi senantiasa berhubungan dengan adanya dialog manusia dengan ‘yang-lain’. Dengan demikian, simbol tidak saja berdimensi horizontal-imanen, tetapi juga berdimensi vertikal-transenden.
Paling tidak ada empat peringkat simbol, yaitu simbol (1) konstruksi yang berbentuk kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama; (2) evaluasi berupa penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma, dan aturan; (3) kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya; serta (4) ekspresi berupa pengungkapan perasaan. Hampir seluruh simbol tersebut bersifat shared values, yaitu disepakati bersama serta memiliki fungsi integratif untuk mempertahankan pengawasan sosial dan memelihara kebersamaan dalam masyarakat; atau sebaliknya sesuatu yang dapat mewujudkan disintegratif (Wallace dan Alison Woft, 1986; dan Parsudi Suparlan dalam Geertz, 1981: vii).
Keempat pembagian simbol itu bila dilihat secara hirarki-vertikal-transenden menyebabkan simbol konstruktif merupakan simbol yang paling hakiki. Simbol ekspresif atau simbol untuk mengungkapkan perasaan berada pada posisi pinggiran dalam struktur simbol. Artinya, struktur simbol seperti itu membawa konskuensi, yaitu perubahan pada simbol ekspresif tidak dengan sendirinya diikuti oleh simbol konstruktif. Sebaliknya, perubahan pada simbol konstruktif dapat diprediksi akan terjadi penafsiran kembali pada simbol moral, kognitif, dan simbol ekspresif.
Pratima Sebagai Simbol Komitmen Masyarakat
Pembahasan tentang simbol konstruktif masyarakat Hindu di Bali menyiratkan bahwa mereka menggunakan perlambang untuk memformulasikan, mengungkapkan, dan mengkomunikasikan nilai serta makna dari kebudayaannya dalam hampir seluruh kehidupan mereka. Nilai dan makna yang dianggap berharga, dikategorisasikan menurut urutan prioritas dan kemampuan membentuk, memahami, serta menyadarinya (Weber, 1958). Di samping agar tindakannya menjadi terpola dan teratur secara fungsional (Berger dan Luckman, 1990; Berger, 1994) hal itu dimaksudkan juga agar tersusun skala nilai yang membedakan antara yang suci dan profan (Durkheim, 1965; Geertz, 1960; 1992a, 1992b, dan 1992c).
Bagi seorang petani (Dananjaya, 1989; 1991; Geriya dkk, 1985), simbol-simbol dibuat berdasarkan pengetahuan dasar yang dimiliki, menurut bidang kerja, dan lingkungan mereka bersosialisasi. Mereka amat dekat dengan simbol Dewi Sri atau yang lebih operasional dengan simbol Cilinaya, yang membuat Dewi Sri seolah-olah hidup dalam dunia mereka senyatanya. Mereka tidak saja memperlakukannya sebagai perwujudan dari hal yang transenden, tetapi pada saat tertentu juga memperlakukannya sebagai ‘teman’ yang bersedia menerima keluh kesahnya, terutama tatkala tanaman yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan, tidak memenuhi harapan. Di samping itu, mereka kadangkala juga mengumpat secara berbisik, seolah-olah Sang Dewi adalah sahabat karib yang patut mendengarkan derita yang sedang dihadapi dan menuntut-Nya agar keberuntungan segera berpihak kepadanya. Sebaliknya, para petani akan membuatkan pesta dan persembahan kepada-Nya, manakala panen petani itu berhasil. Pala bungkah (buah-buahan yang ditanam) dan pala gantung (buah yang dipetik) menjadi persembahan utama, di samping persembahan lainnya. Lebih penting dari itu, Dewi Sri diwujudkan dalam tanda yang terbuat dari padi dan atau jaja dan disimboliskan sebagai sakti Dewa Wisnu sebagai pemelihara.
Pada tingkat komunal, masyarakat petani membentuk simbol Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai objektivasi yang mengarahkan serta mempolakan seluruh tindakan mereka dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian. Pada areal persawahan yang berada pada satu wilayah subak tertentu, dibuat tempat pemujaan Dewi Sri dan Wisnu yang disebut pura Bedugul. Pada wilayah yang lebih luas, yaitu desa adat Dewi Sri dan Wisnu dipuja di pura Puseh; dan pada wilayah yang lebih luas lagi, yakni pada tingkat sad kahyangan pemujaan diadakan di pura Ulun Danu. Para petani tidak saja berhak memohon perlindungan, kemakmuran, dan kelestarian, tetapi juga berkewajiban memelihara dan mempersembahkan yang terbaik dari yang dimiliki dengan tulus ikhlas, secara bertingkat mulai dari pura Bedugul, Puseh, dan Ulun Danu. Artinya, masyarakat Hindu di Bali menghargai pentingnya kedudukan air dan tanah dalam struktur simbolisnya. Oleh karena itu, berbagai ritus dilakukan untuk memelihara sumber air sebagai menfestasi sumber kesuburan dan kemakmuran. Tanah juga diperlakukan dengan baik melalui upacara caru yang dilaksanakan secara bertingkat. Pertiwi (tanah) diyakini sebagai ibu atas seluruh kesuburan dan kemakmuran.
Komunitas pembuat peralatan yang berasal dari bahan besi, logam, perunggu, dan emas (Pande) menonjolkan referensi makna dan nilai yang berbeda. Sebagai penerus Sang Agni Jaya Sakti, mereka menonjolkan aspek penciptaan atau Brahma. Seluruh atribut ditandai dengan warna serba merah sebagai simbol Brahma. Pada tingkat rumah tangga tempat mereka melaksanakan pekerjaan memande, akan ditemukan adanya perapen. Pada tingkat desa, pura Bale Agung merupakan wadahnya, dan pada tingkatan yang memiliki cakupan wilayah lebih luas, mereka memuja-Nya di pura Parepan yang letaknya di sebelah pura Batumadeg Besakih.
Pedagang dan para Banker dengan simbol yang dipuja berupa Dewi Rambut Sedhana, pendidik dengan Dewi Saraswati, dan kelompok fungsional lainnya juga membuat simbolnya sendiri, dengan caranya mereka dalam memberi arti. Karena itu, pada masyarakat Hindu di Bali ditemukan beragam simbol yang bisa jadi hanya dapat dimengerti dan bermakna secara penuh pada lingkungan komunitasnya. Sementara komunitas lain hanya mengetahui dan tidak menyadarinya. Artinya, komunitas di luar pemilik simbol itu hanya dapat memanfaatkan simbolnya sebagai pembeda, bukan menjadikan mereka lebih mengenal diri sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu, kecuali yang bersangkutan berusaha memahami dan menyadarinya.
Pada abstraksi yang lebih tinggi, komplekstitas simbol yang berasal dari kelompok fungsional, seperti petani, pedagang, pande, nelayan, dan pendidik disatukan ke dalam konsepsi pengider-ider, yaitu konsepsi yang diartikan melingkari bhuana agung tempat masyarakat Hindu tinggal. Pengider-ider dengan Eka Dasa Rudra yang menempati sebelas penjuru mata angin (delapan penjuru mata angin dengan tiga di tengah), mengakomodasikan mereka yang bekerja sebagai petani, nelayan, pande, pedagang, pendidik, dan kelompok fungsional lain. Mereka diajarkan mengaktifkan nilai, makna, dan simbol yang ada pada konsepsi Eka Dasa Rudra tanpa harus merasa meninggalkan simbol yang telah membentuk dan ‘menjadikan’ mereka. Makna pengider-ider sesungguhnya bisa saja belum diketahui, tetapi setidaknya telah dapat disosialisasikan dalam tindakan yang lebih operasional. Maksudnya, dengan mengartikan pengider-ider sebagai kain suci yang digunakan melingkari tempat pemujaan atau rumah adat tatkala adanya penyelenggaraan ritus. Dengan bahasa dan pengetahuan dasar, mereka membuat simbol yang relatif abstrak menjadi lebih operasional, menjadi semacam tanda yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan mewujudkan keteraturan dalam lingkup yang lebih terbatas sebagaimana dinyatakan Sahlins (1976; 1977).
Selanjutnya simbol sebelas dan sembilan, diabstraksikan ke dalam simbol lima yang disebut Panca Brahma dan Panca Akara yang menunjukkan interelasi kekuatan yang disusun dari empat Dewa, dan yang kelima berfungsi sebagai pusat. Spektrum itu menunjukkan adanya konsepsi kosmologi mengenai dunia, yang tersusun di sekeliling keempat titik kardinal. Titik tengah dipandang superior terhadap sekelilingnya dan berfungsi menyeimbangkan kekuatan dari keempat subordinasi tadi. Siwa merupakan sumber kekuatan yang menyeimbangkan keempat kekuatan yang berasal dari Iswara di timur, Brahma di selatan, Maheswara di barat, dan Wisnu di utara. Panca warna simbol Siwa merupakan penggabungan kekuatan dari warna putih, merah, kuning, dan hitam yang masing-masing sebagai simbol Iswara, Brahma, Maheswara, dan Wisnu.
Munculnya konsepsi Trimurti sebagai perwujudan Tuhan dalam tiga kedudukan dan peranan, yaitu sebagai pencipta (stitti), pemelihara (utpeti), dan pelebur (pralina) merupakan bentuk abstraksi lebih lanjut. Dalam memerankan diri sebagai pencipta, Ia disebut Brahma; ketika berperan sebagai pemelihara disebut Wisnu; dan tatkala menghacurkan segala sesuatu yang dianggap tidak fungsional lagi, Ia disebut Siwa. Simbol tiga sesungguhnya adalah satu, dan yang tiga pada saatnya kembali kepada satu. Konsepsi siklus lahir, hidup, dan mati bukanlah sesuatu yang baru dalam konfigurasi kultur petani. Tradisi itu dijalani dengan penuh makna, melalui proses menanam, memelihara, dan memanen atau menghacurkannya jika saatnya tiba.
Simbol tiga diringkas lagi menjadi simbol satu yang bermakna hakikat, suatu sifat yang mengatasi manusia manapun. Siwa adalah hakikat, sebagai perwujudan Tuhan yang mengatasi segalanya. Ia tidak saja diagungkan oleh penganut Siwa Sidhanta seperti penganut mayoritas pada masyarakat Hindu di Bali, tetapi juga dipuja oleh penganut Waisnawa dan Brahma. Akhirnya, simbol satu diabstraksikan menjadi aksioma dari seluruh abstraksi, menjadi simbol nol (sunya) kosong ketika manusia tidak mampu lagi merasakan derita dan bahagia, ketika tidak ada batas antara suka dan duka. Semua berjalan apa adanya menurut kehendak-Nya, bukan menurut kehendak hati yang memiliki subjektivitas. Dilaksanakannya upacara Eka Dasa Rudra, Panca Wali Krama, Tri Bhuwana, Eka Bhuwana, dan nanti pada tilem Caitra tahun Saka 2000 atau 2079 Masehi dilaksanakannya upacara Baligya Merebhu Bhumi merupakan interpretasi baru sekaligus menunjukkan konsistensi bahwa masyarakat Hindu di Bali, membuat dan memperlakukan simbol buat ibarat ‘bermain-main’ dalam mengabstraksikan teori sosial untuk menciptakan sebuah aksiomatik teori.
Cara memperlakukan simbol seperti itu menyiratkan bahwa masyarakat Hindu di Bali memperlakukan yang transenden sebagai sesuatu yang multipleks pada saat tertentu dan simpleks pada saat yang berbeda atau sebaliknya. Mereka memperlakukannya tanpa ada perasaan bersalah bahwa cara yang satu lebih mulia daripada cara lainnya atau mengaktifkan konsepsi lima lebih berpahala daripada melaksanakan konsepsi sembilan. Mereka memaknainya sebagai sebuah siklus bahwa abstraksi sebelas, sembilan, lima, tiga, satu, dan kosong adalah sebuah siklus sebelum kembali kepada yang sebelas. Hal itu dibaratkan sebagai seorang petani memberi arti pada proses menanam, memelihara, dan menuainya.
Cara berpikir proses berulang bahwa awal kehidupan yang disimbolkan dengan warna putih bertempat di sebelah timur (purwa), melalui beberapa tahapan hingga sampai pada simbol hitam di utara, menyiratkan pengakuan bahwa manusia yang terlahir sesungguhnya ibarat kertas putih nan bersih. Akan tetapi, proseslah yang menyebabkan ia menjadi merah, kuning, hitam, jingga, oranye, hijau, biru, dan berumbun (semua warna) sebelum kembali kepada-Nya agar menjadi putih kembali.
Keberlakuan simbol satu memiliki univeralisme jika dibandingkan dengan tingkat keberlakuan simbol tiga, lima, sembilan, dan sebelas. Simbol satu menjadi inspirasi dan sumber pengembangan simbol-simbol lainnya. Sebaliknya, simbol sebelas dan sembilan membangun simbol lima, dan simbol lima dijadikan dasar terwujudnya simbol tiga sebelum menjadi simbol satu dan nol (sunya). Hubungan antara simbol satu dengan sebelas lebih menyerupai hubungan sibernetika, pihak yang satu membangun pihak lain. Sebaliknya, pada saat berbeda simbol yang membangun diatur dan dipolakan oleh simbol tunggal.
Kecenderungan untuk menafsirkan simbol ke arah yang lebih bersifat universal dan bermakna sesuai konteks dapat pula dipahami dari proses penyadaran akan arti penting simbol Saraswati dan Rambut Sedhana. Saraswati pada awalnya dianggap sebagai simbol yang hanya berlaku dalam hubungan guru-murid (pasisyan dan aguron-guron) yang diaktifkan pada lingkungan terbatas, terutama di lingkungan tempat tinggal Pedanda yang memiliki sisya. Simbol yang bersifat fungsional-terbatas dalam hubungan aguron-guron kemudian dimekarkan dan dimaknai sebagai hari turunnya pengetahuan. Hari raya Saraswati dipuja oleh orang yang cinta kepada pengetahuan praktis, sastra, pengetahuan agama sampai yang bersifat gnosis. Akhirnya, Saraswati merupakan kebutuhan kaum intelektual, cendekiawan, praktisi, dan pekerja kasar sekalipun semakin mewarnai keberadaan kelas di Bali.
Ditonjolkannya konsepsi terhadap Tuhan sebagai penguasa uang (Rambut Sedhana) yang diyakini melimpahkan kemakmuran dan kesejahteraan kepada umat manusia, membuktikan bahwa simbol dibuat dan diaktualisasikan menurut konteks dan keberlakuan. Konteks dalam hal ini berarti simbol Rambut Sedhana diangkat ke permukaan sebagai proses penyesuaian bahwa masyarakat lebih banyak bergerak dalam kegiatan ekonomi. Jika pada lingkungan masyarakat agraris Dewi Sri dijadikan simbol, sehingga semua kegiatan di arahkan untuk itu, maka dalam tatanan masyarakat yang mengalami moneterisasi, uang (Rambut Sedhana) adalah simbol imanen yang dapat menentukan kedudukan relatif seseorang di antara orang lain. Kesejahteraan dan kemakmuran tidak saja diperlukan oleh banker, pedagang, pande, tetapi juga oleh para guru. Di sini kembali tampak bahwa simbol yang dibuat disesuaikan dengan konteks dan cenderung berkembang ke arah makna yang lebih universal seperti halnya simbol sebelas yang diabstraksikan menjadi simbol satu.
Simpulan
1. Sebagai komitmen bersama yang lahir dari kontruksi sosial, Pratima memiliki dimensi yang supreme, tidak terhingga harganya, malahan dapat melebihi harga jiwa.
2. Sebagai simbol yang lahir dari penyatuan dan perasaan bersama, maka ia harus dijaga eksistensi dan kesucian oleh yang masyarakat yang membangunnya.
3. Pemerintah dapat membantu melakukan proses penyadaran, penguatan, dan sosialisasi agar eksistensi yang sakral senantiasa terjaga.
4. Mereka yang melanggar diserahkan kepada aparat berwenang