Skip to main content

Reinterpretasi Adat dan Tradisi

Sumber Ilustrasi: Shutterstock.
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna, 
Universitas Hindu Indonesia, 
(Dialog Budaya Regional, Yogyakarta, 28-29 Oktober 2002).

I.  Pendahuluan.
Adat dan tradisi adalah sebuah konsepsi yang dianggap bernilai dalam suatu komunitas tertentu pada jamannya. Selain berupa nilai konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Adat dan tradisi acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral para anggota komunitas pendukungnya untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran nilai mereka.  Banyaknya cara yang tersedia untuk memaknai tradisi itu, membuka peluang adanya polarisasi cara, sehingga dapat dan atau telah menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi.

Tradisi sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada jamannya, bukanlah sesuatu yang a-historis dan tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu berbagai ‘kebutuhan baru’ muncul yang dianggap sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi, diakomodasi, dan dijadikan acuan bersama. Dalam kenyataannya, terdapat pula komitmen moral yang tadinya dirumuskan untuk tujuan baik, dalam implementasinya dewasa ini telah mengalami benturan dan malahan dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah yang bersifat internal, yang menandakan bahwa tidak ada satu pihakpun yang terhindar dari proses perubahan.  Perubahan semakin terasa kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu  modernisasi dan globalisasi. Karena itu, pengenalan terhadap nilai baru (modernisasi dan globalisasi) memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi tradisi agar tradisi itu tetap dapat menciptakan harmoni dan peradaban.

II.  Reintepretasi Adat dan Tradisi. 
Secara implisit telah dikemukakan bahwa modernisasi dan globalisasi memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Karena itu, anggota komunitas pendukung suatu tradisi tertentu senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi. 

Dalam pengalihan itu, terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan  kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. 

Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana tersirat dalam adat dan tradisi kurang relevan, cara itu akan diganti dengan cara yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman dan sosialisasi. 

Pemahaman secara cermat mengindikasikan bahwa dalam suatu proses tafsir diakui bahwa ada aspek ‘manipulasi simbolis’ yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Hal itu sekaligus menyatakan bahwa tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinuum yang berhadapan dengan modernisasi, bahwa yang satu lebih menekankan pada cara berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan universalisme-globalisasi. Masing-masing dari keduanya (tradisi dan modernisasi) memiliki nilai yang bersifat axiomatik, yaitu menjujung nilai persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan umat manusia. Artinya, dalam suatu tradisi komitmen tentang persaudaraan, kemanusiaan dan kesejahteraan bukannya tidak ada, tetapi dikemas dengan cara yang lebih tersembunyi, dibuat malu-malu. Sebaliknya, dalam dunia global bukanlah suatu kehidupan tanpa solidaritas.  Sedangkan sosialisasi menegaskan bahwa walaupun reintepretasi terhadap adat dan tradisi merupakan suatu keharusan sejarah, namun hal itu tetap dilakukan setelah melalui mekanisme dan tahapan yang sistematis. Tujuannya agar seluruh produk manusia dan hasil intepretasi mereka, terus dapat menjadi standar moral dan wahana memelihara solidaritas.

III. Kategori Reinterpretasi: Teori Holistik Kebudayaan.
Ignas Kleden (1987; 15-28) dalam tulisannya yang berjudul “Masalah Kemiskinan Sosial-Budaya di Indonesia” mengajukan teori holistik kebudayaan, yaitu memandang basis kebudayaan terpilah menjadi tiga bagian. Hubungan ketiga basis itu bersifat dialektis, diantaranya: Pertama, basis material kebudayaan yang praktis berarti meninjau hubungan manusia dengan dunia fisik umumnya dan ekonomi khususnya; kedua, basis sosial kebudayaan yang meninjau bentuk-bentuk interaksi antarkelompok; dan ketiga, basis mental/kognitif kebudayaan yang praktis melihat hubungan antara suatu kelompok dengan dunia pengetahuan dan nilai-nilai mereka.  Dengan ketiga basis diandaikan bahwa integrasi kebudayaan baru akan terwujud jika suatu perubahan pada suatu tingkat akan diteruskan dan diterima pada tingkat/lapis kebudayaan lainnya. Sebaliknya desintegrasi terjadi kalau perubahan itu hanya mandek pada salah satu lapis kebudayaan saja dan gagal untuk diteruskan ke lapis kebudayaan lainnya. Dalam konteks adat dan tradisi di Bali, basis material budaya itu berupa kehidupan agraris; sementara basis sosial kebudayaan Bali terdapat pada komunitas banjar atau desa pakraman; dan terakhir basis mental/kognitif kebudayaan Bali terlihat pada orientasi kosmologis yang siklis-Hinduistik.

Hubungan antarketiga basis kebudayaan itu dialektis, sehingga pengandaian teoritis yang dianut ialah dalam suatu perkembangan kebudayaan yang “ideal” terjadi hubungan dan perkembangan yang sejalan antara ketiga lapis kebudayaan itu. Demikian pun kalau terjadi perubahan pada salah satu lapis kebudayaan, maka perubahan tersebut akan diteruskan dan diterima pada tingkat/lapis kebudayaan lainnya. Perubahan signifikan yang dihadapi adat dan tradisi pada tataran kognitif/mental kebudayaan adalah: satu sisi kuatnya orientasi kosmis-siklis Hinduistik yang menjadikan kokohnya pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial (ungah-unguhing bahasa, soroh dan kasta) dan di sisi lain derasnya arus konsep historisitas linear dari masyarakat barat yang hadir ke Bali melalui pariwisata yang mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan budaya perhitungan eksak yang harus dicapai dalam periode waktu tanpa menghiraukan ritme alam — bahkan cenderung mengeksploitasi alam. Pengaruh langsung benturan budaya ini pada lapis budaya material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku masyarakat Bali; dan pada lapis budaya sosial terjadinya toleransi — dan ini dituangkan dalam awig-awig — bagi anggota komunitas desa pakraman untuk bertempat tinggal di luar komunitas krama-nya. Perubahan pada basis sosial kebudayaan di Bali cenderung berjalan lambat. Pada titik ini, basis sosial kebudayaan di Bali cenderung defensif terhadap pengaruh nilai positif dalam makna politik, bahkan negatif. Respon negatif itu diekspresikan melalui plesetan kata ‘politik’ yang diartikan polo (kepala, otak) dan legitik (pentung, linggis). Penolakan penerimaan nilai sosial dengan mengikuti aktivitas ini ditanggapi dengan: “Lebih baik ngurus betek layah (ekonomi keluarga) ketimbang mepolitik-politikan”. Ujung dari ‘kiriman’ makna politik ke dalam pola interaksi sosial dalam adat dan tradisi Bali adalah polemik perlu tidaknya desa pakraman berpolitik atau tidak. (Windya, BP, 21/8/2002). Dalam teori kebudayaan holistik ini disebutkan bahwa hubungan antarketiga basis kebudayaan itu dialektis, sehingga pengandaian teoritis yang dianut ialah dalam suatu perkembangan kebudayaan yang “ideal” terjadi hubungan dan perkembangan yang sejalan antara ketiga lapis kebudayaan itu. Demikian pun kalau terjadi perubahan pada salah satu lapis kebudayaan, maka perubahan tersebut akan diteruskan dan diterima pada tingkat/lapis kebudayaan lainnya.

Dalam praktek desintegrasi antara tiga basis kebudayaan di atas berjalan asimetris terhadap perkembangan kebudayaan, yaitu hubungan antara dua kelompok sosial atau lebih, dimana keuntungan yang diakibatkan oleh hubungan tersebut hanya didapat oleh satu pihak tertentu, dimana keuntungan yang diperoleh justru dengan merugikan pihak lain. Artinya, dalam dialektika itu tidak melahirkan satu sintesa yang mengakomodasikan perluasan dan pemadatan kebudayaan atau terjadi apa yang disebut dengan ‘pelembagaan desintegrasi’; Challenge  yang ada dalam perkembangan kebudayaan  di-response secara negatif.  Kecenderungan adanya pelembagaan desintegrasi ini terdapat dalam kasus pelecehan simbol-simbol keagamaan di Bali. Ketiadaan sintesa dalam desintegrasi dari tiga lapis kebudayaan itu menjadikan kasus pelecehan itu terjadi berulang-ulang — setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini.  Upaya untuk menyelesaikan secara yuridis sebagai kasus class action pun sampai saat ini dinilai masih terkatung-katung.  Ignas Kleden (1984; 25) mengidentifikasikan gejala ini sebagai salah satu ciri adanya ‘kemiskinan budaya’,  yang terjadi kalau suatu kesulitan sosial tidak diselesaikan secara sosial tetapi diselesaikan secara simbolik (yaitu diselesaikan pada tingkat mental) khususnya melalui manipulasi bahasa. Hal ini menunjukkan adanya semacam monopoli nilai dan makna, dengan akibat bahwa interaksi sosial tidak disertai dengan interaksi nilai (yang kenyataannya datang melalui imposisi secara satu arah), atau dengan kata lain interpretasi mengenai makna dan nilai praktis hanya mungkin dilakukan oleh pihak tertentu dan harus diterima begitu saja oleh pihak lainnya.

IV. Reposisi Adat dan Tradisi.
Tafsir akan menghasilkan sesuatu yang maksimal jika dilakukan oleh orang-orang yang berpengaruh (significant others). Asumsinya adalah manusia dalam prosesnya menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan. Manusia yang sedang berkembang tidak hanya berhubungan secara timbal balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu hubungan dialektik pada ketiga basis kebudayaan di atas. Pemahaman individu dalam masyarakat sebagai produsen budaya, bukan resipen, dihubungkan melalui perantaraan orang-orang berpengaruh — terutama aktor budaya yang ‘bermain’ pada basis sosial kebudayaan.  

Dalam kurun waktu terakhir ini, mulai diintensifkan model pembangunan yang bersumber dari masyarakat berdasarkan referensi nilai dan lingkungan sosial yang berkembang pada masyarakat itu. Seluruh inovasi sosial yang hendak disosialisasikan kepada masyarakat, senantiasa diharapkan agar tidak mengalami keterasingan dengan masyarakat menerima. Karena itu, isu tentang upaya meningkatkan peranserta atau partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menjadi isu menarik, terlebih lagi ketika isu itu dikaitkan dengan  potensi sosial budaya.

Potensi sosial budaya sebagai suatu perspektif, tampaknya menjadi tuntutan yang berarti karena disadari bahwa potensi sosial budaya yang dimiliki oleh suatu komunitas merupakan wahana yang tidak mudah dipahami dan dimanfaatkan sebagai media mensosialisasikan suatu inovasi sosial. Ketidakmampuan merumuskan perspektif sosial budaya disebabkan karena aspek ini tidak saja berdimensi subyektif-kualitatif, tetapi juga kadang-kadang bersifat ambigu. Karena itu naskah ini mencoba memberikan panduan menumbuh kembangkan peranserta masyarakat berdasarkan pendekatan sosial budaya. Itu sebabnya pilihan panitia untuk menentukan tema “Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru” merupakan pilihan yang mencerminkan kecerdasan sekaligus memiliki kearifan budaya.

IV. Simpulan.
Tafsir dalam konteks strategi adaptasi kebudayaan, dapat dibedakan atas enam macam, yaitu: Pertama, tafsir historikal berhubungan dengan sejarah kebudayaan yang sedang diteliti; Kedua, fungsional dengan menerangkan guna atau manfaat suatu unsur kebudayaan, baik dalam rangka memenuhi kelangsungan suatu gagasan, perilaku, maupun benda-benda fisik. Ketiga, fungsional-psikologis yaitu tafsir yang berhubungan dengan penjelasan mengenai berbagai unsur serta gejala kebudayaan yang berkaitan dengan religi, baik yang berwujud keyakinan maupun upacara.

Bacaan.
Anthony  Forge (J.Fox, ed). 1980.  "Balinese  Religion  and    Indonesia   Identity"    dalam  Indonesia: The     Making  of  A   culture. Cambera:  University of Cambera.
Bakker,  FL.  1993.  The  Struggle  of  the  Hindu  Balinese  Intellectuals:  Developments In  Modern  Hindu Thinking in Independent Indonesia.  Amsterdam:    VU University  Press.
Bandem.  I  Made,    Fredruk  deBoer.  1995.    Balinese   Dance in Transition: Kaja and Kelod. (Second edition). Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Barth, Fredrik. 1993. Balinese Worlds. Chicago, London:   The  University of  Chicago Press.
Baterson,  G,Mead.   M.    1942. Balinese   Character:   A  Photographic Analisys.  Academy of Science.
Belo,  Jane.   1949.    Bali: Rangda and Barong. New York: Monograph of the  American Ethnological Society XVI.
-----------------.1969. Trance in Bali. New York: Columbia University Press.
Bernard, Theos. 1999. Hindu Philosophy. New Delhi: Motilal Banarsidass Publishers.
Dasgupta, Surendranath. 1987. Natural Science of the Ancient Hindus. New Delhi: Indian Council of Philosophical Research.
Radhakrishnan. 1928. Indian Philosophy. New York: The Mac.millan Company.
------------------ 1948. Eastern Religions and Western Thought. New York: The Macmillan Company.
------------------  1995. Religion and Society. New Delhi: Indus.
Eiseman  Jr. B. Fred. 1994.  Bali  Sekala  and  Niskala:   Essays  on Religion, Ritual, and  Art (Periplus Editions).   Singapore: Periphus.
Huntington, Samuel. 2000. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Kalam.         
Singaravelu,   CN.  1993.  "Saiva    Siddhanta    in    Hindu   Philosophy"   dalam    Truth. Singapore:  Sivan Temple.
Yudha,    Triguna.  1984.    "Sistem  Kepemimpinan  Bidang  Agama"      dalam     Sistem Kepemimpinan Masyarakat Pedesaan di Bali. Jakarta: Direktoral Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan.
-----------------. 1990.   Tingkat  Dewangsanisasi  Masyarakat  Hindu  di  Bali. Denpasar: Hasil penelitian Institut  Hindu Dharma.
------------------.1992/93. Sosiologi  Agama Hindu.  Modul  I   Penyetaraan Guru-Guru  Agama Hindu se  Indonesia. Jakarta:  Universitas Terbuka.
------------------. 1997. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Bandung: Universitas Pajajaran (Disertasi).
------------------.(Penyunting). 2000.    Kontribusi   Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.
------------------.2000. Teori-Teori Simbol. Denpasar: Vidya Dharma.


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar