Skip to main content

Seribu Vs Seratus Ribu.

Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Pasraman Kilat, Banguntapan Yogyakarta, 2013).

Ketika itu di tahun 2012, pembimas Hindu Yogyakarta Ida Bagus Wika Krishna menyelenggarakan acara Pasraman Kilat bagi anak-anak yang sekolah di pendidikan dasar dan menengah se DIY Yogyakarta.  Pasraman kilat dilaksanakan di pura Banguntapan, salah satu pura yang menjadi tempat mahasiswa dan pelajar sembahyang dan bertemu untuk sekedar saling berkenalan, membuat acara dan atau kegiatan. Apa yang diwacanakan kepada anak-anak berpendidikan dasar dan menengah ? Jika yang hadir adalah umat dewasa, tentu lebih mudah memilih tema atau materi yang disampaikan, lah ini anak-anak cilik ? Lalu tanpa sengaja, ada kiriman dalam sms tentang "Si Seribu dan Seratus Ribu" yang kemudian saya jadikan bahan masuk dalam dharmawacana jenaka tersebut sebagai berikut.

"Ada dua bersaudara yang lahir dari ibu (baca: rahim) yang sama, yaitu si Seribu dan si Seratus ribu". Kedua saudara ini sejak lahir langsung berpisah entah kemana. Setelah sekian lama berpisah, keduanya dipertemukan kembali dalam satu acara penting yaitu reunion yang sedang ngetren belakangan ini. Sambil menduga-duga, si Seribu menjabat tangan si Seratus Ribu seraya bertanya: "bukankah engkau si Seratus Ribu, temenku dulu sewaktu di Sekolah Dasar yang tinggal dekat pura Desa ? Si Seratus Ribu sambil tersenyum menjawab "betul, saya yang tinggal dekat pura Desa yang sering pulang ke rumah saat-saat istirahat”. Kamu si Seribu itu kan yang tinggal desa bale Desa, tanya si Seratus Ribu ?  Betulll, saya yang tinggal dekat balai desa, sekarang aku tinggal di kota, bekerja serabutan. Mendengar jawaban si Seribu, kemudian si Seratus ribu melanjutkan bertanya dan membuat pernyataan: "usia kita sama ya, tetapi kenapa kondisi fisikmu demikian kelihatan lebih tua dari usia ?". Si Seratus Ribu lag-lagi mempertegas bahwa dirinya tinggal di kota dan bekerja serabutan. "Aku bekerja serabutan, kadang-kadang sebagai pengangkut barang-barang di pasar, kadang menyapu di parkiran pasar, dan jika tetangga memanggil ikut sebagai kondektur angkot yang dimilikinya. Begitulah pekerjaanku, orang seenaknya memperlakukanku, aku bergaul dengan para tukang bakul, tukang parker, dan golongan bawah lainnya. Tangan mereka kadang-kadang masih kotor, tetapi aku harus memegang dan menggegamnya. Oleh karena pekerjaan serta temen-temenku orang-orang kelas bawah, maka diriku kotor seperti ini, lusuh, dan kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. 

Setelah menceritakan keadaannya, maka Si Seribu kemudian bertanya kepada Si Seratus Ribu, bagaimana dengan kamu, kok kelihatannya masih segar, masih kelihatan lebih muda dari usia kita sesungguhnya. Sambil mencari tempat duduk yang lebih rileks kedua teman itu menepi dan kembali memulai ceritanya. "Saya bekerja di kantoran, saya diberi kepercayaan sebagai Kepala Bagian Umum, yang tugasnya berhubungan dengan pembelian dan pelayanan umum'. Oleh karena itu, teman-teman saya adalah mereka yang memiliki kedudukan, dan jikalau saya rapat lebih banyak di restoran ber AC, kalau  membikin kegiatan di hotel-hotel berbintang, dan aku disimpan dalam dompet kulit domba asli. Sehingga dari pergaulan itu aku diperlakukan amat baik, sehingga beginilah hasilnya, wajahku kelihatan lebih fress, masih kenceng, dan kelihatan lebih muda. Mendengar jawaban si Seratus Ribu yang agak sombong, maka si Seribu kemudian berkata: "Hebat kamu, karena karmamu bisa menikmati pahala seperti itu, karena karmamu pula engkau bisa hidup lebih baik, kelihatan lebih sehat dan lebih muda. Bolehkah aku bertanya, kalau kamu tinggal di kota, berapa kali kamu pergi ke pura  dalam sebulan ? Mendengar pertanyaan si Seribu seperti itu, si Seratus Ribu tertegun, kemudian menjawab: "Aku memang jarang ke pura, kalaupun aku ke pura, maka aku meminjam dirimu untuk aku haturkan". Mendengar jawaban si Seratus Ribu seperti itu, kemudian si Seribu berkata: "Seratus Ribu, walaupun diriku Seribu, tidak pernah masuk-keluar hotel berbintang, tidak disimpang dalam dompet mahal yang terbuat dari kulit domba asli, tetapi Aku bergaul dengan banyak orang di masyarakat, aku dengan setia menyapa ibu-ibu di pasar, dengan ramah menyapa para buruh pikul di pasar, dan aku juga dengan amat berbakti kepada Tuhan dari Canang Sari hingga sesari yang berada di puncak Padmasana". Oleh karena itu, saya merasa bangga menjadi si Seribu, walaupun nominal Seribu lebih kecil dari Seratus Ribu", ucap si Seribu.

Apa yang dapat dipetik dari dialog si Seribu dengan si Seratus Ribu tersebut di atas, yaitu bahwa  dalam hidup ini, bukan nominal yang menjadi dasar hidup bermasyarakat dan bernegara, melainkan seberapa fungsional kita dapat memberikan kontribusi kepada keluarga, masyarakat dan Negara. Nominal itu penting, tetapi bukan segalanya. Bahwa nominal dapat membedakan secara numeric, tetapi dia tidak dapat menentukan kualitas. Tentu, akan lebih baik kalau nominal besar juga disertai dengan kualitas pengabdian yang juga besar. Dumogi rahayu (Baru ditulis di Swiss-belhotel danum, 26 September 2019).


















Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar