Skip to main content

Tatangan Hindu Abad 21

Forto: Ikatan Guru Indonesia (IGI).
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indenesia, 
(Jakarta, Penataran Guru Agama se Jabotabek, 1-3 Agustus 2013).

Pendahuluan.
Tidak ada masyarakat yang mampu hidup dan berkembang tanpa berkomunikasi dengan pihak lain. Malahan dalam banyak kajian, perkembangan yang terjadi di luar komunitas masyarakat itu sendiri cenderung menjadi sumber dinamika masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, pengaruh eksternal telah terbukti menjadi pertimbangan penting bagi perumusan kebijakan maupun tindakan dalam menyongsong masa depan yang lebih baik. Dalam kenyataannya, bagian dunia satu telah dihubungkan dengan dunia lainnya sedemikian dekat dan cepat. Fenomena yang terjadi di statu tempat dengan cepat menyebar dan diketahui oleh orang lain. Masyarakat hidup dalam dunia yang hampir sama secara menggelobal. Akibatnya, terjadi peningkatan ketergantungan antarbangsa, termasuk bidang pendidikan/pengembangan ipteks. Kompleksitas hubungan itu sedemikian luas, mencakup berbagai bidang kehidupan.

Globalisasi di satu sisi telah memperkenalkan kemuliaan dan kemajuan berpikir pada umat manusia, tetapi di sisi lain juga telah memunculkan paradoks sebagaimana misalnya disinyalemen Huntington, dengan menyatakan bahwa abad 21 terjadi benturan peradaban Barat dengan Islam dan Komfusionisme.  Oleh karena Barat identik dengan Kristen, dan Timur diidentikkan dengan Islam, maka fenomena ini telah melahirkan pertentangan antara missi dengan Dakwah. Karena itu kita tidak usah eran mendengar jika millar-an rupiah dialokasikan oleh para pemuka Kristen dan Islam menguasai dunia melalui evengelisasi dan proselitasi. Pada sisi lain, globalisasi juga telah mampu membangun gaya hidup metropolis ke seluruh pelosok desa sekaligus membawa nilai-nilai moral baru  bagi keluarga, dan masyarakat!

Tantangan Nasional.
Pada tataran nasional kita juga sedang mengalami krisis ideologi, hal ini tampak dari usaha kelompok tertentu untuk merubah ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Banyak Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang dihasilkan atas dasar semangat agama tertentu. Besarnya dominasi agama tertentu pada warna kebijakan publik, telah memunculkan kelompok masyarakat yang dimarginalisasi, disubordinasi, dan malahan ‘dijajah’ oleh pengaruh nilai dan ideologi yang bersumber dari agama tertentu itu. 

Pada tataran lain, muncul penilaian bahwa agama yang semestinya mampu menjadi knopi bagi masyarakatnya, malahan dirasakan telah membuat beban bagi masyarakat itu sendiri. Agama tidak lagi menjadi bagian hidup yang mampu memuliakan hidup manusia, malahan dirasakan menjadi beban yang membuat manusia semakin terhimpit. Dalam banyak kasus, agama telah memunculkan berbagai perbedaan dan perselisihan. Terjadinya kasus Ambon, Poso, dan apa yang terjadi di Iraq, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari dimanfaatkannya agama sebagai alat kekuasaan dan politik atau sering disebut dengan istilah politisasi agama. 

Dominasi dan diskriminasi dalam kebijakan Publik, telah memunculkan priksi-priksi tajam antarkomponen anak bangsa. Akibatnya solidaritas dan perasaan senasib sebagaimana diletakkan oleh para pendiri bangsa berangsur-angsur melemah. Setiap kelompok orang hanya berpikir untuk menghidupi dan membesarkan diri sendiri, malahan menyingkirkan pihak lain. Tindakan ini telah memunculkan semangat menghilangkan keragaman budaza dan adatistiadat di bawah pengaruh nilai agama tertentu. Krisis politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang melanda Indonesia telah berpengaruh secara signifikan terhadap agama Hindu dan komunitasnya. Seperti apa kondisi umat Hindu akibat situasi global dan nasional tersebut 

Lemah SDM dan Managemen.
Terdapat beberapa aspek penting yang menurut saya perlu menjadi perhatian kita semua, yaitu:
1. Dibandingkan dengan umat beragama lainnya, Sumber Daya Manusia Hindu dapat dikatakan posisinya paling rendah. Umat Hindu hanya memiliki satu Institut Hindu Drama Negeri, dua STAH Negeri, dan beberapa Perguruan Tinggi Swasta Agama Hindu. Jika dilihat dari kualitas institusi Pendidikan Agama kita, maka lembaga kita belum mampu bersaing pada tataran nasional, apalagi global.
2. Jumlah pemeluk agama Hindu yang minim, ditambah dengan kualitas SDM yang relatif rendah, menyebabkan posisi tawar umat terhadap kekuatan lainnya menjadi rendah. Itu sebabnya, tidak banyak orang Hindu diberikan posisi penting dalam jabatan birokrasi yang memiliki implikasi kebijakan luas.
3. Secara ekonomi umat Hindu juga Sangat lemah, dan jikapun ada sebagian kecil yang mampu, mereka Belum terbiasa melakukan dana punia, sebagai bentuk solidaritas dan melaksanakan ajaran drama.
4. Kita tidak mampu menguasai opini dan memunculkan wacana Publio sehingga membuat posisi tawar menjadi lebih tinggi

Perlu Gerakan Sistematis.
Menyadari arah dan pola perkembangan antarperadaban seperti digambarkan Huntington itu, maka menurut saya agama Hindu hendaknya lebih memberi peluang berkembangnya nilai-nilai konstitusionalisme dalam arti bahwa setiap ajaran agama harus memiliki referen yang jelas, sehingga segala bentuk, fungsi, maknanya dapat dipahami secara sistematik.  Agama Hindu juga lebih memberikan peluang bagi berkembangnya sistem demokrasi dalam menentukan pilihan atas jalan dharma  yang hendak diikuti. Pilihan terhadap dua aspek penting itu (konstitusionalisme dan demokrasi) bukan berarti Hindu harus menelan mental-mentah arah kecenderungan jaman. Masyarakat Hindu yang terlahir dari masyarakat Timur, tidak mungkin melepaskan diri dari kondisi obyektif bahwa ia dibentuk dan dibesarkan oleh prinsip-prinsip kehidupan komunal. Artinya, sekalipun Hindu memberi peluang berkembangnya nilai mengenai konstitusionalisme, demokrasi, dan hak azasi manusia, namun ia tidak akan pernah kehilangan social capital   sebagai agama yang humanis.  Konskuensi dari pilihan nilai ini, Hindu ke depan harus memberi keleluasaan kepada umat untuk menentukan pilihan jalan (marga) untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dari sejumlah pilihan yang tersedia. Pilihan atas jalan dharma itu, tidak akan pernah membuat persaudaraan sesama sedharma menjadi retak. Kedua, representasi Hindu abad 21 hendaknya tidak terjebak dalam ‘fundamentalisme’ dan ekslusifisme. Sebab, fakta diakronis menunjukkan bahwa sensitivitas orang Hindu juga semakin meningkat, terutama dengan banyaknya orang Hindu yang merasa ‘diremehkan’ dan ‘dihina’ melalui fenomena pelecehan simbol-simbol agamanya. Atas nama agama (menurut saya tidak jelas ukurannya), banyak orang Hindu merasa terhina dengan direferensinya simbol-simbol agama Hindu oleh orang lain. Atas nama agama, mereka malakukan perlawanan terhadap keadaan itu. Orang Hindu  seolah-olah mulai ‘demit’ terhadap kebudayaannya. Padahal dalam tataran diakronis, orang Hindu merasa bangga jika kebudayaannya digunakan oleh orang lain, dan sebaliknya kebudayaan Bali terbuka dengan berbagai unsur kebudayaan asing , sehingga orang Bali dinilai sebagai komunitas inklusif. Ketiga,  representasi Hindu abad 21 hendaknya terus mendorong berfungsinya kebudayaan daerah di mana agama itu dianut. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus diarahkan untuk memberdayakan potensi-potensi daerah secara maksimal. Dalam kebijakan seperti ini tidak berlaku konsepsi universalisme Hindu, karena yang dipentingkan adanya relativisme kultural. Jadi semangat civilization consciousness  harus lebih diarahkan pada tumbuhnya kesadaran akan kebudayaan sendiri. Di atas kebudayaan itulah nilai-nilai universal Hindu dibangun. Keempat, semua itu hanya akan epektif jika sumber daya manusia Hindu dapat dikembangkan secara maksimal. Hindu perlu mendorong lahirnya lembaga pendidikan Hindu dengan berbagai programnya.  Lembaga dimaksud tentu tidak hanya didirikan, melainkan harus didorong terus untuk meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dengan lembaga sejenis lainnya. Untuk mampu bersaing dengan baik, maka pemenuhan fasilitas pendidikan menjadi amat perlu. Tidak mungkin kita bicara mengenai persaingan dan memenangkan persaingan itu, jika SDM kita masih terbelakang. Tidak mungkin kita mampu memanfaatkan segala peluang yang ada pada pihak lain, jika di antara penyelenggara pendidikan saling ‘jegal’  dan mempromosikan pihak lain dari perspektif ‘kelemahan’ semata.  

IV Simpulan 
Atas dasar kecenderungan kebutuhan dinamika abad 21, maka jika agama Hindu dan komunitasnya tetap ingin diperhitungkan, maka perlu dilakukan langkah sistematik untuk meningkatkan kualitas SDM melalui berbagai jalur dan jenjang. Di samping itu, perlu diaktifkan kembali berbagai wadah yang telah ada yang memungkinkan setiap umat beragama memperoleh kedudukan dan penghargaan yang relatif sama, sehingga melalui wadah itu peluang kontak, komunikasi, dan interaksi antarumat beragama semakin baik. Satu syarat penting yang harus ditanamkan kepada semua komunitas umat adalah perlu terus digelorakan konsepsi agree in disagreement di kalangan para elite agama Hindu. Memperbanyak adanya dialog antarumat beragama, sebab dengan tindakan ini dapat saling diwujudkan adanya saling pengertian dan memahami satu sama lain. Jikalau mungkin hal ini diteruskan dalam bentuk tindakan atau aktivitas bersama, sehingga dengan meningkatkan frekuensi interaksi di antara sesama umat membuka peluang tumbuhnya saling menghargai dan menghormati di antara mereka.Tindakan di atas, diharapkan secara berangsur dapat menghapuskan  sikap ekslusif dan tak peduli atas hak dan perasaan orang lain. 

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar