Teori Ketergantungan Akhirnya Digantung !
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Bandung, 2001)
Pendahuluan.
David Harrison dalam The Sociology of Modernization and Development (1988 and reprinted, 1991) membahas sosiologi tentang modernisasi dan pembangunan dalam sistematika sebagai berikut: pertama, Harrison memulai uraiannya tentang awal kelahiran teori modernisasi, baik secara teoritis maupun empiris. Menurutnya, secara teoritis perspektif modernisasi dimulai ketika Bert H. Hozelitz menulis karyanya berjudul The Progress of Underdeveloped (1952), diikuti kemudian oleh penulis-penulis seperti, Marion Levy (1952), Gabriel Almond (dalam Myron Weiner, 1987) Daniel Larner (1958) Neil Smelser (1964) dan Rostow (dalam Amitai Etioni, 1964).
Perspektif modernisasi sebagaimana dapat dipahami dari pemikiran Hozelitz, Niel Smelser, Parson, Toniies, tidak dapat dilepaskan cara berpikir evolusi yang memang populer ketika itu. Sebagaimana diketahui, teori evolusi menyatakan masyarakat dan kebudayaan di seluruh dunia berkembang secara linier, dari tingkat paling sederhana yang ditandai oleh gejala serba homogen, melalui beberapa tingkat antara sampai pada tingkat yang paling tinggi dengan unsur yang sangat kompleks. Implisit dalam makna itu, bangsa-bangsa Eropa dan Amerika dianggap sebagai contoh masyarakat yang memiliki peradaban yang paling maju, sementara masyarakat Asia, Afrika, dan Oceania dipandang sebagai bangsa yang masih terbelakang atau contoh dari bangsa yang berada pada tingkat awal proses evolusi.
Konskuensi logis dari pemilahan seperti itu, maka masyarakat modern selalu ditandai dengan adanya spesialisasi dalam fungsi, rasional, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, solidaritas bersifat organik. Hal ini berbeda dengan karakteristik masyarakat tradisional dengan ciri partikulatistik, ascriptif, dan orientasi ke dalam, disamping ekonomi bersifat substantif.
Generalisasi empiris yang dirumuskan Hozelit, Niel Smelser maupun pengikut teori modernisasi lainnya, bukan tanpa landasan empiris. Premis-premis yang dihasilkan didasarkan realitas objektif, sebagaimana tampak dari hasil penelitian Daniel Larner dalam karyanya di Timur Tengah berjudul The Passing of Tradisional Society (1950), penelitian Everett Rogers (1962), Mc. Clelland (1972) dengan konsep N Ach, Smelser dengan konsep diferensiasi struktural dan Rostow dengan tahap pertumbuhan ekonomi. Sebagai bagian studi moderdinasi yang lahir kemudian, Harrison mengelompokkan Parson sebagai salah seorang pemikir neo-evolusionisme sebagai bagian perspektif modernisasi, sebagaimana diuraikan-nya pada bagian kedua.
Pada bagian ketiga, Harrison membahas tentang teori keterbelakangan (underdevelopment Theory) dengan memulai pembahasannya tentang akar teori-teori keterbelakangan. Ketika membicarakan akar teori keterbelakangan, Harrison dan para ahli ilmu sosial senantiasa akan menghubungkan dengan pemikiran Karl Marx dan Engels, terutama teorinya tentang kelas dan akumulasi kapital. Teori keterbelakangan, tampaknya tidak dapat pula dilepaskan dari pengaruh Lenin dan imprialisme yang menurutnya kemampuan memonopoli sistem kapitalis (Harrison, 1991: 66).
Setelah membahas akar teori keterbelakangan, Harrison kemudian menguraikan teori ketergantungan (Dependency Theory) yang dimulai dengan pembahasan terhadap karya Paul Baran The Political Economy of Growth, pemikiran ECLA (Economic Commission for Latin America) dengan varian yang ada, seperti Andre Gunder Frank dan pandangannya tentang sistem dunia, Dos Santos, dan Samir Amin. Kritik terhadap perspektif sistem dunia sebagaimana diutarakan Frank ditempatkan sebagai bagian keempat buku Horrison, baik yang bersumber dari kritik kaum Marxist maupun non-marxist. Pada bagian ini pula Harrison menguraikan tentang pembangunan dan teori tentang keterbelakangan, terutama dengan munculnya negara-negara industri baru (Newly Industrializing Countries), seperti Brazil, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapore.
Harrison telah menunjukkan taksonomi teori sosiologi tentang modernisasi dan pembangunan yang komprehensif. Sebagai sebuah karya yang baik, maka salah satu di antaranya dapat digunakan sebagai bahan kritik dan kajian teori antropologi dan atau sosiologi. Dalam konteks ini, saya akan memilih teori ketergantungan sebagai bagian kritik teori.
Teori Keterbelakangan dan Ketergantungan.
Dekolonisasi serta kelahiran negara baru semenjak berakhirnya Perang Dunia II, mendorong perhatian Ilmu-Ilmu sosial terhadap masalah perkembangan negara terbelakang atau kurang berkembang atau dunia ketiga. Perspektif itu disebut dengan teori perkembangan (development theory) modern. Disamping ada teori perkembangan yang disebut Eropa Centris sebagaimana dikatakan Hettne, juga di sisi lain muncul teori keterbelakangan, terutama setelah terbit karya Ian Roxborough Teories of Underdevelopment (1979).
Keterbelakangan mengandung makna yang dipermasalahkan adalah faktor-faktor penyebab keterbela-kangan itu terjadi di negara-negara dunia ketiga. Menurut Roxborough perubahan sosial di dunia ketiga pada dasarnya tidak bersifat endogen sebagaimana pandangan penganut teori modernisasi, terutama yang bersumber dari pemikiran evolusi. Tetapi perubahan itu terjadi karena gabungan faktor endogen dan eksogen. Padangan ini kemudian didukung oleh penemuan komisi PBB untuk Amerika Latin (ECLA) yang dipimpin Raul Frebisch.
Para ahli ekonomi yang tergabung dalam kelompok ECLA mencatat bahwa perkembangan di Amerika Latin, yang sejak abad kesembilan belas telah mengekspor bahan baku dan bahan makanan ke negara-negara maju, ternyata bersifat tidak seimbang. Untuk itu, ECLA menyarankan dilaksanakannya industri substitusi impor (ISI), ditinggalnya ekspor bahan mentah, dan perlu disingkar hambatan-hambatan struktural di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya keterbelakangan. Hambatan yang dimaksud ialah dominasi politik oleh kaum oligarki dan sistem pemilikan tanah. Kebijaksanaan ISI inipun akhirnya dianggap gagal.
Penganut teori keterbelakangan kemudian menganjurkan agar pembahasan masalah keterbelakangan tidak mengabaikan faktor intern dan eksteren secara simultan. Sehingga mereka menyarankan untuk menggunakan sistem dunia sebagai satuan analisis, sebab perkembangan yang terjadi di pusat akan mempengaruhi sifat hubungan antara pusat dan periferi. Lebih dari itu, keterbelakangan tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang imprialisme yang berhubungan erat dengan ketergantungan. Teori imprialisme membahas keuntungan yang diperoleh negara-negara kapitalis, sedangkan teori ketergantungan justeru membahas akibat dari imprialisme terhadap keterbelakangan di dunia ketiga.
Jadi imprialisme, ketergantungan, dan keterbelakangan merupakan suatu pembahasan yang saling melengkapi. Imprialisme menyebabkan keterbela-kangan, imprialisme dapat juga menyebabkan terbentuknya keter-gantungan satu negara dengan negara lain. Keterbelakangan dapat menimbul-kan ketergantungan, dan ketergan-tungan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya keterbela-kangan. Setidaknya menurut para penganut teori dependency. Apa yang disajikan di depan, pada dasarnya merupakan awal dari kelahiran teori baru dalam siklus ilmu pengetahuan.
Sebagaimana dinyatakan Thomas Khun, bahwa pada saat krisis begitu hebatnya dalam suatu paradigma, maka segera sesudah itu akan muncul paradigma baru dalam ilmu pengetahuan (dalam Ritzer, 1980: 2-32). Modernisasi sebagai sebuah teori, juga mengalami hal yang sama. Stavenhagen dalam The Seven Erroneous Theses on Latin America telah memberikan bukti-bukti dan argumentasi akan kegagalan teori modernisasi. Demikian pula Andre Gunder Frank dalam Sociology of Development and Underdevelopment of Sociology (1969) memberi kritik terhadap cara kerja EDCC (Economic Development and Cultural Change), sebagimana tampak pada ideal-typical index method, untuk membandingkan negara sedang berkembang dengan negara maju atas dasar berbagai faktor sebagai substansi pembangunan. Setidaknya cara pandang seperti ini tampak pada variabel pola (Bert Hozelitz) dan tahap-tahap perkembangan (Rostow).
Teori ketergantungan pada dasarnya menekankan perlunya kemandirian negara-negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan. Sebab, hubungan dengan negara maju secara objektif telah menyebabkan terjadinya inequality dalam internasional development of labor, sehingga jikalaupun terjadi kenaikan surplus pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi tidak akan terjadi kenaikan penghasilan, disebabkan pembangunan ekonomi dilaksanakan di atas landasan struktur peninggalan kolonial. Kecuali Jepang, dunia ketiga mengalami stagnasi di antara feodalisme dan kapitalisme dan menjadi korban dari kedua sistem itu. Dalam makna yang sama dapat dikatakan, negara prakapitalis acapkali menjadi sufliyer kerja rodi yang murah. Akibatnya, terjadi depedensia, yaitu suatu gejala ekonomi suatu negara ditentukan oleh kehidupan ekonomi negara lain (Hettne, 1985: 69-76).
Pandangan serupa diutarakan pula oleh Raul Frebish (dalam Arief Budiman, 1984), terutama atas pelokannya terhadap IMF (International Monetary Fund) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). Menurutnya, pasar bebas tidak dapat menjamin pembagian keuntungan perdagangan secara proporsional, dan ini berarti tidak menjamin terjadinya pemerataan kesempatan dan pendapatan ke semua negara. Hal ini disebabkan karena struktur bias, dalam arti bahwa perdagangan internasional cenderung merugikan negara-negara berkembang. Nilai komoditi primer yang merupakan hasil ekspor negara berkembang terus mengalami penurunan dibandingkan komoditi negara industri. Akibatnya, negara-negara berkembang dipaksa untuk selalu memperbesar ekspornya. Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya; (1) uncouping; dan (2) ditemukannya bahan sintetis, sehingga berpengaruh terhadap penghasilan negara berkembang. Ini berarti, Tata Ekonomi Internasional Bretton Woods gagal memecahkan masalah ekonomi negara berkembang.
Ketergantungan semakin terjadi tidak saja karena faktor eksternal, tetapi juga karena adanya peran elite negara pra-kapitalis, baik dalam proses penanaman modal maupun pengam-bilan keputusan. Dalam hubungan pentingnya peran elite dan atau kelas komprador, Dos Santos menyatakan ketergantungan cermin dari perluasan negara-negara maju pada negara yang sedang berkembang. Situasi itu dapat diatasi, bukan dengan cara memisahkan dan atau memutuskan hubungan antara negara maju dengan negara yang sedang berkembang sebagaimana dianjurkan Andre Gunder Frank, melainkan lebih memperbaiki situasi di dalam negara yang sedang berkembang itu sendiri yang mengalami ketergantungan.
Lebih lanjut menurut Santos, ketergantungan setidaknya dapat dipahami dari tiga aspek, yaitu (1) ketergantungan kolonial (colonial dependence), yaitu ketergantungan yang ditandai oleh perdagangan ekspor serta ditandai dengan adanya aliansi antara kekuatan-kekuatan tertentu dengan pemerintah kolonial serta dikuatkan dengan sistem perdagangan monopoli; (2) ketergantungan industri-keuangan (finacial-industrial dependence), yakni ketergantungan yang ditandai dominasi modal besar oleh negara penjajah, melalui investasi produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi negara penjajah. Dengan kata lain, perekonomian yang dilaksanakan berorientasi ke luar negeri; dan (3) ketergantungan teknologi industri (technological-industrial depedence), yaitu ketergantungan yang ditandai dengan memuncaknya perusahan manca negara melakukan investasi di sektor-sektor industri untuk memenuhi pasaran di dalam negara-negara berkembang (Blomstrom, 1974: 36-38; 1984, 54-55).
Akhirnya, untuk meminimalkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, Tinberger (dalam Heraldo Munoz, ed, 1981: 161-172) salah seorang penganut ECLA mengusulkan; (1) pembangunan berswadaya yang dilandasi oleh kepercayaan diri sendiri (self reliant); (2) lebih memperhatikan pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs); (3) pemberantasan kemiskinan; (4) pembangunan sensitif yang dampaknya kecil bagi lingkungan, dan (5) adanya kekuasaan negara yang mendukung pelaksanaan azas-azas yang diutarakan di atas. Akhirnya, Jan Tinberger menyatakan bahwa martabat dan kesejahteraan bagi manusia adalah tujuan dari pembangunan global dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemerdekaan, partisipasi, demokrasi, integrasi lingkungan, solidaritas, keanekaragaman kultural. Karena itu, sarannya harus dilakukan dialog terus-menerus antara Utara dan Selatan.
Secara garis besar, pandangan para penganut teori depedensi sepakat akan perlunya kemandirian negara sedang berkembang dalam menentukan proses pembangunannya. Untuk itu, perlu diatasi berbagai hambatan yang bersifat eksternal maupun internal.
Sebagai sebuah kritik teori, ketergantungan telah mencoba memberikan kontribusi bagi perbaikan kehidupan manusia. Apakah dependensi tanpa kelemahan ? Dapatkan teori ini membuktikan keampuhan teorisasinya ?
Teori Ketergantungan Akhirnya Digantung.
Agaknya telah menjadi nasib dari setiap teori untuk dipertanyakan, diserang, dan diganti sebagai akibat kegagalan menjelaskan fenomena. Teori ketergantungan pastilah bukan suatu perkecualian. Colyn Leys (1974) berpendapat bahwa teori ini hanya mengulang-ulang konsep tertentu dan tidak berkembang. Lagi pula banyak masalah yang tidak dapat dikembangkan melalui teori ini. Kotari berpendapat, meskipun teori memiliki relevansi, tetapi teori melemahkan pembangunan swadaya dan cenderung mencari kambing hitam pada kekuatan kapitalisme yang jauh di luar penguasaannya.
Sepaham dengan Colyn Leys dan Kotari, Hette (1985: 63-68) menyatakan bahwa teori ketergantungan dan keterbelakangan menjadi usang, karena beberapa alasan, pertama, pengulangan dan stagnasi teoritis, misalnya pengulangan konsep pusat dan pinggiran adalah sebuah konsep klasik yang tidak memiliki makna apapun kecuali pembalikkan-pembalikkan, pasangan yang disederhanakan dari konsep konvensional, yakni konsep tradisional dan modern. Jikalau sampai pada konsep itu, maka mau tidak mau harus menoleh pada konsep klasik lainnya, seperti gemeinschaf dan gessellschaf Ferdinand Tonnies, konsep solidaritas mekanik dan solidaritas organik dari Emille Durkheim. kedua, banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh teori itu, dan hanya terfokus pada masalah ekonomi, dengan mengabaikan masalah kelas-kelas sosial, politik, dan ideologi. Dalam hubungan inilah Sritua Arief dan Adi Sasono, dengan mengacu pandangan Ranjit Sao, menyatakan bahwa teori ketergantungan kurang memberikan perhatian terhadap sifat hubungan antar kelas di dalam negara berkembang.
Kelemahan ketiga, adalah ketidakjelasan identifikasi dari sebab-sebab ketergantungan, kecuali tesis bahwa sebab-sebab itu berasal dari daerah pusat. Demikian pula untuk membedakan antara negara tergantung dengan negara tidak tergantung banyak menimbulkan masalah. Sebab hampir semua negara pada hakikatnya tergantung pada negara lain. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa setiap negara menyelenggarakan ekspor dan impor. Fakta lain yang menguatkan akan kelemahan ketergantungan di tingkat kenyataan adalah apa yang ditulis oleh Arief Budiman di harian Kompas berjudul "Pelajaran dari Dua Korea" (1985), sehingga bukti-bukti itu telah cukup untuk memberikan hukuman gantung terhadap teori ketergantungan (dependency theory).
Sisi lain dari digantungnya teori ketergantungan, maka kembali muncul teori pembangunan yang bersumber dari marxisme klasik. Pernyataan ini membuktikan bahwa secara teoritis, teori dependensi atau Neo-Marxisme dipandang berbeda dengan teori Marxisme. Contoh yang paling jelas dari teori pembangunan yang bersumber dari Marxisme Klasik adalah pandangan Bill Waren. Ia berusaha menghidupkan kembali gagasan Marxian asli tentang kapitalisme (termasuk juga) imprialisme. Menurut anggapannya, imprialisme merupakan sarana, dengan mana teknik, kebudayaan, dan institusi-institusi yang berkembang di Eropa Barat selama berabad-abad menaburkan benih-benih revolusionernya di bagian lain dari dunia ini. Sedangkan mengenai kapitalisme dan demokrasi, ia berpendapat bahwa keduanya saling berdempet, ibarat bayi kembar siam (Embu Eletherus, 1987:25-27).
Walaupun Warren dapat mengungkapkan banyak kesalahan yang dilakukan Madzab dependensi, secara kurang kritis ia kembali mengulang-ulang Marxisme yang bersifat seteril dan mekanis. Tipe Marxisme Bill Warren ini oleh Dudley Seers disebut Marxisme neo-klasik. Artinya, ketika Warren berpikir tentang dirinya sebagai seorang Marxis, akan tetapi kesimpulan yang dihasilkannya memiliki kesamaan dengan kesimpulan yang dibuat ekonomi neo-klasik. Kesamaan ini disebabkan, pertama, kedua madzab itu berakar pada ekonom klasik yang sama, yaitu Smith dan Ricardo; dan Kedua, keduanya berkembang di Eropa sejak abad 19 sehingga memiliki sejumlah unsur yang sama.
Sudah barang tentu, saat ketika semakin memudarnya teori ketergantung, muncul kembali pemikiran yang disebut neo-libralisme. Optimisme di kalangan penganut teori modernisasi ini disebabkan terjadinya pertumbuhan luar biasa yang dialami empat 'naga kecil dari Asia'. Hal-hal yang terjadi pada keempat negara ini, bertentangan dengan perspektif dependensi pada satu pihak, dan sekaligus pula menunjukkan kemenangan permainan bebas dari kekuatan pasar.
Yang menarik dari digantungnya teori ketergantungan ialah terjadinya inkorporasi dan reabsorpsi problematik dependensi, melalui (1) marxifikasi dependensi, dan (2) pendekatan strukturalis modern. Yang pertama berhubungan dengan kesulitan teoritis Marxisme klasik dalam menjelaskan keterbelakangan. Soal ini kemudian diatasi dengan cara menguraikan atau memisahkan perbedaan antara model perdagangan dan model industrial yang telah dibuat Marx, dan kemudian menempatkan model pedagang pada posisi sebagai penyebab yang melanggengkan situasi keterbelakangan. Upaya mengatasi kesulitan teoritis inilah yang disebut marxifikasi dependensi.
Sedangkan munculnya strukturalisme modern dapat diamati dari pemikiran Myrdal, Prebisch, dan Singers. Sekalipun mereka berangkat dari disiplin berbeda-beda, akan tetapi mereka percaya bahwa problema yang dihadapi oleh negara-negara terbelakang kurang lebih bersifat unik, dan dengan demikin mengimplikasikan pula bahwa model-model pembangunan yang dapat diterima secara universal juga memiliki nilai keberlakuan yang terbatas. Karena itu, proses pembangunan harus dilihat sebagai hal yang terus-menerus dan berkelanjutan, sedangkan ketidak-seimbangan bagian kecil dari proses itu. Sekali lagi kedua pendangan terakhir, memperkuat bahwa teori ketergantungan akhirnya digantung.
Simpulan.
Teori ketergantungan merupakan sebuah perspektif yang memiliki kelebihan dan kelemahan teoritis. Kelebihan teori ini adalah menunjukkan bahwa ada sejumlah realitas objektif yang terjadi akibat terjadinya hubungan metropolis dan satelit. Realitas objektif itu adalah satu negara mengalami ketergantungan dengan negara lainnya. Sehingga jikalau ingin memahami proses ketergan-tungan, maka pendekatan historis menjadi penting. Teori ketergantungan hanyalah melakukan pengulangan konsep-tualisasi teoritis, terutama ketika menjelaskan konsep pusat-pinggiran yang diilhami oleh konsep dikotomi Ferdinand Tonnies, Emille Durkheim, Sorokin tentang tradisional dan modern. Hal ini dianggap sebagai salah satu kelemahan teoritis teori ketergantungan. Fenomena ini sekaligus menunjukan akan siklus ilmu pengetahuan yang bersifat dinamik, sebagaimana dinyatakan dalam konsepsi tesa, antitesa, dan sintesa.
Daftar Bacaan.
Are Embu Eletherius. 1987. "Kecenderungan-Kecenderungan Baru dalam Teori Pembangunan Setelah Dependensi" dalam Driyarkara. XIV Nomor 1. Jakarta.
Arief Budiman. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi. Pustaka Pular. Jakarta.
Bromstrom dan Hettne. 1984. Development Theory in Transition The Dependency Debate and Beyond Third World Responses. Zed Books Ltd. London.
Foster Center, Aiden . 1974. "Neo Marxist Approaches to Development and Underdevelopment" dalam Sociology and Development (De Kodt, Emanuel and Govan Willeam, ed).
Harrison, David. 1991. The Sociology of Modernization and Development. University of Sussex. London and New York.
Hettne, Bjorn. 1985. Ironi Pembangunan di Negara Berkembang. Sinar Harapan. Jakarta.
Hirschman, O. Albert. 1981. "The Rise and Decline of Economics Development" dalam Essay In Trespassing: Economics to Politics and Bayond. Cambridge University Press.
Roxborough, Ian. 1986. Teori-Teori Keterbelakangan. LP3ES. Jakarta.
Sritua Arif dan Adi Sasono. 1981. Ketergantungan dan keterbelakangan. Sinar Harapan. Jakarta.
Szentes, Tamas. 1976. "The External Factors of the System of Underdevelopment: Economics Devendence and Income Drain" dalam The Political Economy of Underdevelopment. Academi Kiado. Budafest.
Tinberger, Tin. 1981. "The Needs for a Ambitions Innovation of the World Order" dalam From Dependency to Development Strategies Overcome Underdevelopment an Inequality (Heraldo Munoz, ed) Westview Press. Colorado.