Mati Ngadeg, Apa itu ?
![]() |
Sumber Foto: FB yang mungkin memiliki Hak Cipta. |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Gatot Subroto, Denpasar, 22 Oktober 2019).
Manusia menjalani kehidupan sepanjang garis kehidupan, yaitu antara titik lahir dan titik mati. Titik-titik ini niscaya sekaligus misteri, karena itu manusia tidak berdaya terhadapnya, tidak kuasa menerima atau menolaknya. Lahir, hidup, dan mati adalah kekuasan Hyang Widhi Wasa. Seperti dijelaskan dalam Siwatattwa bahwa Bhatara Siwa adalah utpathi (pengada), stithi (penjaga), dan pralina (pelebur). Selain itu, juga dijelaskan bahwa Bhatara Siwa adalah awal, tengah, dan akhir, bahkan pada akhir, lebur, dan matinya, manusia kembali kepadaNya. Artinya, yang lahir (akan) pasti mati – karena manusia pernah lahir sehingga manusia akan mati dan karena itu harus siap mati kapanku menurut kehendaknya.
Mati berarti tidak bernyawa. Dunia medis menetapkan kematian biologis ditandai dengan tidak berfungsinya organ vital, seperti otak dan jantung hingga jasad membeku dan membusuk. Peristiwa pembusukan jasad bisa terjadi karena atman sebagai yang hidup sudah lepas dan bebas dari badan. Penyelesaiannya, antara lain melalui sawa prateka atau upacara ngaben dan atma wedana atau upacara ngerorasis, mamukur, malagia, menurut tingkatannya. Ngaben merupakan proses pralina atau peleburan jasad dengan tujuan menyempurnakan dan mengembalikan unsur panca mahabhuta. Sementara itu, upacara mamukur merupakan proses menyempurnakan dan mengembalikan atma kepada paratma.
Kematian dan perlakuan terhadap jenazah memang menjadi perhatian utama umat Hindu, seperti ditunjukkan melalui upacara pitra yadnya. Berbeda dengan kematian biologis, manusia bisa saja mengalami kematian psikologis, baik mati sosial maupun mati kultural. Mati dalam dunia kehidupan ditandai dengan melemahnya fungsi sosial dan kultural seorang individu dalam masyarakat. Mati sosial ditandai dengan rendahnya kualitas hubungan dengan sesama manusia, baik dalam lingkungan keluarga, tetangga, maupun dengan kelompok masyarakat. Kematian secara sosial ditandai dengan buruknya hubungan dan tindakan sosial dalam keluarga-antar anggota keluarga. Seorang individu tidak mampu membangun harmoni dalam keluarga batih maupun ekstanted family, seorang individu juga tidak memiliki kecakapan dalam membangun hubungan dan interaksi sosial dengan tetangga maupun dengan kelompok yang lebih besar dalam masyarakat itu. Seharusnya seorang individu berusaha memelihara harmoni dengan keluarga dan masyarakat sebagai tipe ideal hidup bermasyarakat. Namun kenyataannya, banyak individu mati secara sosial, ia mengalami anomali dan anomei dalam keluarga besar, ia tidak berhasil memelihara hubungan baik dengan kelompok sosial lainnya dalam masyarakat dan lingkungan kerjanya. Dalam keluarga tidak baik (ngajak nyama sing luwung), di lingkungan masyarakat juga tidak baik (ngajak baraya lan semeton banjar sing luwung), dan dalam lingungan kerja mengalami masalah (ngajak timpal di tongos megae sing luwung), lalu bahagianya dimana ? Jika manusia mengalami situasi seperti ini, maka ia dapat dinyatakan mati secara sosial (mati mejujuk-mati ngadeg).
Seseorang yang mati sosial misalnya, cenderung egoistik daripada altruistik, karena itu lebih memposisikan diri sebagai yang dilayani daripada melayani. Kecenderungan ini dapat memperburuk hubungan dengan sesama, baik dalam keluarga, banjar, dan tempat kerja. Dalam keluarga menampilkan diri sebagai penguasa yang harus dilayani sehingga mengalami kesulitan sekadar menghargai saudara dan menghormati orang tua. Sikap mendominasi kondisi dan situasi keluarga pun berpangaruh terhadap hubungannya dengan tetangga sekitar, bahkan dalam banjar. Dalam paruman banjar misalnya, bukan hanya ingin menjadi pusat perhatian dan mendominasi keputusan paruman, bahkan menguasai pendapat dan pandangan krama banjar lainnya. Sikap meremehkan pendapat krama banjar kecenderungannya menimbulkan ketegangan sehingga hubungannya dengan krama banjar semakin renggang.
Begitu pula di kantor tempatnya bekerja, seseorang yang mati sosial mengalami kesulitan membangun hubungan dengan atasan dan bawahan atau rekan kerjanya. Kehadirannya dianggap membawa bencana, bahkan malapetaka, karena itu rekan-rekan kerjanya cenderung menghindar darinya. Kalau pun mempunyai pergaulan, itu hanya sebatas hubungan munafik, lain di mulut dan lain di hati, mulut tersenyum dan hati menggerutu, bahkan mendoakannya agar segera pindah atau pensiun. “Tersisih”, barangkali kata yang cukup mewakili kondisi dan situasi orang yang mati sosial. Orang yang tersisih dari keluarga, banjar, dan tempat kerjanya segera terbuang dari pergaulan manusiawi, yakni tempat yang menjadi pusat kultur.
Mati majujuk (mati ngadeg) adalah sesuatu yang semestinya tetap ditakuti, lebih ditakuti dari kematian biologis. Bisa saja anda kaya secara materi, tinggi dalam status sosial, dan memiliki atribut sarat dengan kekuasaan dan wewenanng, tetapi jika anda kemanapun juga tidak ada yang menyapa (nyambatsara), tidak ada yang tersenyum (makenyem), tidak ada yang berusaha untuk membantu dan atau melayani, maka anda mengalami kematian sosial (mati ngadeg). Individu seperti ini, akan semakin sengsara secara sosiologis tatkala ia lepas dari kedudukan dan wewenangnya.
Orang yang tanpa kultur, kehilangan rasa diri-manusia inilah dimaksudkan dengan mati kultural. Bisa saja seseorang mempunyai wawasan filosofi atau berpengetahuan, seperti ilmuwan, tetapi bila tidak membuktikannya dalam perbuatan untuk ketertiban hidup bersama, dia tergolong mati kultural. Dalam hal ini termasuk orang yang berpengetahuan agama, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama. Padahal tujuan belajar pengetahuan agama untuk melaksanakan kewajiban agama. Misalnya, seorang juara utsawa dharma gita dan sering tampil dalam kegiatan pesanthian, tetapi tidak pernah sembahyang di merajan. Bukan hanya tidak sembahyang, bahkan tidak peduli kepada orang tuanya, yaitu ayah dan ibu yang melahirkannya. Begitulah orang yang mati kultural ditandai dengan tidak tahu aturan, tidak tahu diri, dan melawan tradisi. Kematian kultural disebut sing nawang unduk lan indik kepada orang tuanya semasa hidup berdasarkan kewajiban kultural yang harus dilakukan (Caririrakrirt, ama data, dan prana data), sing nawang anggah-ungguh, dan tidak tahu bagaimana menghargai para leluhur (terpalupeng pitra puja) yang seharusnya menjadi kewajibannya. Dalam kehidupan masyarakat, ia tidak memiliki kemampuan berinteraksi dengan masyarakat atas dan bawah maupun dengan masyarakat secara horizontal. Mati kultural ditandai dengan rendahnya kualitas kesadaran atas aturan dan hukum atau norma dan nilai-nilai hidup. Aspek sosial dan kultural menandai kehidupan bersama, karena itu warga masyarakat mesti terlibat langsung dalam perkembangan peradaban. Artinya, kematian kultural ditandai dengan rendahnya perhatian terhadap peradaban dan kurang adab, bahkan tidak beradab. Walaupun anda tinggi dalam status ekonomi, kedudukan dan wewenang, tetapi ketika anda tidak mampu memelihara sor-singgih, maka anda mati secara kultural.
Kematian sosial dan kultural lebih menakutkan daripada kematian secara biologis. Mati ngadeg, lebih menyakitkan dan membebani hidup, daripada kematian secara biologis. Mati secara sosial dan kultural menjadikan seluruh keluarga masuk dalam kategori neraka sekala. Oleh karena itu, maka kita harus belajar dan berusaha agar terbebas dari predikat mati ngadeg. Svaha.