Shanti dan Indeks Kebahagiaan ?
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Gatot Subroto, Denpasar, 15 Oktober 2019).
Kabar Gembira.
Tiga hari lalu telah diumumkan 3 orang pemenang Nobel Ekonomi 2019 [The Sveriges Riksbank Prize In Economic Sceince in Memory of Alfred Nobel 2019], yang berasal dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ketiga Ilmuwan itu Esther Duflo, Abhijit Banerjee, dan Michael Kremer. Esther Duflo dan Abhijit adalah suami istri ilmuwan MIT yang memiliki latar belakang pendidikan, minat, dan pengalaman penelitian yang sama. Karena minat dan pengalaman penelitian lapangan bersama, maka keduanya kemudian pacaran dan menikah. Pasangan suami istri ini menjadi pemenang Nobel Ekonomi 2019 atas kajian dan pengalaman lapangan (field experiment) terhadap Sekolah Dasar (SD) Inpres di Indonesia.
Kajian lapangan disampaikan dalam papernya dulu, telah mengguncang akademisi ekonomi pembangunan dan Esther Duflo dianggap supertar baru dalam riset ekonomi pembangunan. Hal ini disebabkan dia fokus menggunakan matode field experiment yang masif, berbeda dengan paradigma yang dianut sebagian besar para teoritisi dan ilmuwan ekonomi pembangunan saat itu. Objek penelitiannya adalah "Pengaruh Sekolah Dasar (SD) Instruksi Presiden (Inpres) pada Pengentasan Kemiskinan", yang menunjukkan bahwa pendirian ribuan Sekolah Dasar pada masa pemerintahan Orda Baru terhadap peningkatan kemakmuran dianggap sebagai karya monumental. Karyanya itu kemudian juga melahirkan mazhab baru dalam riset ekonomi pembangunan yang disebutnya dengan ilmu eksperimen lapangan (field experiment) untuk memahami sebuah teori ekonomi.
Lahirnya SD Inspres di Indonesia pada masa itu, tidak terlepas dari peran Teknokrat jenius Wijoyo Nitisastro, ekonom hebat pada era Tahun 1970-1980an. Dan yang lebih hebat lagi gagasan dan kebijakan tentang pentingnya pendirian SD Inpres, telah mampu melahirkan Ilmuwan paraih Nobel Ekonomi yang amat prestisius dan membanggakan. Hanya saja kebijakan yang diambil dengan baik oleh Ekonom Indonesia, Nobelnya diperoleh bukan oleh Ekonom Indonesia.
Indek Pembangunan Manusia.
Dalam kisah selanjutnya, kita pernah mendengar nama Amartya Sen [1990], orang India yang melontarkan gagasan tentang Development as Freedom, pembangunan harus mampu mengantarkan suatu bangsa untuk mencapai kehidupan politik yang bebas dan demokratis, dengan menghilangkan kemiskinan serta berbagai penderitaan seperti: kekurangan pangan, malnutrisi, buta huruf, ketiadaan kebebasan sipil, diskriminasi, dan berbagai perampasan hak.
Selanjutnya, pada tahun 2002 negara Bhutan mengklamirkan National Gross Happiness Index [NGHI], sebuah cara mengukur kebahagiaan sebagai tujuan akhir pembangunan. Salah satu unsur utama: Vitalitas Masyarakat [Community Vitality] sebagai indek kebahagiaan terdiri atas dukungan masyarakat, hubungan masyarakat, hubungan keluarga, dan pengalaman kejahatan. Selanjutnya, Bhutan melalui GNHI merumuskan sembilan kinerja pemerintahan, yaitu: Kesejahteraan [psychological wellbeing], Penggunaan waktu [time use], Vitalitas masyarakat [community vitality], Keanekaragaman budaya [cultural diversity], Ketahanan lingkungan [ecological resilience], Standar hidup [living standard], Pendidikan [education], Transparansi Pemerintahan [good governence]. Hal ini sejalan dengan MDGs [Millennium Development Goals] pada September 2000 yang merumuskan delapan butir tujuan tercapai kesejahteraan rakyat.
Community Vitality measures the strength, activity and inclusiveness of relitionships between residents, private sector, public sector and civil society organizations that fosters individual and collective wellbeing.
Vitalitas masyarakat terdiri atas 4 komponen, yaitu: Dukungan masyarakat [social sopport], Hubungan masyarakat [community relationships], Hubungan keluarga [family relationship], dan rasa aman [perceived safety].
Gambaran besaran kontribusi [social sopport] oleh masyarakat [dengan mencatat nilai sumbangan atau donasi dan relawan atau volunteer]. Dalam masyarakat Buthan donasi 10 % dari pendapatan keluarga [household income] dan melakukan relawan 3 hari selama 12 bulan sudah dianggap mencukupi. Kalau mendonasikan pendapatan 20% tidak melakukan relawan dipertimbangkan mencukupi. Jika melaksanakan relawan sebanyak 6 hari walau tidak memberikan donasi 10% dari pendapatan, dianggap memadai.
Dalam kaitannya dengan hubungan masyarakat [community relationship] diukur dari dimensi rasa memiliki [sense of belonging] dengan rentang pengukuran sangat kuat [very strong] sampai lemah [weak]. Saling percaya antartetangga [trust in neighbours] yang diukur sebagian besar saling percaya di antara mereka [trust most of them] sampai dengan tidak saling percaya di antara mereka [trust none of them] yang dilengkapi dengan pilihan “tidak tahu” [don`t know].
Korban Kejahatan [Victim of Crime] merupakan komponen ke empat yang menjadi ukuran kebahagiaan. Dalam laporan World Happiness Report yang dirilis Earth Institute Colubia University [2013] menyatakan: dari 156 negara menunjukkan bahwa kesejahteraan, kenyamanan, dan keamanan menjadi faktor yang menentukan negara yang mampu membahagiakan rakyatnya. Denmark, Noregia, Swiss, Belanda, dan Swedia lima negara paling berbahagia di dunia. Amerika urutan ke 17, Kanada 6, Australia 10, Israel 11, Uni Emirat Arab 14 dan Meksiko 16. Organization for Economic Cooperation and Development [OECD] tahun 2013 merilis negara paling berbahagia di dunia. Austria paling berbahagia, Swedia, Kanada, Norwegia, dan Swiss masuk dalam 5 besar dunia.
Ekonomi pembangunan sebagaimana dinyatakan oleh Esther Duflo dan Abhijit Banerjee, setidaknya dapat memfokuskan pada objek: seberapa baik hubungan antar keluarga; seberapa rajin dan besar setiap keluarga memberi kontribusi terhadap warga lainnya dan atau negara yang dapat ditujukkan dengan dana punya, ngayah, dan metulungan; seberapa percaya warga masyarakat terhadap tetangganya, dan seberapa besar setiap orang merasa nyaman dan aman dari pengaruh kekerasan. Jika itu tercapai, maka itulah bahagia. Pertanyaannya, mampukah wilayah dan daerah yang bersemboyan Shanti dan Jagadittha, damai membawa warganya untuk mencapai kebahagiaan ? Semoga.
Ekonomi pembangunan sebagaimana dinyatakan oleh Esther Duflo dan Abhijit Banerjee, setidaknya dapat memfokuskan pada objek: seberapa baik hubungan antar keluarga; seberapa rajin dan besar setiap keluarga memberi kontribusi terhadap warga lainnya dan atau negara yang dapat ditujukkan dengan dana punya, ngayah, dan metulungan; seberapa percaya warga masyarakat terhadap tetangganya, dan seberapa besar setiap orang merasa nyaman dan aman dari pengaruh kekerasan. Jika itu tercapai, maka itulah bahagia. Pertanyaannya, mampukah wilayah dan daerah yang bersemboyan Shanti dan Jagadittha, damai membawa warganya untuk mencapai kebahagiaan ? Semoga.