Bhisama dan Fakta
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Denpasar, 12 Maret 2001).
Pendahuluan
Ketika kami sekeluarga makan di sebuah plaza, anak-anak melihat sebuah stand yang menjual ayam goreng tepung. Dari obrolan di antara pembeli yang sedang antre dan pengetahuan mereka (anak-anak kami) sebelumnya yang diperoleh melalui teman-temannya di sekolah maupun di lingkungan menetap, makanan itu disebut KFC, yang artinya ayam goreng ala Kentucy.
Pada saat yang berbeda, ketika salah seorang anak kami berulang tahun, mereka sepakat untuk merayakannya di stand yang sama, sambil menikmati makanan ‘Kentucy’. Dengan bangga anak-anak kami mengajak orang tuanya dengan mengatakan: “ayo jik, kita makan ke Kentucky” ! Anak kami tidak pernah menyadari yang sesungguhnya mereka cari adalah ayam goreng, bukan Kentucky. Tetapi bagi mereka antara Kentucky dan Fried Chicken sama saja, yakni merujuk pada sebuah makanan yang lezat, renyah, dan cepat saji. Bagi mereka, tidak ada perbedaan guna (use), arti (meaning), dan fungsinya (function). Yang lebih penting baginya adalah pada saat yang dinanti-nantikan, mereka dapat menikmati makanan itu, tidak peduli apakah akan memberikan guna, arti, dan fungsi bagi pertumbuan badannya, kondisi keuangan orang tuanya, maupun bagi gengsi mereka di antara sebayanya.
Sebaliknya, hanya beberapa orang saja yang menyadari kekeliruan yang terjadi, yakni kami orang tuanya dan beberapa kerabat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relatif lebih luas. Malahan, ketika kami menyadari kekeliruan itu, kamipun terlibat dalam obrolan intensif tentang pentingnya proses penyadaran bagi anak-anak kami, berkaitan dengan guna, arti, fungsi, dan peranan makanan itu bagi pertumbuhan fisik dan kultur kita, tanpa pernah disadari oleh anak-anak yang sedang lahap melalap ayam kesukaannya itu. Ilustrasi di atas mengantarkan kita pada betapa pembahasan tentang arti, fungsi, dan peranan bhisama (baca: nilai) penting dan berarti bagi umat Hindu.
Bhisama: Antara Fungsi Ideal dan Empiris
Secara normatif bhisama adalah sebuah keputusan yang seharusnya dipahami, ditaati sekaligus dijaga bersama fungsi-fungsinya oleh setiap umat. Sebagai sesuatu yang normatif, bhisama berisi sesuatu yang baik dan diharapkan dapat dijadikan panutan bagi kehidupan sosial dan kultural. Secara ideal, substansi bhisama seharusnya nilai-nilai yang diyakini bersama (shared values) dan merupakan standard keinginan. Sebagai nilai bersama dan merupakan standard keinginan, bhisama memiliki aspek intensitas, kolektif, serta sentimen.
Dikatakan memiliki intensitas, karena substansi bhisama biasanya menyangkut nilai-nilai dan simbol yang kontruktif atau nilai yang dianggap paling berharga dalam kehidupan suatu komunitas umat. Karena itu, substansi bhisama menjadi sangat peka dari berbagai sentuhan internal maupun eksternal. Bhisama juga memiliki fungsi kolektif, artinya bahwa isi sebuah bhisama tidak hanya mengatur mereka yang merumuskan, melainkan juga menjadi acuan bagi seluruh umat yang yakin terhadap nilai dan simbol itu serta mempercayai mekanisme kelahirannya. Akhirnya, bhisama juga berfungsi sebagai sarana sentimen komunitas umat, baik ke dalam maupun ke luar.
Dalam kenyataannya, kedudukan bhisama PHDI sampai saat ini masih dapat dianogkan dengan kondisi ketidaktahuan anak-anak kami terhadap kekeliruan yang terjadi, keacuhan mereka terhadap tindakan orang tuanya yang sedang intensif membicarakan kekeliruan yang telah terjadi, maupun kerancaun mereka memaknai objek. Anak-anak dapat disejajarkan dengan kondisi umat Hindu, sedangkan peran orang tua dan beberapa kerabat dianalogkan dengan sekelompok elite-umat Hindu dengan berbagai motivasinya yang sudah cukup lama mengabdi untuk dirinya, masyarakat, agama, dan negara.
Bila kita jujur, sebelum tahun 1980-an umat Hindu umumnya tidak pernah tahu tentang terminologi bhisama, apalagi arti, fungsi, dan perannya bagi mereka. Jikapun ada sebagian umat yang tahu tentang arti, fungsi, dan peranan bhisama, itupun terbatas pada mereka yang menaruh minat sangat besar pada tradisi sastra, agama, dan kelembagaan umat. Selebihnya, umat tidak pernah mendengar apalagi mengerti tentang hal itu.
Jika kemudian pada tahun 1990-an istilah bhisama menjadi populer di kalangan umat Hindu, hal itu tidak dapat dilepaskan dengan konteks isu kultural, politik, ekonomi, hukum, dan HAM serta peran media massa. Sampai hari inipun masih banyak di antara umat Hindu belum paham tentang arti dan peranan bhisama dalam mengatur kehidupan sosial dan kultural. Malahan sebagian di antara umat, menganggap bahwa pengaturan seperti itu hanya membuat wajah Hindu ‘menyeramkan’ menjadi agama doktrin dan dapat menjadi bumerang bagi pembinaan dan pengembangan Hindu di masa yang akan datang.
Adanya polarisasi pemikiran seperti itu, menurut hemat saya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, belum meratanya kondisi umat terutama antara mereka yang masih berada pada level tradisi lisan dengan umat yang sudah mulai masuk ke dalam level tradisi baca. Kedua, mekanisme pembuatan bhisama cendrung masih elitis.
Jika perbedaan antara penganut tradisi lisan dengan tradisi baca sedemikian lebarnya, maka dapat dipastikan akan terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan yang cukup signifikan terhadap arti, fungsi bhisama bagi kehidupan umat. Di satu pihak, bhisama dianggap sebagai bentuk ekspresif (ascription, diffuseness, affectivity, particularism, collectivity) sementara pada komunitas lain dianggap sebagai instrumental (achievement, specificity, neutrality, universalim, self) dengan berbagai konskuensi sosial dan kultural. Itu artinya fungsi dan peranan bhisama menjadi tidak maksimal.
Fungsi maksimal semakin menjauh jika dalam proses perumusan isi bhisama tidak melibatkan sebanyak mungkin komponen yang ada. Artinya proses pemilihan terhadap isu yang dijadikan bhisama maupun pihak yang terlibat dalam proses perumusan itu hendaknya tidak terbatas pada kelompok elite yang kebetulan dipercaya memimpin pada periode tertentu. Dalam pemilihan isu maupun pihak yang terlibat dalam mekanisme perumusan hendaknya dapat meminimalkan adanya pihak yang merasa diabaikan, apalagi tidak dilibatkan. Dengan cara itu, peluang bhisama menjadi shared values dan standard keinginan semakin terbuka.
Konskuensi Bhisama: Antara Ekslusif dan inklusif
Bertitik tolak dari kondisi umat yang masih heterogen, maka diduga akan lahir dua sikap terhadap fungsi dan peranan bhisama bagi umat. Pemikiran pertama beranggapan bahwa bhisama tidak perlu dirumuskan secara tegas. Hal ini cendrung dilandasi oleh sikap eksklusif, bahwa sebagai agama yang baik dan lengkap menjadi amat wajar bila dicontoh, digunakan untuk kepentingan yang susila. Itu sebabnya, Hindu tidak perlu mendefinisikan nilai-nilai agama simbol menjadi sangat ekspresif dan teknis. Umat cukup diatur secara global, seperti penanaman ajaran dilarang mencuri, tidak berbohong, menyayangi sesama, tidak membunuh, pelihara hubungan baik dengan Tuhan, sesama, dan alam. Bagaimana teknis dari pola hubungan itu diserahkan sepenuhnya kepada umat menurut kemampuannya masing-masing. Penganut pemikiran ini, memperkuat pandangan mereka dengan bukti-bukti historis bahwa “harmonisnya hubungan sosial umat Hindu dengan umat lainnya dalam interaksi sosial disebabkan karena umat mengembangkan sikap ekslusif, yaitu sikap luwes, longgar, dan tidak fanatik”.
Sikap kedua, menyatakatan bahwa bhisama mutlak diperlukan mengingat semakin banyaknya persoalan yang menimpa agama kita, terutama berkaitan dengan desakralisasi nilai dan simbol Hindu. Untuk menghindari berbagai persinggungan, perlu dirumuskan hal-hal yang boleh dilakukan maupun yang tidak boleh. Pendek kata, agama dibuat hitam putih tidak saja secara global, tetapi secara teknis. Agama tidak semata-tama bersifat simbolis (sybolism) yang cendrung abstrak, melainkan dirumuskan menjadi semacam tanda (sign) yang memiliki substansial lebih konkrit. Penganut pemikiran ini beranggapan hanya dengan merumuskan kaidah nilai agama secara jelas dan tegas melalui bhisama, kita akan terhindar dari berbagai persoalan dualisme dan sikap ambivalen. Sikap ini lahir dari para penganut inklusifisme.
Berdasarkan pola sosialisasi umat dan kondisi umat secara keseluruhan, saya cendrung menyatakan bahwa bhisama yang telah dirumuskan selama ini oleh PHDI belum berfungsi dan berperanan sesuai tatanan ideal sebuah bhisama. Di samping karena proses kajian dan pertimbangannya masih memerlukan urun pendapat dari berbagai pihak, juga karena kita sebagai umat yang seharusnya menjaga serta memelihara bhisama itu belum bisa mentaatinya. Menjadi agak naif untuk persoalan yang sama, kita menuntut orang lain untuk tidak melakukan, menggunakan sesuatu hal yang menurut pikiran kita tidak patut, sementara kita sendiri tidak pernah melakukan otokritik terhadap cara kita memperlakukan nilai dan simbol yang sama. Karena itu, sepanjang kita sebagai umat belum merasa mampu melaksanakan nilai dan simbol secara disiplin, jangan harapkan orang lain akan dapat mengikuti bhisama yang dirumuskan. Dan dalam kondisi demikian, semakin jelas betapa tidak berfungsinya bhisama itu bagi umat, padahal bhisama dibuat untuk ditaati. Lembaga apapun yang akan menghadapi dan melakukan hal yang sama, maka hasilnyapun akan sama.
Bhisama dan Walaka-Profesional
Mengingat secara empiris bhisama yang dikeluarkan PHDI masih disikapi secara ambivalen oleh umat, maka untuk meminimalkan sikap ambivalen itu perlu dilakukan beberapa hal, yaitu: 1) memetakan serta merumuskan sikap kita sebagai umat tentang perlu tidaknya bhisama. Jika pilihan pada sikap tetap untuk mempertahankan eksklusivisme, maka kita harus mensosialisasikan dan menyiapkan mentalitas untuk siap menerima proses sekularisasi dengan berbagai aspek ikutannya. Sebaliknya, apabila pilihan pada sikap untuk mengembangkan inklusivisme, maka diperlukan langkah-langkah pembinaan dan sosialisasi untuk mentaati setiap bhisama yang dirumuskan; 2) melakukan kajian ulang terhadap beberapa bhisama yang kiranya masih memerlukan berbagai pertimbangan dari berbagai perspektif, sehingga sebuah bhisama tidak saja layak secara teologis, tetapi juga memenuhi pertimbangan multi dimensional; 3) untuk memenuhi fungsi itu, libatkan sebanyak mungkin para Walaka-Profesional yang memiliki pengetahuan dan minat tentang hal itu. Penentuan substansi bhisama pertama-tama dilakukan pada tingkat Walaka melalui forum-forum, lembaga kajian sebelum diteruskan kepada Sabha Pandita untuk selanjutnya dituangkan menjadi bhisama; 4) melibatkan sebanyak mungkin potensi umat dalam merumuskan sebuah bhisama, sekaligus memperbesar peluang menguatnya fungsi dan peranan bhisama bagi kehidupan umat; 5) tentu dengan syarat semua pihak merasa sejajar sebagai abdi Tuhan, mau membuka diri, dan tidak menganggap pihak lainnya tidak dapat memberikan kontribusi.
Penutup
Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan pada forum yang berbahagia ini semoga ada manfaatnya. Semoga kita dipertemukan dalam satu kebenaran yang hakiki. Svaha.