Dibutuhkan Penafsir Agama yang Profesional.
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(SKB Denpasar Timur, 24 Juni 2000).
Pendahuluan.
Pertama-tama saya mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Agama Provinsi Bali atas undangannya, sehingga saya sebagai representasi Universitas Hindu Indonesia bisa ikut berpartisipasi pada acara “Orientasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama” bagi Pemandu KUB, Guru, dan Penyuluh Lintas Agama. Kedua, penyuluh adalah Agent of Change, oleh karena itu harus diberikan panduan agar materi yang disampaikan sampai, juga etika dalam koredor damai dan berlandaskan nilai-nilai keIndonesiaan, sebagaimana harapan Bung Karno.
Manusia dalam upaya memahami lingkungan alam dan sosial senantiasa berdasarkan kebudayaannya. Kebudayaan diartikan sebagai sistem pengetahuan yang digunakan mengkategorisasi, menyortir dan mengklasifikasikan pengalaman, agar manusia dapat mewujudkan kelakuan secara tepat dan teratur. Sistem kategori dari setiap kebudayaan, didasarkan pada simbol-simbol tertentu.
Dalam primary goup (C.H. Cooley) dan gemeinschaft (F. Tonnies), masyarakat dicirikan oleh solidarite mechanique (E. Durkheim) bersifat familistic (P. Sorokin). Berbagai aktivitas termasuk aktivitas agama diwadahi oleh organisasi adat, dengan pimpinan dipilih berdasarkan kewibawaan dan karisma, dan hubungan berdasarkan perorangan. Pada masyarakat bersahaja, aktivitas agama senantiasa berhubungan dengan ciri-ciri tersebut di atas, misalnya teologi agama sarat dengan simbol tanpa banyak dipahami maknanya. Hal ini disebabkan adanya penyerahan diri secara mutlak kepada kekuatan yang Supreme. Agama bersifat ekspresif dan kolektif, dan akan terjadi pengucilan-pengucilan terhadap seseorang yang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap kesepakan umum. Pimpinan agama selalu dihubungkan dengan wibawa dan karisma berdasarkan keaslian, ketuaan, dan keturunan. Akumulasi dari seluruh kekuatan itu, pelaksanaan agama cendrung seragam, pembenaran atas sistem agama dilakukan oleh sekelopok kecil orang yang diberikan wewenang secara turun temurun. Generasi muda cendung pula taat pada ketentuan yang telah ada dan melaksanakannya dengan apa adanya.
Waktu telah mengubah segalanya, generasi muda sebagai Brahmacaria yang memperoleh berbagai pengetahuan dan pengalaman baru, telah melahirkan gagasan baru untuk mengadakan perbaikan berupa pembaharuan di dalam konsep dharma, sehingga agama tetap relevan dengan konsep Sanatana Dharma sebagai keabadian kontekstual. Sudahkah perilaku Generasi Muda Denpasar menunjukkan perilaku sesuai harapan ?
Agama Bukan Semata-mata Nominous Melainkan Fungsional.
Masyarakat Denpasar sebagaimana halnya penduduk kota-kota besar lain, telah menunjukkan bentuk sebagai association (C.H. Cooley), gesellschaft (F. Tonnies) dengan solidarite organique (E. Durkheim). Hubungan antarorang didasarkan atas kontraktual, anonim, dan berazasguna. Organisasi keagamaan bersifat buatan, dan pimpinan organisasi agama dipilih berdasarkan wewenang dan hukum.
Kondisi masyarakat demikian, menuntut agama bukan lagi sebagai yang mutlak mengatur manusia, melainkan agama dimungkinkan ‘diatur’ oleh kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia dalam kepentingannya mengatur agama agar sesuai dengan tuntutan yang selalu berubah (misalnya kesibukan, prinsip efisiensi, kemanusiaan, demokratisasi, dan sebagainya) maka manusia senantiasa akan melakukan pemahaman dan penafsiran (interpretative and understanding) terhadap agama yang sebelumnya terbungkus dengan berbagai simbol ekpresif, kognitif, evaluatif, dan kontruktif.
Agama tidak lagi semata-mata berhubungan dengan hal-hal yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada hal yang gaib (nominous), melainkan agama menjadi penting, terutama dalam konteks situasi ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Dalam keadaan seperti ini, agama menyediakan pandangan tentang dunia yang tak terjangkau (beyond). Dalam hal itu deprevasi dan frustrasi dapat dirasakan dan dialami sebagai hal yang bermakna pada diri manusia di samping sebagai sarana ritual yang memberi peluang terjalinnya 'hubungan' manusia dengan hal di luar jangkauannya. O'Dea secara rinci merumuskan enam fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut.
“…, (1) sebagai dukungan, pelipur lara, dan rekonsiliasi, ketika manusia menghadapi ketidakpastian, kekecewaan, dan keterasingan dari tujuan dan norma-norma yang menatanya; (2) agama menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, karenanya agama memberikan landasan penguat emosional dan identitas dalam situasi ketidakpastian. Melalui ajaran yang mutlak, agama dapat pula mewujudkan keteraturan dan ketertiban, yang pada dasarnya suatu usaha untuk mendukung kelestarian status dan peranan; (3) agama berfungsi meligitimasi pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu acapkali 'diampuni' melalui mekanisme ritual, sehingga individu yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial. Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai dan norma-norma masyarakat yang telah terbentuk dan terpelihara; (4) melalui agama dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang memungkinkan suatu nilai dan norma yang telah melembaga dikaji secara kritis; (5) agama juga berfungsi sebagai pemberi identitas. Peranserta manusia dalam suatu ritual, doa, dan ritus lainnya pada dasarnya telah membedakan dirinya dari orang lain yang melakukan ritual dan doa secara berbeda. Melalui ritus agama dengan mudah seseorang diidentifikasi siapa dia serta apa ia; dan (6) agama berhubungan dengan proses pendewasaan melalui stages along the life cycle. Sebagaimana para psikolog menggambarkan masa-masa krisis yang dialami setiap individu dalam proses pendewasaan, agama berfungsi melibatkan individu dalam roses belajar.
Perilaku Beragama Generasi Muda dalam Konteks Fungsi Agama.
Secara normatif fungsi agama dalam masyarakat pasca-tradisional, tidak semata-mata nominous, melainkan secara efektif dapat memberikan tuntunan dan jalan keluar bagi sutuasi ketidaktentraman dan ketidakpastian.
Perilaku agama Generasi Muda di kota Denpasar saat ini masih terbatas pada bentuk ekspresif, dalam arti bahwa mereka datang ke Pura, mereka mengikuti berbagai ritus keagamaan, dan mereka berbaur dengan umat semata-mata didorong oleh kewajiban beragama dalam hubungannya dengan nominous. Mereka masih menganggap agama sebagai pelipur lara, dan rekonsiliasi, ketika manusia menghadapi ketidakpastian, kekecewaan, dan keterasingan. Dengan makna ini Generasi Muda masih memandang agama hanya sebagai media dalam hubungannya dengan hal yang bersifat vertikal-transenden. Mereka masih perlu diarahkan agar memfungsikan agama dalam arti horizontal-imanen. Artinya, perilaku agama diarahkan pada kepedulian lebih banyak diarahkan terhadap aspek kemanusiaan, memuliakan hidup orang lain, kebersihan, kesehatan, perdamaian dan sebagainya.
Keterlibatan Generasi Muda dalam suatu ritus tidak saja dalam usaha menanamkan kesadaran kepada yang Supreme, tetapi juga memberikan suatu keyakinan bahwa membantu dan peduli terhadap penderitaan orang lain juga merupakan amanat Dharma.
Kalaupun sikap dan perilaku Generasi Muda saat ini masih terbelenggu oleh ‘tradisi’ seperti itu yang sesungguhnya lebih menjadi ciri masyarakat bersahaja bukan masyarakat modern, maka hal itu tidak semata-mata dicari pada Generasi Muda, melainkan hendaknya juga dipahami dari sistem agama yang dipolakan selama ini. Terbatasnya orang-orang yang mau dan berani melakukan reinterpretasi terhadap makna agama yang selama ini membungkus dalam simbol, merupakan persolan yang dihadapi umat kita. Kalaupun ada orang atau kelompok orang yang mau dan berani melakukan tafsir baru, maka keberhasilannya juga ditentukan oleh komitmen masyarakat lain. Kehati-hatian ini ikut memperlambat proses pelembagaan model baru dalam pembinaan agama.
Simpulan
Perilaku Generasi Muda di Era Reformasi ini masih menonjolkan bentuk ekspresip dan simbolik dalam aktivitas beragama. Mereka masih memandang agama semata-mata sebagai nominous, belum sebagai ‘sahabat’ yang dapat diajak berdialog di kala suka dan duka.
Dalam masyarakat yang semakin dicirikan oleh solidarite organique, bentuk agama seharusnya mulai diarahkan tidak saja dalam arti mengakuan terhadap yang Supreme dan transenden, tetapi juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan. Untuk itu diperlukan langkah nyata dan sistematis dalam bentuk pendalaman Sradha yang kontekstual.