Skip to main content

Hindu dan Perubahan Sosial

Sumber Foto: Paragram.id (Foto bisa saja memiliki hak cipta).
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(PQDP Telkom, 28-30 April 2003 di Wisma PLN Bedugul, Bali)

Pendahuluan
Modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Karena itu, anggota komunitas pendukung suatu tradisi senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru, akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi. 

Dalam pengalihan itu, terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan  kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan, cara itu akan diganti dengan yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran dan sosialisasi. Bagaimana Hindu melakukan hal itu dalam konteks perubahan yang selalu terjadi ?

Modernisasi dan I-H-D-P
Modernisasi dan perubahan sosial menyiratkan adanya empat hal penting, yaitu berkaitan dengan nilai-nilai individu, kemanusiaan, demokrasi, dan partisipasi. Pertama, Modernisasi menyiratkan adanya nilai baru yang lebih menonjolkan peran individu dengan isu di seputar humanisme, demokratis, dan partisipasi. Secara teoritis penonjolan aspek individual akan memberikan pilihan dan alternatif pada kegiatan spiritual dan aktivitas kontemplasi lainnya. Kegiatan agama yang bersifat kolektif kurang diminati, kecuali dalam fungsinya untuk meningkatkan solidaritas sosial. Berbagai bentuk ritual selalu akan dinilai sebagai sesuatu yang ‘memberatkan’ ketimbang membeli peluang dan solusi riil dan rasional. Karena itu, segala bentuk ritus selalu diharapkan lebih efisien dan epektif, terutama dikaitkan dengan beban kerja yang secara riil diadapi setiap orang dalam lingkungan kerjanya. Kedua, aspek humanistik merupakan  isu menarik dalam agama modern, terutama dikaitkan dengan masalah kemanusiaan. Itu sebabnya,  semakin banyak orang lebih fokus membaca, memahami, dan mengamalkan prinsip ajaran kemanusiaan seperti konsep Tat Twam Asi, yang mengandung pengertian bahwa setiap manusia berkewajiban welas asih terhadap yang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Rgveda (137.1) dan Atharwaveda, (IV.13.1) sebagai berikut: "Hendaknya mereka yang terpelajar, mengangkat derajat orang-orang yang di bawah atau miskin dan sejenisnya. Dalam hubungan menolong orang lain sebagai etika hidup bermasyarakat, Yayurveda (XV.59) menyatakan " Hendaknya Kamu bekerja mewujudkan kebahagiaan umat manusia dan menjauhkan mereka dari penderitaan". Kedua kutipan ajaran agama Hindu di atas, menunjukkan bahwa sebagai manusia, diwajibkan oleh agama untuk memandang orang lain lain sebagaimana halnya dirinya sendiri.

Memandang orang lain seperti diri sendiri, menyiratkan bahwa kita telah menghargai diri sendiri dihadapan orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Rgveda (VII.7.6) "Mereka yang ramah senantiasa menolong dan memberikan bantuan berupa dana-punia kepada setiap orang yang memerlukan". Lebih lanjut dalam Rgveda (I.125.5) disebutkan "Mereka yang suka melayani dan membantu orang lain, patut dihormati sebagai Dewa." Seruan yang sama diajurkan pula dalam Atharwaveda, (XVIII.3.25) sebagai berikut "Marilah kita menghargai mereka yang berjasa, yang meningkatkan (harkat dan martabat) manusia".

Kutipan di atas secara implisit telah memberikan pembahasan mengenai aspek demokratis dan partisipasi individu dalam banyak aspek kehidupan yang bertumpu pada bentuk-bentuk rasionalitas. Artinya, semua itu memberi arti penting dari rasio dalam menjalankan amanat dharma. Argumentasi yang sangat rasional itu adalah sesuatu yang wajar sebagai salah satu ciri modernisasi. Decartes menyatakan “Sekarang bukan batin manusia yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan lahiriah, melainkan alam yang harus menyesuaikan diri dengan norma-norma batin manusia”. Kosmosentrisme telah berubah menjadi antroposentrisme. Karena itu,  rasionalitas dan kesadaran menjadi kata kunci [keyword] untuk masuk dalam wacana modernitas. 

Implikasi sosiologis dari pandangan Decartes tentang cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) adalah hilangnya pesona dunia. Lingkungan lahiriah dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekaligus mempesona, tidak lagi mempengaruhi dan membentuk pikiran manusia. Lingkungan  dihadapi dan diberi arti sebagai dunia material atau objek semata. Konsekuensi dari peristiwa itu adalah terjadi otonomi dan kebebasan subjek dalam menafsirkan realitas.
Perubahan Menuntut Pemahaman, Penafsiran, dan Sosialisasi
Pemahaman mengandung arti bahwa setiap orang harus sungguh-sungguh telah memiliki pengetahuan secara komprehensif mengenai agama dan kebudayaan yang ia yakini sebagai suatu kebenaran mutlak. Secara implisit pernyataan di atas membedakan antara pengertian tahu dan paham. Tahu adalah permulaan dari proses paham, atau mereka yang paham dapat dipastikan tahu. Dalam kenyataannya, banyak orang yang baru tahu telah merasa paham mengenai agama dan kebudayaannya, padahal sesungguhnya ia hanya baru tahu bagian kecil saja dari pengetahuan yang sedemikian luas. Malahan sering terjadi orang yang sedikit tahu merasa paham mengenai agama, membuat keputusan, dan berbagai argumentasi mengenai agama. Pendek kata, perubahan adalah sesuatu yang abadi, karena itu jika Hindu tidak ingin ketinggalan dengan perubahan itu, maka ia harus diketahui dan dipahami secara baik, melalui berbagai kegiatan yang terencana dan sistematis.

Pemahaman yang baik membuka peluang terjadinya proses tafsir, dan ‘manipulasi simbolis’ yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang atau memberi makna baru sesuatu situasi yang sedang berkembang. Dengan cara itu, akan diperoleh kualitas tafsir yang mampu membuat berbagai pihak merasa menikmati. Sebab, asumsi dalam sosiologi agama yang patut dipahami adalah “tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinuum yang berhadapan dengan modernisasi, bahwa yang satu lebih menekankan pada cara berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan universalisme-globalisasi. Masing-masing dari keduanya (tradisi dan modernisasi) memiliki nilai yang bersifat axiomatik, yaitu menjujung nilai persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan umat manusia”. Artinya, dalam suatu tradisi komitmen tentang persaudaraan, kemanusiaan dan kesejahteraan bukannya tidak ada, tetapi dikemas dengan cara yang lebih tersembunyi, dibuat malu-malu. Sebaliknya, dalam dunia global bukanlah suatu kehidupan tanpa solidaritas. Sedangkan sosialisasi menegaskan bahwa walaupun reintepretasi terhadap adat dan tradisi merupakan suatu keharusan sejarah, namun hal itu tetap dilakukan setelah melalui mekanisme dan tahapan yang sistematis. Tujuannya agar seluruh produk manusia dan hasil intepretasi mereka, terus dapat menjadi standar moral dan wahana memelihara solidaritas. 

Agar setiap produk tafsir memperoleh standar moral bagi umat, maka berbagai bentuk sosialisasi menjadi penting. Sosialisasi tidak pernah mengandung arti revolusi, demikian juga sosialisasi tidak pernah mengandung arti adanya pendekatan politik, melainkan adanya pengenalan sistematis, bertahap, persuasif, dan menghargai pandangan orang lain. Hanya dengan cara itu, Hindu mampu memaknai perubahan dalam suasana shanti. 

Simpulan
Perubahan abadi adanya, sehingga tiada seorangpun mampu menghindar dari perubahan. Hindu sebagai Sanatana Dharma juga tidak luput dari perubahan, karena itu jika Hindu tetap diyakini sebagai agama yang membawa kerahayuan bagi umatnya, maka ia harus mampu memaknai agama sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Caranya adanya dengan melakukan tafsir dan sosialisasi. Hanya dengan cara itu Hindu akan mampu memaksimalkan fibrasinya sebagai agama kemanusiaan yang abadi.


Daftar Bacaan yang Dianjurkan.
Bakker,  FL.  1993.  The  Struggle  of  the  Hindu  Balinese  Intellectuals:  Developments In  Modern  Hindu Thinking in Independent Indonesia.  Amsterdam:  VU University  Press.

Belger dan   Thomas  Luckmann. 1990.     Tafsir Sosial  Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.

----------------- Brigitte   Berger   and    Hansfried    Keliner.   1992.     Pikiran  Kembara:  Modernisasi dan  Kesadaran Manusia. Yogyakarta:  Kanisius.
    
Kuntowijoyo. 1994.  Demokrasi  dan  Budaya  Birokrasi.  Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 

Spradly,   James.  1972.   "Culture  and  Cognition",  dalam  Rules,  Maps and Plans. San Fransisco: Chandlre Publishing Company.

Suasthawa  Dharmayudha,  Koti   Cantika.   1994.  Filsafat  Adat Bali. Denpasar:  Upada Sastra.

Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 1998. “Implementasi Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Bali dalam Era Kesejagatan” (paper). Singaraja. STIE  Satya Dharma.

---------------------. 1999. “Pemberdayaan Desa Adat”(paper). Denpasar: Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia.

---------------------. 2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (paper dalam Dialog Budaya Regional, 28-29 Oktober 2002). Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.

---------------------. 2002. “Kearifan Tradisi Di Lingkungan Keluarga” (paper, tanggal 20 Desember 2002 di Hotel Santai Sanur). Denpasar: PPLH Bali.

---------------------. 2002. “Konsepsi Sakral pada Masyarakat Bali” (paper, tanggal 20-21 Desember 2002 di BPG Bali). Denpasar: Listbya.

---------------------. 2003. “Paradigma Pendidikan Seni Berbasis Kompetensi” (paper, Pebruari 2002). Denpasar: STSI.

----------------------. 2003. “Masyarakat Sipil dalam Tradisi Desa Pakraman di Bali” (paper, 14 Maret 2003) Denpasar: Inna Hotel.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar