Karl Marx dan Hindu
![]() |
Sumber Foto "Buruh Wanita Bali Masa Lalu": Finance Detik.Com |
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Gatot Subroto, 7 November 2019).
Suksma dahat pada Made Arga yang bertanya mengenai bagaimana Hindu melihat Marxisme pada blog saya di yudhatriguna.com, pada terbitan dua hari lalu. Banyak di antara kita tidak secara dalam mengenal pemikiran Karl Max (1818-1883), sebab ada masa warga negara Indonesia tidak boleh membaca, mempelajari dan menyebarluaskan pemikiran-pemekiran Karl Marx yang secara sempit ditempatkan sebagai penganut komunisme. Jikapun pemikiran Marx boleh dipahami oleh mahasiswa untuk kepentingan studi di kampus, toh tetap terbatas. Karl Max, sesungguhnya seorang filsuf yang menentang idealistiknya Hegel atau disebut juga evolusi progresif ide-ide. Dalam karyanya The Communist Manifesto dan Das Capital, Max menggunakan konsep penting untuk memahami asumsi-asumsi dasar teorinya, yaitu konsep materialisme historis.
Menurut Max, cara manusia melihat dunia [yang disebutnya kesadaran subyektif] dikondisikan oleh kedudukannya dalam lingkungan material dan sosialnya. Hubungan erat antara pengalaman hidup [riil] individu dan keadaan mental [subyektif] juga berlaku untuk keseluruhan dunia kebudayaan, termasuk ide-ide dan ideologi, pengetahuan, etika, moral, agama, dan standar-standar estetika. Tak satupun aspek kebudayaan yang terlepas dari pengaruh dasar dunia material. Oleh karena itu, perubahan sosial, budaya, dan agama berpusat pada perubahan cara produksi atau teknik produksi material. Perubahan cara produksi pada dasarnya merupakan respon dan strategi terhadap perubahan lingkungan material. Perubahan pada cara produksi telah membawa pengaruh terhadap hubungan-hubungan produksi. Totalitas hubungan-hubungan produksi yang bermacam-macam bersama alat-alat atau cara produksi telah membentuk struktur ekonomi. Struktur ekonomi [alat dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi] merupakan dasar pembentukan superstruktur, agama, hukum, dan kebudayaan.
Dalam pemikiran Marx, terjadi hubungan antara infrastuktur ekonomi, yaitu alat-alat produksi dan hubungan produksi terhadap superstruktur. Infrastruktur inilah menjadi kunci pembentukan superstruktur, yaitu agama, seni dan estetika, standar moral serta hukum dan ideologi. Dalam pandangan Marx, agama, seni dan estetika, standar moral serta hukum dan ideologi semata-mata tercinta karena kekuatan kapital (ekonomi).
Konskuensi Pemikiran Karl Marx
Penekanan analisis Marx terhadap aspek material dan ekonomi, telah melahirkan asumsi-asumsi di antaranya: pertama, pemerintah negara modern benar-benar merupakan suatu komite yang mengurus kepentingan pemilik alat-alat produksi (kaum borjuis dan mereka yang sedang berkuasa). Lihat saja, kekuasaan telah menjadi komite pemilik modal, terutama dalam arti hubungan-hubungan produksi. kedua, lahir pula konsep kesadaran palsu (false consciousness); ketiga, agama tradisional (termasuk Hindu) yang lebih menekankan pentingnya dunia transenden, nonmaterial, dan harapan hidup sesudah mati, adalah upaya membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan fisik dan kesulitan material. Setiap manusia yang kondisi ekonominya buruk dianggap sebagai bagian dari karma yang harus ditanggung dengan sabar dan lascarya. Jika kondisi itu dapat diterima dengan sabar dan melakukan tindakan-tindakan mulia, maka manusia akan memperoleh pahala di dunia setelah kematian. Padahal cara seperti itu digunakan untuk meninibobokan manusia yang sedang menderita agar terhibur dan tetap bersedia dalam penderitaan; keempat, cita-cita agama tradisional membalikkan prioritas alamiah dengan menyatakan “penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu memperoleh pahala di alam baka; kelima, Materi dilihat sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya untuk kesehatan rohani manusia dan pahalanya kemudian hari. Kemiskinan diubah menjadi kebajikan dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Puncaknya, agama yang seperti itu adalah candu bagi manusia. Keenam, ideologi agama tidak akan pernah diterima oleh semua kelas sosial dengan tingkat kegairahan yang sama [kelas bawah cenderung akan lebih nrimo dibandingkan dengan kelas atas], lebih bersedia menanggung penderitaan daripada memberontak.
Gerakkan Mandiri
Jika agama lain memiliki etika untuk bangkit dan malahan memiliki etika munculnya jiwa kewiswastaan (The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism), dalam kurun waktu yang amat lama, pernyataan ini seolah-olah benar, disebabkan tidak banyak orang Hindu yang mau melakukan kajian terhadap Brahma Vidya (Teologi) Hindu untuk membuat bantahan terhadap pernyataan itu. Baru kemudian penelitian Geertz (1960an) di Tabanan Bagus (1980-an), Triguna (1990; 1997) dan penelitian lainnya telah menghasilkan kajian empiris mengenai etika Hindu dalam bisnis. Pertanyaan selanjutnya, apakah penelitian mengenai etika bisnis itu memiliki sumber dalam agama dan susastra Hindu sehingga dapat dijadikan acuan dan referensi teologis ?
Hindu jelas bukanlah agama yang semata-mata mementingkan kehidupan sesudah mati, melainkan secara tegas menekankan pada hal-hal yang terjadi saat ini, pada kehidupan sekarang. Dalam konteks kerja, Hindu jelas menekankan bahwa “kerja yang dilakukan bukanlah semata-mata untuk hidup, melainkan untuk menghasilkan kerja dan malahan sebagai representasi yadnya untuk.mencapai kemuliaan hidup”. Untuk menguatkan akan hal itu, dalam Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1 dengan tegas dinyatakan bahwa Tuhan (Prajapati) telah melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia, yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang disebut Rta. Tuhan sendiri juga harus bekerja untuk mempertahankan eksistensi alam semesta (Bhagawad Gita, III 10, 22, 23, 24). Oleh karena itu, manusia harus bekerja atau berkarma sebagaimana halnya Tuhan telah memberikan kamadhuk melalui yadnya-Nya. Dalam Atharva Veda (III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu juga mengajarkan umatnya untuk bekerja keras dengan penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15).
Dengan landasan bahwa kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap umat Hindu untuk tidak melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab. Menjadi Dosen, menjadi tukang cuci piring, membersihkan rumah, dan mejadi karyawan restauran semua itu adalah sarana untuk melaksanakan yadnya, dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Substansi dari itu semua adanya agama Hindu memandang bahwa setiap pekerjaan memiliki kemuliaannya sendiri, yang mampu memberikan citra diri dan kemuliaan hidup kepada setiap orang yang memandang pekerjaan itu sebagai yadnya.
Dalam konteks kerja itu, Hindu menekankan sebuah etik “kerendahan hati”. Kerendahan hati seperti ini dapat dikembalikan kepada sumbernya, yaitu mahawakya tat twam asi sebuah ajaran normatif, yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidakseimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan ajaran Hindu. Dalam Athavaveda (7.54.1) disebutkan hal sebagai berikut. “Samjňănam nah svebhih samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, artinya: Kami menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam) dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarilah kami tentang kesatuan (samjnanam). Etika kerendahan hati juga dapat dipahami melalui sloka Nitisatakam (dalam Somvir, 2003:5) sebagai berikut. ‘Busana’ kekayaan iklas beramal, ‘busana orang kuat adalah ucapan halus, ‘busana’ orang yang belajar buku-buku suci adalah kedamaian, ‘busana’ tapa tidak lekas marah, ‘busana’ orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain.
Aspek lain yang juga dianggap penting dalam kerja adalah sifat jujur. Sebagai penjual jasa, maka kepercayaan dan kejujuran sangat memegang peranan penting. Hal ini sangat ditekankan dalam etos kerja Hindu, sebagaimana tersirat dalam Sarasamuccaya (157, 76, 20, 75, 74). Semua itu (jujur) hanya dapat dibangun melalui usaha sungguh-sungguh mulai dari diri sendiri. Tidak akan pernah ada orang lain yang mampu membangkitkan potensi diri kecuali oleh diri kita sendiri. Kerjasama dan perluasan kerjasama dalam suatu bisnis itu tidak akan pernah terwujud dengan baik jika di dalam diri kita masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, fitnah, dan seterusnya kepada pihak lain. Karena sifat-sifat tersebut mempersempit atau menghalangi kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Karena itu, ajaran ini baru menjadi dasar sewaka dharma, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri.
Aspek lain yang juga dianggap penting dalam kerja adalah sifat jujur. Sebagai penjual jasa, maka kepercayaan dan kejujuran sangat memegang peranan penting. Hal ini sangat ditekankan dalam etos kerja Hindu, sebagaimana tersirat dalam Sarasamuccaya (157, 76, 20, 75, 74). Semua itu (jujur) hanya dapat dibangun melalui usaha sungguh-sungguh mulai dari diri sendiri. Tidak akan pernah ada orang lain yang mampu membangkitkan potensi diri kecuali oleh diri kita sendiri. Kerjasama dan perluasan kerjasama dalam suatu bisnis itu tidak akan pernah terwujud dengan baik jika di dalam diri kita masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, fitnah, dan seterusnya kepada pihak lain. Karena sifat-sifat tersebut mempersempit atau menghalangi kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Karena itu, ajaran ini baru menjadi dasar sewaka dharma, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri.
Dalam Hindu jelas disarankan, misalnya sebagai karyawan yang menjual jasa, menjadi kewajiban setiap karyawan untuk selalu menilai yang datang itu utusan Tuhan, dan tidak dibenarkan menganggap mereka sebagai ‘pesakitan’. Sebagai utusan Tuhan kedatangan seseorang pasti membawa pahala bagi diri sendiri, keluarga, dan perusahaan. Oleh karena itu, Hindu mengajurkan sambutlah mereka dengan tegur sapa dan senyum yang tulus. Etik ini dikenal dalam ajaran sewaka dharma anjuran untuk melakukan pelayanan dengan penuh iklas dan total. Sloka Yayur Weda. 19.30 berikut dalam banyak hal acapkali menjadi acuan etika kerja dalam aktivitas bisnis sebagai berikut.
Pratena diksam apnoti
Diksaya apnoti daksinam
Daksina sraddham apnoti
Sraddhaya satyam apyate
Artinya:
Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian,
Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan
Dan dengan kehormatan kita peroleh kebenaran
Secara implisit kerendahan hati, kerjakeras, dan jujur merupakan etika kerja yang paling dasar. Tidak ada bisnis yang akan berjalan dengan baik, jika tidak dilandasi dengan sifat rendah hati, kerjakeras, dan jujur. Semua bentuk persahabatan akan hilang kalau jika kita tidak pernah jujur. Penegasan itu sesungguhnya menjadi axioma etika Hindu dengan menyatakan bahwa segala tindakan manusia [termasuk bisnis] harus didasarkan dengan Dharma sebagaimana tersirat dalam sloka Sarasamuccaya 263 berikut. "Apan ikang artha, yan dharma lwiring karjananya, ya ika labha ngaranya, paramartha ning amanggih sukha sang tumemwaken ika, kuneng yan adharma lwirning karjananya, kacmala ika, sininggahing de sang sajjana, matangnyan haywa anasar sangkeng dharma, ya tangarjana" Artinya: Sebab uang itu, jika dharma landasan memperolehnya, laba atau untung namanya; sungguh mengalami kesenangan orang yang beroleh uang itu; akan tetapi jika uang itu diperoleh dengan jalan a-dharma, merupakan noda uang itu, dihindari oleh orang yang berbudi utama; oleh karena itu janganlah bertindak menyalahi dharma, jika anda berusaha menuntut sesuatu.
Inilah beberapa potensi nilai universal yang dapat digunakan sebagai pondasi moral dalam menjawab tudingan miring sekaligus sebagai etika moral mewujudkan referensi nilai-nilai universal. Svaha.