Strategi Holistik Pembangunan Berbasis Budaya.
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Refresh, Gatot Subroto, 10 November 2019).
Pendahuluan.
Dalam hubungan kebudayaan, manusia senantiasa mengalami proses perubahan dengan segala akibat yang menyertainya, baik disebabkan oleh kebutuhan untuk berubah maupun perubahan yang direncanakan. Konseptualisasi mengenai perubahan sosial dan kebudayaan, dapat ditemukan pada pemikiran Comte mengenai evolusi kebudayaan mulai tahap teologika, metafisika, hingga tahap positif. Pandangan Spencer mengenai taraf diferensiasi memberi ilustrasi bahwa masyarakat berbagai suku bangsa yang "belum beradab" (uncivilsed) bersifat homogin karena mereka memiliki kekuasaan dan fungsi yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa fungsi mengalami distribusi fungsi dari satu anggota terhadap anggota lainnya, sehingga masyarakat mengalami penganekaragaman fungsi.
Di sisi lain, proses perubahan itu sendiri telah mampu memberi kontribusi terhadap pengetahuan dalam satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya akan mencoba memberi makna baru terhadap tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif. Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian silih berganti. Secara teoritis dalam proses itu terjadi proses adaptive upgrading dan adaptive modification sebagaimana dinyatakan Sahlins. Penyesuaian itu sendiri mengandung arti ganda, bahwa manusia berusaha untuk menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menata lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka.
Dalam hubungan adaptasi kultural, setiap individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respons dan menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial, memperkuat asumsi bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jika mereka terasing dari lingkungan sosialnya. Tidak hanya itu, manusia juga sedapat-dapatnya berusaha memelihara hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip hubungan timbal balik. Dengan demikian, manusia senantiasa berusaha memelihara hubungan-hubungan bermakna itu dengan berbagai cara yang tepat dalam situasai dan kondisi tertentu. Manusia dalam setiap kesempatan selalu berusaha memelihara dengan baik hubungan itu melalui wacana, perlambang, dan tanda sebagai bagian strategi-kebudayaannya agar tetap dapat hidup dan bertahan sebagai manusia.
Untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut bersifat dinamis, yakni memiliki: (1) perilaku adaptif, (2) strategi tindakan, dan, (3) strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan dengan maksud untuk beradaptasi. Strategi tindakan adalah tindakan khusus yang diarahkan untuk menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Dalam pengertian strategi tindakan tercakup upaya rasionalisasi, mekanisasi, dan orientasi pada kemajuan yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang dipilih oleh manusia dalam proses pengambilan keputusan, karena keberhasilannya telah dapat diprediksinya.
Dalam konteks perubahan social-kultural itu, pembahasan ini lebih diarahkan pada: bagaimana strategi adaptasi berbasis budaya, agama dan sain harus dilakukan, terutama dalam dinamika lokal, nasional, dan global?
Di sisi lain, proses perubahan itu sendiri telah mampu memberi kontribusi terhadap pengetahuan dalam satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya akan mencoba memberi makna baru terhadap tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif. Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian silih berganti. Secara teoritis dalam proses itu terjadi proses adaptive upgrading dan adaptive modification sebagaimana dinyatakan Sahlins. Penyesuaian itu sendiri mengandung arti ganda, bahwa manusia berusaha untuk menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menata lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka.
Dalam hubungan adaptasi kultural, setiap individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respons dan menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial, memperkuat asumsi bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jika mereka terasing dari lingkungan sosialnya. Tidak hanya itu, manusia juga sedapat-dapatnya berusaha memelihara hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip hubungan timbal balik. Dengan demikian, manusia senantiasa berusaha memelihara hubungan-hubungan bermakna itu dengan berbagai cara yang tepat dalam situasai dan kondisi tertentu. Manusia dalam setiap kesempatan selalu berusaha memelihara dengan baik hubungan itu melalui wacana, perlambang, dan tanda sebagai bagian strategi-kebudayaannya agar tetap dapat hidup dan bertahan sebagai manusia.
Untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut bersifat dinamis, yakni memiliki: (1) perilaku adaptif, (2) strategi tindakan, dan, (3) strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan dengan maksud untuk beradaptasi. Strategi tindakan adalah tindakan khusus yang diarahkan untuk menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Dalam pengertian strategi tindakan tercakup upaya rasionalisasi, mekanisasi, dan orientasi pada kemajuan yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang dipilih oleh manusia dalam proses pengambilan keputusan, karena keberhasilannya telah dapat diprediksinya.
Dalam konteks perubahan social-kultural itu, pembahasan ini lebih diarahkan pada: bagaimana strategi adaptasi berbasis budaya, agama dan sain harus dilakukan, terutama dalam dinamika lokal, nasional, dan global?
Pembangunan Berbasis Budaya, Agama dan Sain.
Jika orang berbicara kebudayaan Bali bernafaskan agama Hindu, maka seluruh rencana stratagis dan kegiatan seharusnya mengacu pada agama Hindu dan kebudayaan Bali. Kebudayaan tentu tidak semata-mata berarti kesenian, adat, upacara, pembangunan fisik pura, dan hal-hal yang mengarah kepada pembangunan kebendaan. Kebudayaan menyangkut aspek proses penghalusan budi, tata kerama, dan etika hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebudayaan juga tidak mengabaikan aspek kemanusiaan, terutama dalam kaitannya dengan menghargai eksistensi manusia lain. Karena itu, pengembangan kebudayaan Bali yang bernafaskan agama Hindu di masa depan harus mampu mendukung universalalisme untuk semua manusia berupa Sanatana Dharma, tetapi dikemas dalam ciri kedaerahan Bali.
Bersamaan dengan semakin beratnya tantangan yang dihadapi masyarakat Bali, maka langkah-langkah penguatan terhadap komitmen untuk mempertahankan pembangunan di di bawah idelogi Budaya Bali bernafaskan Hindu semakin diperlukan. Salah satu langkah strategis adalah kita harus memiliki pempinan berwawasan budaya, wawasan global, dan konsisten melaknsakan amanat rakyat Bali. Penting dan strategisnya kedudukan pemimpin, maka ke depan Bali memerlukan pemimpin yang: (1) paham betul tentang pola dasar pembangunan daerah Bali yang sudah memutuskan 'menjual' aset kesenian yang bersumber dari agama Hindu; 'mengeksploitasi' ritus keagamaan Hindu; dan memamerkan adatistiadat masyarakat Bali yang mayoritas Hindu sebagai sesuatu yang aneh di mata wisatawan. Paham disini diartikan tidak saja tahu, akan tetapi memahami dimensi kosmologi orang Bali. Dengan demikian, setiap pemimpin senantiasa akan memperhatikan kondisi objektif daerah Bali, manakala mereka membuat kebijakan publik. (2) memiliki visi mempertahankan dan mengembangkan budaya dan Agama. Walaupun telah dirumuskan pola dasar pembangunan yang jelas-jelas memperhatikan dimensi budaya, tetapi jikalau pimpinan yang ada kurang memiliki visi atau kemauan mempertahankan kebudayaan, maka dapat diduga aspek-aspek yang akan dikembangkan menjadi sangat marginal, walau diakui yang marginal sekarang menjadi aktual. "Secara ideal budaya objektif semestinya melayani yang subyektif, sehingga akan terjadi pengembangan jiwa". Subjektif tidak seharusnya diartikan sebagai hal yang negatif, melainkan adanya kreativitas. Dengan visi yang jelas, maka pimpinan senantiasa akan membangun dimensi fisik dan non-fisik meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial berdasarkan pada konsep-konsep agama Hindu. Hal ini bukan bermakna primordialisme. Sebab ada banyak konsep Hindu yang mengandung dimensi humanisme, universalisme, demokratik, dan partisipatif, sehingga sekalipun kita memperhatikan dan menerapkan konsepsi Hindu, namun itu tetap sejalan dengan tujuan dan hakikat nasional. (3) Lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, dari kepentingan sekelompok kecil orang. Kriteria ini sangat penting untuk memberikan pengayoman dan rasa aman di kalangan masyarakat. Terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan kembali aset umum, baik yang berdimensi sosial, terlebih lagi yang berdimensi budaya dan agama. (4) Memiliki kemauan untuk berdialog dengan semua pihak. Kriteria ini menjadi sangat penting dalam masyarakat yang berbudaya, yang dicirikan oleh kehalusan budhi, kepekaan rasa, dan menghargai tinggi kebersamaan. Pemimpin masyarakat tipe ini seharusnya mengutakan komunikasi dua arah, bukan sebaliknya menonjolkan aspek yang besifat monolog.
Dinamika Kebudayaan Bali.
Menyadari arah dan pola perkembangan antarperadaban seperti digambarkan Huntington itu, maka menurut saya' pertama agama Hindu hendaknya lebih memberi peluang berkembangnya nilai-nilai konstitusionalisme dalam arti bahwa setiap ajaran agama harus memiliki referen yang jelas, sehingga segala bentuk, fungsi, maknanya dapat dipahami secara sistematik. Agama Hindu juga lebih memberikan peluang bagi berkembangnya sistem demokrasi dalam menentukan pilihan atas jalan dharma yang hendak diikuti. Pilihan terhadap dua aspek penting itu (konstitusionalisme dan demokrasi) bukan berarti Hindu harus menelan mental-mentah arah kecenderungan jaman. Masyarakat Hindu yang terlahir dari masyarakat Timur, tidak mungkin melepaskan diri dari kondisi obyektif bahwa ia dibentuk dan dibesarkan oleh prinsip-prinsip kehidupan komunal. Artinya, sekalipun Hindu memberi peluang berkembangnya nilai mengenai konstitusionalisme, demokrasi, dan hak azasi manusia, namun ia tidak akan pernah kehilangan social capital sebagai agama yang humanis. Konskuensi dari pilihan nilai ini, Hindu ke depan harus memberi keleluasaan kepada umat untuk menentukan pilihan jalan (marga) untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dari sejumlah pilihan yang tersedia. Pilihan atas jalan dharma itu, tidak akan pernah membuat persaudaraan sesama sedharma menjadi retak. Kedua, representasi Hindu abad 21 hendaknya tidak terjebak dalam ‘fundamentalisme’ dan ekslusifisme. Sebab, fakta diakronis menunjukkan bahwa sensitivitas orang Hindu juga semakin meningkat, terutama dengan banyaknya orang Hindu yang merasa ‘diremehkan’ dan ‘dihina’ melalui fenomena pelecehan simbol-simbol agamanya. Atas nama agama (menurut saya tidak jelas ukurannya), banyak orang Hindu merasa terhina dengan direferensinya simbol-simbol agama Hindu oleh orang lain. Atas nama agama, mereka malakukan perlawanan terhadap keadaan itu. Orang Hindu seolah-olah mulai ‘demit’ terhadap kebudayaannya. Padahal dalam tataran diakronis, orang Hindu merasa bangga jika kebudayaannya digunakan oleh orang lain, dan sebaliknya kebudayaan Bali terbuka dengan berbagai unsur kebudayaan asing, sehingga orang Bali dinilai sebagai komunitas inklusif. Ketiga, representasi Hindu abad 21 hendaknya terus mendorong berfungsinya kebudayaan daerah di mana agama itu dianut. Oleh karena itu, setiap kebijakan harus diarahkan untuk memberdayakan potensi-potensi daerah secara maksimal. Dalam kebijakan seperti ini tidak berlaku konsepsi universalisme Hindu, karena yang dipentingkan adanya relativisme kultural. Jadi semangat civilization consciousness harus lebih diarahkan pada tumbuhnya kesadaran akan kebudayaan sendiri. Di atas kebudayaan itulah nilai-nilai universal Hindu dibangun. Keempat, semua itu hanya akan epektif jika sumber daya manusia Hindu dapat dikembangkan secara maksimal. Hindu perlu mendorong lahirnya lembaga pendidikan Hindu dengan berbagai programnya. Lembaga dimaksud tentu tidak hanya didirikan, melainkan harus didorong terus untuk meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dengan lembaga sejenis lainnya. Untuk mampu bersaing dengan baik, maka pemenuhan fasilitas pendidikan menjadi amat perlu. Tidak mungkin kita bicara mengenai persaingan dan memenangkan persaingan itu, jika SDM kita masih terbelakang. Tidak mungkin kita mampu memanfaatkan segala peluang yang ada pada pihak lain, jika di antara penyelenggara pendidikan saling ‘jegal’ dan mempromosikan pihak lain dari perspektif ‘kelemahan’ semata.
Daftar Bacaan
Abdullah, Taufik Leeden, Van Der. 1986 (penyunting). Durkheim dan Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Anthony Forge. 1980. "Balinese Religion and Indonesia Identity" dalam Indonesia: The Making of A culture. Cambera: (J. Fox, ed) University of Cambera.
Bachtiar, Harsja W. 1973. “The Religion of Java: A Commentary Review” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra, 5,. Jakarta: halaman 85-118.
Bandem. I Made, Fredruk deBoer. 1995. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (Second edition). Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Barrett, R. Stanley. 1984. The Rebirth of Anthropological Theory. Toronto: University of Toronto Press.
Bellah, Robert.N. 1957. Tokugawa Religion. Boston: Beacon Press.
Belo, Jane. 1949. Bali: Rangda and Barong. New York: Monograph of the American Ethnological Society XVI.
-----------------.1953. Bali: Tempel Festival. Monograph of the AES XXII. New York: Columbia University Press.
-----------------.1969. Trance in Bali. New York: Columbia University Press.
Bendix, Reinhard. 1962. Max Weber An Intellectual Portrait. New York: Ancor Books.
Berger, L. Peter. 1986. The Capitalist Revolution: Fifty Propositions About Prosperity, Equality, and Liberty. New York: Basic Books, Inc.
----------------- dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
----------------- dan Hansfried Kellner. 1981. Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esei Tentang Metode dan Bidang Kerja. Jakarta: LP3ES.
----------------- Brigitte Berger and Hansfried Keliner. 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
-----------------. 1994. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (Kata Pengantar, M. Sastraprateja). Jakarta: LP3ES.
Brown-Radcliffe. A.R. 1980. Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif. Kuala Lumpur: Diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Budi, Hardiman F. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Seri Pustaka Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
-----------------. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Seri Refleksi Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Campbell, Tom. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford: Clarendon Press.
-----------------. 1977. Masters of Sociological Thought (edisi kedua). New York: Harcourt Brace Jovanovich Press.
Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. London: The Free Press of Glencoe.
-----------------. 1986. "Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia" dalam Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
-----------------. 1992a. Tafsir Kebudayaan. Refleksi Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
-----------------. 1922b. Politik Kebudayaan. Refleksi Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
-----------------. 1992c. Kebudayaan dan Agama. Refleksi Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Gert and Mill, Wright. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.
Haferkamp, H and H.j. Smelser. 1992. Social Change and Modernity. Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press.
Kean. Mc Philip Frick. 1973. Culture Involution: Balinese and The Process of Modernization in Anthropological Perspective. (Disertasi) Anthropologi. United State of America: University of Brown.
Keesing M. Roger. 1981. Cultural Anthropology A Contemporary Perspective. New York: CBS College Publishing.
Nash, Manning. 1984. Unfinished Agenda: The Dynamics of Modernization in Developing Nations. London: Westview Press.