Gong Kebyar: Ekspresi Humanisme Menuju Kebahagiaan
Ida Bagus Gde Yudha Triguna,
Universitas Hindu Indonesia,
(Denpasar, 2010 Refresh Januari 2020).
Pendahuluan.
Salah satu unsur budaya lokal yang mewarnai kekhasan karakter Hindu Indonesia adalah kesenian. Seni sastra misalnya, menunjukkan kemajuan yang luar biasa ditandai dengan penulisan kembali kesusasteraan Hindu dari India ke dalam bahasa Jawa kuna (mangjawaken byasa mata). Demikian juga seni kerawitan (gambelan) yang memiliki nilai seni, rasa, dinamis, dengan diiringi ritme-ritme lelambatan dan keras yang mewarnai seni Bali pada umumnya yang menandai terjadinya akulturasi dialektis dalam transformasi ajaran Hindu di Indonesia.
Ada beberapa karya seni ini mengalami transendensi menjadi media penghubung manusia dengan Dunia Atas sehingga sifatnya pun sakral. Misalnya pada pertunjukan Tari Baris Gede diiringi oleh gong Beri, yang memiliki kesakralan. Disisi lain ada yang disebut Gong (Gamelan) kebyar yang merupakan satu bentuk karya dari seni budaya yang ekspresif dan dinamis, sehingga sifatnya mungkin saja akan sakral jika mengiringi sebuah tari sakral (wali) pada Upacara Agama, begitu juga sebaliknya ketika gong kebyar mengiringi tarian-tarian tontonan (bebali) tentu akan bersifat profan. Tetapi dengan dinamisnya pada umumnya sangat diterima oleh masyarakat dan berkembang ke seluruh Pelosok. Sebagai karya baru, gambelan kebyar mampu menampung berbagai inspirasi yang muncul sari bentuk-bentuk seni tradisional dan sakral yang telah ada. Bentuk-bentuk gending tradisional seperti pangonan (gong Gede), pagenderan (gender Wayang), pagambangan (gending Gambang) pagambuhan (gendhing gambuh), palegongan (gendhing Legong), dan lain-lain dapat diungkapkan lewat Gamelan Kebyar yang mana sangat dinamis dan kaya akan nilai rasa.
Keberadaan dan perkembangan kesenian di Bali tidak dapat dilepaskan dari agama Hindu dan adat-istiadat Bali. Hindu sebagai sumber nilai telah mampu memberikan inspirasi berkesenian yang tidak pernah lepas dengan gambaran hitam-putih, yaitu aspek dwaita sebagai nilai yang universal. Konsepnya bhakti marga dalam ajaran Hindu telah mendorong tumbuh suburnya berbagai varian kesenian dan bentuk kontemplasi lainnya, sehingga mampu mendorong lahirnya berbagai kesenian ‘persembahan’ maupun hiburan. Lahirnya dan berkembangnya kreativitas itu tidak dapat dilepaskan dengan peran lembaga tradisional (sekha) dan Masyarakat luas pada umumnya.
Gong Kebyar; Simbol Ekspresif Humanisme
Dalam terminologi Hindu kebenaran-kebajikan-keindahan adalah tiga dimensi Realitas Suci (Siwa) yang keberadaan-Nya berupa semesta alam dan segala isinya. Kebenaran yang dialami melalui buddhi tepet ‘pemahaman fenomena’ adalah kebenaran empirik-logis; kebenaran yang dialami melalui rasa ‘penikmatan rasa indah’ adalah kebenaran imajinatif; dan kebenaran yang dialami melalui àgama ‘pengamalan sikap dan laku bajik’ adalah kebenaran keyakinan (Yasa, 2008:2). Dalam tradisi kesenian Bali misalnya, seni sakral (wali), dibedakan dengan bebali, dan balih-balihan. Seni wali adalah seni yang disakralkan karena berkaitan dengan upacara keagamaan. Seni bebali adalah seni yang sesungguhnya bukan sakral, tetapi dapat dipentaskan dalam upacara keagamaan. Sementara itu, seni balih-balihan adalah seni profan yang berfungsi sebagai hiburan belaka (Bandem & Dibya, 1975:4).
Gamelan Kebyar ikut mewarnai beberapa gamelan lainnya yang ada di Bali. Pola-pola garap pakebyaran yang ritmis, dinamis, ekspresif, meletup-letup, penuh angsel (perubahan dinamika), dan lain-lainnya banyak dipakai pada Gamelan Angklung, Gamelan Joged Bumbung, Gamelan Janger, Gamelan Gong Suling, Gamelan Babarongan, Gamelan Palegongan, dan lain-lainnya. Bahkan banyak Gamelan Palegongan yang dilebur menjadi Gamelan Kebyar, sehingga tidak mengherankan bahwa dibali menjamur dan berlomba-lomba untuk memiliki Gong Kebyar, Semua itu menunjukan bhwa Gamelan Kebyar diterima dan digemari masyarakat Bali.
Hal ini terjadi bukan karena gamelan mampu mengekspresikan suatu sesuai jiwa zamannya, melainkan juga karena mempunyai sifat fleksibel, luwes, dan praktis.ini menandakan bahwa gambelan kebyar memiliki nilai humanism, rasa kebersamaan, porposional, dan sangat harmonis. Satu keunikan yang menonjol pada gamelan baru itu adalah terangkatnya penyajian Gendhing Kebyar sebagai sajian.yang ekspresif dan dinamis. Sebagai alat bunyi-bunyian, Gamelan Kebyar tidak dapat dipisahkan dengan Agama Hindu yang mana gambelan ini biasanya digunakan untuk mengiringi berbagai macam upacara agama dan adat seperti Dewa Yadnya (upacara korban suci yang ditujukan pada Tuhan), pitra yadnya (kpada leluhur) dan butha yadnya (korban suci yang ditujukan kapada binatang, tumbuh-tumbuhan, roh halus, dan makluk halus lainnya). Sama seperti gamelan-gamelan lainnya,
Gong Kebyar dapat menggugah parasaan indah seseorang dan memberi kepuasan kepada jiwa para penikmat dan para pemainnya. Ia juga bias digunakan sebagai media komonikasi, sebagai hiburan, sebagi terapi, sebagai penggugah respon fisik masyarakat, dan dalam kaitannya ini dapat berperan untuk menumbuhkan intregitas masyarakat. Disamping itu juga merupakan karya seni, gamelan kebyar digunakan pula sebagai iringan tari kebyar, tari baris, serta drama gong. Oleh karena itu, sifat-sifat dinamis dan harmons mengiringi pukulan-pukulan panggul gong menunjukkan bahwa gong kebyar memiliki nilai lebih yaitu memiliki nilai sakral dan profan. Ketika gong kebyar mengiringi tarian wali maka kedudukannya pada saat itu adalah sakral, begitu juga sebalinya ketika mengiringi tarian hiburan yang dipertunjukan dengan tujuan memberikan hiburan kepada masyarakat.
Keindahan (kesenian) yang dilandasi dengan nilai-nilai kerohanian membangun sikap hidup seimbang, baik lahir maupun batin. Dalam agama Hindu, kesenian dimaknai dengan keindahan (sundharam) sebagai pengejawantahan dari kebenaran dan kesucian (satyam dan siwam). Dengan kata lain, seni bukan semata-mata untuk hiburan, tetapi lebih dalam adalah hiburan yang dapat mentransfer nilai-nilai etika dan kesucian. Bagi Hindu, dunia seni lebih berfungsi sebagai media menghaluskan budhi dan menghayati arti kehidupan karena dapat dijadikan media kontemplasi untuk menikmati rasa agama.
Kata rasa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari urat kata ras yang berarti merang; menangis; berteriak, bergema, dan berkumandang (Astra, 2001:348). Dalam bahasa Jawa Kuno kata rasa memiliki banyak arti: (1) air (getah) tumbuh-tumbuhan, air (sari) buah; rasa. (2) perasaan, pendapat, maksud. (3) inti sari, isi (esensial), substansi, makna, pokok isi, arti. (4) bagaimana seterusnya ada, disposisi atau kondisi nyata. (5) berkata secara demikian, seolah-olah, seakan-akan. (6) dalam bentuk (tentang jenis) puisi atau karya tulis yang khas. Dan (7) air raksa (Zoetmulder, 1995:926). Sementara dalam bahasa Indonesia kata rasa berarti (1) apa yang dialami oleh lidah atau badan (ketika kena sesuatu). (2) Sifat suatu benda dan sebagainya yang mengadakan rasa. (3) Apa yang dialami oleh hati atau batin; keadaan hati atau batin (ketika pancaindra menangkap sesuatu); keadaan hati atau batin (terhadap sesuatu). (4) Pertimbangan pikiran (hati) mengenai baik buruk, benar salah dan sebaginya; pendapat. Dan (5) kira-kira, agaknya; rupa-rupanya; barangkali (Poerwadarminta, 1984:802)2.
Rasa dalam konteks seni ini berarti pengalaman estetik (Warder dalam Wiryamartana 1990:355), yakni emosi yang dibangkitkan secara estetik oleh lingkungan dan situasi artistik (Dasgupta dalam Wiryamartana 1990:355). Pengalaman estetik dikatakan tersusun atas empat hal: (1) objek, karena dalam proses berkreasi manusia selalu mengalami sesuatu. Tanpa objek tidak ada pengalaman apapun; (2) intuisi, suatu pemahaman langsung terhadap objek yang tidak berdasarkan kualitas kategoris; (3) pengetahuan, pengalaman estetik juga menyaratkan adanya pengetahuan tentang nilai-nilai kategori ideal, seperti keteraturan, kejelasan, dan kesempurnaan; dan (4) pengalaman, karena melalui pengalamanlah seseorang memiliki kemampuan menempatkan suatu objek dalam konteks tertentu, sehigga objek tersebut menjadi bernilai estetik (Albert Camus dalam Sachari, 2002:24-25)3.
Rasa atau pengalaman estetik ini diakibatkan oleh kemampuan seniman menyublimasi bhāva ‘emosinya’ dari tataran psikologis ke tataran estetik (Yasa, 2008:4). Dalam kreativitas imajinatif itu bhāva ‘emosi individual’ ditransformasikan menjadi rasa: pengalaman estetik yang nonindividual, universal, mengatasi ruang dan waktu, serta keadaan partikular (Wiryamartana, 1990:356; Yasa, 2008:4). Dalam seni sakral, emosi kemenyatuan dengan Tuhan inilah yang ditransformasikan menjadi rasa estetik-spiritual. Jadi, seni sakral dalam Hindu bukan hanya karena ia disakralkan atau dipentaskan dalam ritual sakral, tetapi karena ia memang mengekspresikan kesakralan itu sendiri. Bagi masyarakat arkhais, seni sakral menjadi medium untuk menghubungkan Dunia Atas (axis mundi) dengan Dunia Manusia (imago mundi). Menjadi perantara hubungan rohani antara Penyembah dengan Yang Disembah, Ciptaan dengan Sang Pencipta, kawula dengan Gusti. Pada akhirnya, seluruh dimensi seni sakral mengekspresikan kemenyatuan itu sendiri.
Penutup
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) Keberadaan dan perkembangan kesenian di Bali tidak dapat dilepaskan dari agama Hindu termasuk gambelan kebyar karena dapat memberikan suatu fungsi terhadap upacara agama selain dari hiburan semata; 2) Gambelan kebyar sangat dinamis dan merupakan simbol ekpresif humanis yang tidak lepas dari ajaran Hindu sebagai sumber nilai telah mampu memberikan inspirasi berkesenian, harmonis dengan semua yang ada, memupuk rasa kebersamaan dan melaksanakan yang tidak pernah lepas dengan gambaran hitam-putih, yaitu aspek dwaita sebagai nilai yang universal; 3) Konsep bhakti marga dalam ajaran Hindu telah mendorong tumbuh suburnya berbagai varian kesenian dan bentuk kontemplasi lainnya, sehingga mampu mendorong lahirnya berbagai kesenian ‘persembahan’ maupun hiburan; 4) Keindahan (kesenian) yang dilandasi dengan nilai-nilai kerohanian membangun sikap hidup seimbang, baik lahir maupun batin. Dalam agama Hindu, kesenian dimaknai dengan keindahan (sundharam) sebagai pengejawantahan dari kebenaran dan kesucian (satyam dan siwam); 5) lahir dan berkembangnya kreativitas itu tidak dapat dilepaskan dengan peran lembaga tradisional dan pemerintah daerah.
Daftar Pustaka
Astra, I Gede Semadi, dkk. 2001. Kamus Sanskerta- Indonesia. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.
Avalon, Arthur. (penerjemah: K.Nila). 1997. Mahanirwana Tantra: Arthur Avalon’s Tantra of the Great Liberation. Denpasar: Upada Sastra.
Ayatrohaedi.ed.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta. Pustaka Jaya.
Bandem, I Made & Wayan Dibya, 1975. Kesenian Bali. Denpasar: STSI Denpasar
Drucker, A. 1996. Intisari Bhagavadgita. Surabaya: Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai.
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Literetaria.
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theory of Religion. Yogyakarta: IRCisoR.
-----------------. 2003. Dekonstruksi Kebenaran. Yogyakarta: IRCisoR.
Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Srila. 1986. Bhagavadgita Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti.
Rama, Swami. 2005. Hidup Dengan Para Rsi di Himalaya. Surabaya: Paramita.
Suamba, Ida Bagus. 2005. “Rasa dalam Natya Sastra”. Dalam Murda. Denpasar: Institut Seni Indonesia.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Qalam.
------------------. 2003. Filsafat Seni. Yogyakarta: Kanisius.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Yasa, I Wayan Suka. 2004. ”Brahma Widya Dalam Tattwa Jnana”. Tesis. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan.
--------------, 2008. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya, Denpasar: Widya Dharma.
Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.