Telaah Aspek Sosio-Religius Masa Pemerintahan Dinasti Warmadewa Di Bali
TELAAH ASPEK SOSIO-RELIGIUS
MASA PEMERINTAHAN DINASTI WARMADEWA DI BALI
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna.
(Disampaikan pada Seminar Nasional di Unwar, 15 Agustus 2009).
(Disampaikan pada Seminar Nasional di Unwar, 15 Agustus 2009).
I Pendahuluan.
Kartodirdjo (dalam Susanto,2003) salah seorang sejarawan Indonesia menyatakan bahwa kelemahan penulisan sejarah selama ini karena selalu saja hanya menghandalkan sumber-sumber dokumen atau arsip (artefact), belum banyak menggunakan sumber mentifact (fakta mental) maupun sumber socifact (fakta sosial). Fakta mental yang dimaksud dalam hal ini dianggap dekat dengan ingatan (memory) sosial kemasyarakatan yang diteliti. Generalisasi fakta mental masyarakat biasanya terdiri atas ide, gagasan, pandangan, orientasi nilai, mitos dan segala macam struktur kesadaran dalam masyarakat. Oleh karenanya jika sumber-sumber artefak sangat terbatas adanya, maka kesulitan akan menghadang ketika kita mencoba untuk mengkonstruksi sebuah peristiwa sejarah di masa lalu. Demikianlah ketika mencoba menelaah aspek sosial religius dinasti Warmadewa yang memerintah di Bali pada masa Bali Kuna , terasa benar bahwa bukti-bukti artefak yang dapat dirujuk sangat terbatas. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dicoba mengkonstruksi aspek sosial religius masa pemerintahan dinasti Warmadewa dimaksud dengan lebih menfokuskannya pada socifact dan mentifact.
II Dinasti Warmadewa
Puncak masa pemerintahan dinasti Warmadewa adalah pada masa pemerintahan raja Udayana dengan permaisurinya Gunapriadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja suami istri ini terdapat beberapa peristiwa penting yang berpengaruh besar terhadap perkembangan agama Hindu di Bali saat ini. Agama Hindu yang terwariskan di Bali saat ini adalah hasil akulturasi antara agama lokal dengan pengaruh Hindu yang datang dari India. Banyak pengamat mengatakan bahwa kehadiran pengaruh Hindu di Indonesia umumnya dan Bali pada khususnya hanyalah bersifat memperhalus sistem keyakinan yang telah berkembang di masyarakat (Bosch, 1983), sehingga unsur-unsur lokal masih cukup kuat bertahan hingga saat ini (Jones,1985).
Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu di Bali tidak terjadi dalam satu gelombang, namun terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga memunculkan berbagai bentuk ajaran yang bersifat sektarian. Sebagaimana dicatat oleh Goris (1974) paling tidak terdapat sembilan sekte yang pernah berkembang di Bali pada masa Bali Kuna yaitu Siwa-Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, dan Ganapatya. Dari sekian banyak sekte yang berkembang di Bali, rupanya sekte Siwa dan Buddha memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Faham ini di negeri asalnya yaitu India, susah dipersatukan bahkan cenderung berseberangan, namun di Bali keduanya dapat dipertemukan bahkan memiliki posisi penting dalam sistem pemerintahan dinasti Warmadewa. Dengan kata lain bahwa pada pemerintahan dinasti Warmadewa raja dalam memerintah didampingi oleh sebuah badan yang disebut Pakira-kiran i jro makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa Senapati dan beberapa pendeta yaitu Mpungku Siwa Sogata (Siwa Buddha), Resi, Mahabrahmana. Badan ini berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja pada saat mengambil keputusan-keputusan penting.
Pada masa pemerintahan raja Udayana dan Gunapriadharmapatni datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Ke Bali. Mpu Kuturan kemudian dikenal sebagai salah seorang Senapati yang mempunyai pengaruh kuat dalam meletakkan pondasi bagi perkembangan agama Hindu selanjutnya di Bali. Mpu Kuturan mengajarkan kepada masyarakat Bali agar membuat parhyangan (tempat suci) dengan meniru konsep tempat pemujaan di Jawa Timur .
Berkembangnya berbagai sekte di Bali, di satu sisi menunjukkan sikap toleransi yang tinggi dalam masyarakat plural, namun di sisi lainnya tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu mengandung potensi konflik. Untuk mencegah terjadinya konflik atau paling tidak mengelola kemungkinan berbagai konflik yang muncul dari pluralitas agama, Mpu Kuturan kemudian memprakarsai pertemuan tokoh-tokoh agama dari berbagai sekte yang ada di Bali di Pura Samuan Tiga Pejeng Gianyar. Pada saat itulah Mpu Kuturan menawarkan ajaran Tri Murthi yaitu pemujaan terhadap Dewa Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara, dan Siwa sebagai Pamralina sebagai satu kesatuan yang mengampu umat Hindu dalam satu kesatuan wilayah Desa Pakraman. Konsep ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Kahyangan Tiga di masing-masing Desa Pakraman. Kahyangan Tiga terdiri atas (1) Pura Desa/Bale Agung, tempat memuja Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta beserta isinya; (2) Pura Puseh untuk memuja Wisnu, manifestasi Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pemeliharan/pelindung alam semesta beserta isinya; (3) Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai “pamralina” alam semesta beserta isinya. Pemujaan terhadap Dewa Tri Murthi dalam satu kesatuan wilayah Desa Pakraman saat itu dipandang sebagai ajaran yang tepat karena mencakup aspek-aspek yang paling esensial dalam kehidupan manusia (kelahiran- kehidupan- kematian). Tafsir kontemporer atas konsep ini, Brama dinyatakan sebagai Legislatif karena berperan sebagai pencipta atauran dan karena itu harus didampingi oleh seorang sakti yang pintar, yakni Saraswati; Wisnu sebagai eksekutif-berperan memberi kemakmuran, karena itu didampingi oleh Dewi Sri; dan Siwa sebagai yudikatif, menghukum, pelebur hal-hal yang bertentangan dengan hukum Rta, karena itu Siwa didampingi oleh Dewi Durga (Triguna, 2002). Mpu Kuturan juga dikenal sebagai konseptor pendirian bangunan Meru di Pura Besakih yang kemudian juga dibuat pada Pura Kahyangan Jagat lainnya di Bali. Di lingkungan keluarga, Mpu Kuturan menganjurkan dibangunnya Sanggah Kamulan sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi.
Dari paparan di atas kiranya diperoleh gambaran tentang peran yang telah dimainkan oleh Dinasti Warmadewa beserta penasehatnya Mpu Kuturan telah melakukan regulasi dalam bidang sosial keagamaan dengan tujuan menciptakan pondasi kuat bagi eksistensi Hindu di Bali saat ini yaitu sebagai berikut: (1) melakukan regrouping terhadap berbagai sekte di Bali ke dalam sistem keyakinan yang lebih membumi dengan menganjurkan faham Tri Murthi yang dipuja pada Kahyangan Tiga di Tingkat Desa Pakraman. Artinya, pada masa pemerintahan dinasti Warmadewa telah dilakukan kontekstualisasi ajaran agama dengan kehidupan nyata sehingga ajaran agama yang bersifat tekstual/skriptural menjadi agama sosial (meminjam istilah Scharf, 1995), yaitu agama sebagaimana dipahamai, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan. Agama telah “didekatkan” pada kehidupan nyata lewat bentuk visual Kahyangan Jagat, Kahyangan Tiga, Sanggah Kamulan; (2) regulasi bidang keagamaan yang dilakukan, di samping sebagai bentuk antisipatif terhadap konflik juga memberi ruang bagi berkembangnya berbagai faham, namun masih dalam bingkai yang dibangun secara berjenjang mulai dari keluarga, desa, dan jagat (baca Bali). Keragaman klen di tingkat Dadia, dipayungi oleh Kahyangan Tiga di tingkat Desa. Keragaman di tingkat Desa dipayungi oleh Kahyangan Jagat. Kahyangan Jagat dapat menyatukan umat Hindu dengan tidak melihat asal usul desa, pekerjaan, maupun keturunan; (3) semangat multikulturalisme yang menjadi salah satu ikon dalam masyarakat postmodern saat ini, rupanya telah diberi ruang pada masa pemerintahan dinasti Warmadewa. Berbagai sekte yang berkembang di Bali diakui keberadaannya melalui tokoh-tokoh-tokoh mereka pada badan Pakira-kiran i jro makabaihan, sehingga terjadi kontestasi dan proses adatasi yang mengarah pada kesempurnaan. Dinamika yang terjadi pada masa pemerintahan dinasti Warmadewa menjadi salah satu faktor penting bagi eksistensi Hindu selanjutnya. Semoga pokok-pokok pemikiran ini dapat merangsang tumbuhnya penelitian dan pengkajian tinggalan masa lalu sebagai cermin untuk melangkah ke masa depan.
Penutup
Sebagai bahan tambahan dan renungan, saya mencoba memberikan data [yang Belum tentu mewakili], yakni dari 57 orang mahasiswa yang saya wawancara ternyata 17 persen saja yang tahu cerita mengenai dinasti Warmadewa, hubungan antara Udayana dan Warmadewa. Artinya, lembaga ini mungkin harus kerja lebih keras lagi dalam mensosialisasikan nama Warmadewa dalam lingkungan masyarakat Bali.
Bacaan
Goris,R. 1974. Sekte-sekte di Bali. Jakarta : Bhratara.
Jones, Gavin W. 1985. Agama-Agama di Indonesia: Sejarah dan Perkembangan nya dalam Agama dan Tantangan Zaman. Jakarta: LP3ES
Scharf, Betty R. 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Susanto, Budi.S.J. 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun. 1986. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar: Pemda Tingkat I Bali.
---------------. 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Pemda Tingkat I Bali
---------------. 1986. Usana Bali Usana Jawa: Teks dan Terjemahan. Denpasar : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerhah Tingkat I Bali.
Yudha, Triguna. 1984. "Sistem Kepemimpinan Bidang Agama" dalam Sistem Kepemimpinan Masyarakat Pedesaan di Bali. Jakarta: Direktoral Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan.
---------------. Munculnya Kelas Baru dan Dewangsanisasi: Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali. Yogyakarta: Isipol UGM.
---------------.1992/93. Sosiologi Agama Hindu. Modul I Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
------------------.(Penyunting). 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar: Vidya Dharma.